Pages

Pages

Jumat, 07 Februari 2014

JAKARTA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA KEPADA ORANG PAPUA

Wilem Rumasep (Jubi/Mawel)
Jayapura, 31/1 (Jubi) – Pemerintah Indonesia terus memaksakan kehendaknya kepada orang Papua. Sebaliknya orang Papua justru menolak kemauan pihak  Jakarta. Pro dan kotra antara Papua dan Jakarta tidak pernah berhenti dari aneksasi hingga integrasi.

“Coba lihat saja drama pelaksaan otonomi khusus Papua NO.21 tahun 2001. Orang Papua Papua sudah tidak percaya lagi dengan UU Otsus Papua,” tegas Wilem Rumasep, Pelaksana Harian ketua Dewan Adat Papua, kepada tabloidjubi.com, di Kantor Dewan Adat Papua, Expo Waena,Kota Jayapura,Papua, Jumat (31/1).

Dia menambahkan ketidakpercayaan rakyat Papua itu, terbukti melalui penolakan Otsus. “Rakyat Papua menolak sampai tiga kali,” tuturnya. Penolakan pertama Rakyat Papua bersama PDP terjadi pada 12 Agustus 2005. Ribuan Rakyat Papua turun jalan mengembalikan kepada Jakarta melalui DPRP Papua.

Kedua, Rakyat Papua bersama Majelis Rakyat Papua mengatakan Otonomi Khusus Papua gagal dan menyatakan siap berunding. “Otonomi khusus gagal berarti sikap kita jelas refrendum” tutur Agus Alua ketua MRP dalam pidato penutupan Mubes Rakyat Papua dengan MRP di kantor MPR kota Raja, Kota Jayapura, Papua (10/6/2010).

Ketiga, rakyat Papua bersama orang-orang yang dipilih Pemerintah Jakarta melalui pemerintah Provinsi Papua untuk melakukan evaluasi Otsus di Hotel Sahid Papua dari tanggal 25-27 Juli 2013 juga mengatakan Otsus gagal membangun Papua dan menghasilkan dua rekomendasi. “Buka ruang dialog antara Rakyat Papua dengan pemerintah Pusat yang dimediasi pihak netral dan dilaksanakan di tempat netral. Kedua, rekontruksi UU NO 21/2001 dilakukan setelah melakukan tahapan dialog,” tulis tabloidjubi.com (27/7).

Penolakan rakyat Papua yang dibarengi dengan tawaran solusi dialog Jakarta-Papua, perundingan hingga refrendum untuk menyepakati konsep pembangunan yang sesuai kehendak bersama, Jakarta dan Papua; namun Pemerintah Indonesia tidak pernah mempertimbangkan solusi yang ditawarkan orang Papua.

“Pemerintah terus memaksakan kehendaknya, bagai anjing mengongon kafilah terus berlari,” tutur Rumasep mencontohkan Lukas Enembe bersama beberapa Oknum anggota DPRP Papua, Majelis Rakyat Papua dan tim asistensi Univesitas Cendrawasih merekontruksi UU Otsus Papua, No 21 tahun 2001.

Lukas Enembe bersama orang-orang Jakarta, simbol legitimasi kekuasaan Indonesia yang tidak sadar diri dengan jabatan, uang, pergi pulang Jakarta terus memperjuangkan kehendak Jakarta. Gubernur menyerahkan draft itu kepada tim asistensi yang terdiri dari 29 akademisi dari Universitas Cendrawasih (Uncen). Uncen pun tidak pernah komentar banyak atas draft itu. Kaum akademisi itu malah menyetujui draft yang menjadi kontraversi itu. Penolakan mahasiswa Uncen juga tidak pernah didengar.

Pemerintah Papua dengan komando Lukas Enembe, namanya akademi yang tidak tahu diri, lebih suka melacurkan status akademisnya sampai memasukan kata Refrendum di dalam draft itu di pasal 299. Kata yang tidak mungkin Jakarta terima, sudah terbukti banyak aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang mengusung isu refrendum terbunuh. Rumasep menilai pemasukan pasal itu sangat tidak masuk akal.

“Jakarta yang kasih pistol tidak mungkin menembak tangannya sendiri kan. Kita tahu ini strategi Jakarta untuk meredam penolakan rakyat Papua. Rakyat diam karena ada kata refrendum yang menjadi tuntutan rakyat,” katanya.

Menurut Rumasep, sangat masuk akal, kalau Gubernur Papua  Lukas Enembe mengancam Jakarta dengan hal yang bisa diterima Jakarta. “Lukas akan mempunyai kekuatan rakyat Papua. Beritahukan saja, saya akan blog semua dinas-dinas,” tuturnya itu lebih masuk akal.

Rumasep memahami bahwa Gubernur Lukas Enembe mungkin terdesak Jakarta.

Bagi Markus Haluk, sekretaris Jendral Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua (AMPTPI), pemaksaan itu bukan terjadi melalui Otonomi Khusus Papua melainkan Indonesia sudah memaksakan Orang Papua mengikuti kehendaknya sejak penyerahan Papua dari UNTEA ke Indonesia.

“Penyerahan Papua kepada Indonesia itu tidak dalam rangka Papua menjadi bagian integral dari Indonesia melainkan mempersiapkan Papua untuk menentukan nasib sendiri melalui Pepera tetapi Indonesia bertindak mempersiapkan orang Papua memilih Indonesia,” tuturnya dalam diskusi bersama tabloidjubi.com.

Semua yang pernah terjadi, menurut Markus, ahli sejarah berkebangsaan Belanda, J.P.Drooglever telah menulisnya dalam buku yang berjudul “Tindakan Pilihan Bebas”. Anak-anak Papua dipaksa meneriakan Indonesia merdeka menyambut pidato pertama presiden Soekarno di Holandia, kini Jayapura, 4 Mei 1963. Anak-anak yang tidak mau, yang hendak meninggalkan, pasukan Brimob mengembalikan mereka dengan tindakan tegas.

Pemerintah Indonesia mulai memaksakan kehendaknya melarang Orang-orang Papua beraktifitas politik termasuk melarang partai-partai dan serikat buruh. Kebebasan berekspresi di bungkam. Komunikasi orang Papua dengan orang asing dibatasi. Orang asing yang ada di Papua didesak pulang.

Menurut Markus, Indonesia membentuk provinsi dan beberapa kabupaten dengan nama Jawa. Pembentukan wilayah itu berdasarkan keputusan presiden No 1,2 dan 57 tahun 1963. Orang-orang Papua menjadi pelaksana tugas yang tidak lebih dari simbol demi melegitimasi keiginan Jakarta.

“Elieser Bonay diangkat menjadi gubernur pertama Papua disamping orang-orang Jawa yang memegang posisi penting yang berhubungan langsung dengan Jakarta,” tuturnya.

Pemaksaan kehendak seperti ini, lanjut Markus, lebih kejam dari kekuatan militer. Rakyat tidak memiliki kebebasan memilih, termasuk delegasi yang menentukan nasib orang Papua dalam PEPERA.

“Kepala-kepala Suku dikumpulkan sebelum waktu diajar untuk memilih Indonesia,” tutur Markus.

Akhirnya, menurut Markus, orang-orang Papua itu menentukan pilihan dalan tekanan militer Indonesia. Indonesia tidak pernah berhenti memaksakan kehendak hingga hari ini.

Semua yang telah terjadi, sedang terjadi, akan terjadi, bukanlah dalam rangka Indonesia membangun Papua dalam rangka asas kebebasan orang Papua, melainkan, menurut Wilem Rumasep bagian dari drama pemaksaan kehendak Jakarta kepada rakyat Papua. Karena itu, Rumasep berharap rakyat Papua memahami drama ini dan harus menentukan sikap agar tidak masuk terjebak dalam kepentingan Jakarta. (Jubi/Mawel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar