Wilem Rumasep (Jubi/Mawel) |
Jayapura, 31/1 (Jubi) – Pemerintah Indonesia terus memaksakan
kehendaknya kepada orang Papua. Sebaliknya orang Papua justru menolak
kemauan pihak Jakarta. Pro dan kotra antara Papua dan Jakarta tidak
pernah berhenti dari aneksasi hingga integrasi.
“Coba lihat saja drama pelaksaan otonomi khusus Papua NO.21 tahun
2001. Orang Papua Papua sudah tidak percaya lagi dengan UU Otsus Papua,”
tegas Wilem Rumasep, Pelaksana Harian ketua Dewan Adat Papua, kepada
tabloidjubi.com, di Kantor Dewan Adat Papua, Expo Waena,Kota
Jayapura,Papua, Jumat (31/1).
Dia menambahkan ketidakpercayaan rakyat Papua itu, terbukti melalui
penolakan Otsus. “Rakyat Papua menolak sampai tiga kali,” tuturnya.
Penolakan pertama Rakyat Papua bersama PDP terjadi pada 12 Agustus 2005.
Ribuan Rakyat Papua turun jalan mengembalikan kepada Jakarta melalui
DPRP Papua.
Kedua, Rakyat Papua bersama Majelis Rakyat Papua mengatakan Otonomi
Khusus Papua gagal dan menyatakan siap berunding. “Otonomi khusus gagal
berarti sikap kita jelas refrendum” tutur Agus Alua ketua MRP dalam
pidato penutupan Mubes Rakyat Papua dengan MRP di kantor MPR kota Raja,
Kota Jayapura, Papua (10/6/2010).
Ketiga, rakyat Papua bersama orang-orang yang dipilih Pemerintah
Jakarta melalui pemerintah Provinsi Papua untuk melakukan evaluasi Otsus
di Hotel Sahid Papua dari tanggal 25-27 Juli 2013 juga mengatakan Otsus
gagal membangun Papua dan menghasilkan dua rekomendasi. “Buka ruang
dialog antara Rakyat Papua dengan pemerintah Pusat yang dimediasi pihak
netral dan dilaksanakan di tempat netral. Kedua, rekontruksi UU NO
21/2001 dilakukan setelah melakukan tahapan dialog,” tulis
tabloidjubi.com (27/7).
Penolakan rakyat Papua yang dibarengi dengan tawaran solusi dialog
Jakarta-Papua, perundingan hingga refrendum untuk menyepakati konsep
pembangunan yang sesuai kehendak bersama, Jakarta dan Papua; namun
Pemerintah Indonesia tidak pernah mempertimbangkan solusi yang
ditawarkan orang Papua.
“Pemerintah terus memaksakan kehendaknya, bagai anjing mengongon kafilah terus berlari,” tutur Rumasep mencontohkan Lukas Enembe bersama beberapa Oknum anggota DPRP Papua, Majelis Rakyat Papua dan tim asistensi Univesitas Cendrawasih merekontruksi UU Otsus Papua, No 21 tahun 2001.
Lukas Enembe bersama orang-orang Jakarta, simbol legitimasi kekuasaan
Indonesia yang tidak sadar diri dengan jabatan, uang, pergi pulang
Jakarta terus memperjuangkan kehendak Jakarta. Gubernur menyerahkan
draft itu kepada tim asistensi yang terdiri dari 29 akademisi dari
Universitas Cendrawasih (Uncen). Uncen pun tidak pernah komentar banyak
atas draft itu. Kaum akademisi itu malah menyetujui draft yang menjadi
kontraversi itu. Penolakan mahasiswa Uncen juga tidak pernah didengar.
Pemerintah Papua dengan komando Lukas Enembe, namanya akademi yang
tidak tahu diri, lebih suka melacurkan status akademisnya sampai
memasukan kata Refrendum di dalam draft itu di pasal 299. Kata yang
tidak mungkin Jakarta terima, sudah terbukti banyak aktivis Komite
Nasional Papua Barat (KNPB) yang mengusung isu refrendum terbunuh.
Rumasep menilai pemasukan pasal itu sangat tidak masuk akal.
“Jakarta yang kasih pistol tidak mungkin menembak tangannya sendiri
kan. Kita tahu ini strategi Jakarta untuk meredam penolakan rakyat
Papua. Rakyat diam karena ada kata refrendum yang menjadi tuntutan
rakyat,” katanya.
Menurut Rumasep, sangat masuk akal, kalau Gubernur Papua Lukas
Enembe mengancam Jakarta dengan hal yang bisa diterima Jakarta. “Lukas
akan mempunyai kekuatan rakyat Papua. Beritahukan saja, saya akan blog
semua dinas-dinas,” tuturnya itu lebih masuk akal.
Rumasep memahami bahwa Gubernur Lukas Enembe mungkin terdesak Jakarta.
Bagi Markus Haluk, sekretaris Jendral Asosiasi Mahasiswa Pegunungan
Tengah Papua (AMPTPI), pemaksaan itu bukan terjadi melalui Otonomi
Khusus Papua melainkan Indonesia sudah memaksakan Orang Papua mengikuti
kehendaknya sejak penyerahan Papua dari UNTEA ke Indonesia.
“Penyerahan Papua kepada Indonesia itu tidak dalam rangka Papua
menjadi bagian integral dari Indonesia melainkan mempersiapkan Papua
untuk menentukan nasib sendiri melalui Pepera tetapi Indonesia bertindak
mempersiapkan orang Papua memilih Indonesia,” tuturnya dalam diskusi
bersama tabloidjubi.com.
Semua yang pernah terjadi, menurut Markus, ahli sejarah berkebangsaan
Belanda, J.P.Drooglever telah menulisnya dalam buku yang berjudul
“Tindakan Pilihan Bebas”. Anak-anak Papua dipaksa meneriakan Indonesia
merdeka menyambut pidato pertama presiden Soekarno di Holandia, kini
Jayapura, 4 Mei 1963. Anak-anak yang tidak mau, yang hendak
meninggalkan, pasukan Brimob mengembalikan mereka dengan tindakan tegas.
Pemerintah Indonesia mulai memaksakan kehendaknya melarang
Orang-orang Papua beraktifitas politik termasuk melarang partai-partai
dan serikat buruh. Kebebasan berekspresi di bungkam. Komunikasi orang
Papua dengan orang asing dibatasi. Orang asing yang ada di Papua didesak
pulang.
Menurut Markus, Indonesia membentuk provinsi dan beberapa kabupaten
dengan nama Jawa. Pembentukan wilayah itu berdasarkan keputusan presiden
No 1,2 dan 57 tahun 1963. Orang-orang Papua menjadi pelaksana tugas
yang tidak lebih dari simbol demi melegitimasi keiginan Jakarta.
“Elieser Bonay diangkat menjadi gubernur pertama Papua disamping orang-orang Jawa yang memegang posisi penting yang berhubungan langsung dengan Jakarta,” tuturnya.
Pemaksaan kehendak seperti ini, lanjut Markus, lebih kejam dari
kekuatan militer. Rakyat tidak memiliki kebebasan memilih, termasuk
delegasi yang menentukan nasib orang Papua dalam PEPERA.
“Kepala-kepala Suku dikumpulkan sebelum waktu diajar untuk memilih Indonesia,” tutur Markus.
Akhirnya, menurut Markus, orang-orang Papua itu menentukan pilihan
dalan tekanan militer Indonesia. Indonesia tidak pernah berhenti
memaksakan kehendak hingga hari ini.
Semua yang telah terjadi, sedang terjadi, akan terjadi, bukanlah
dalam rangka Indonesia membangun Papua dalam rangka asas kebebasan orang
Papua, melainkan, menurut Wilem Rumasep bagian dari drama pemaksaan
kehendak Jakarta kepada rakyat Papua. Karena itu, Rumasep berharap
rakyat Papua memahami drama ini dan harus menentukan sikap agar tidak
masuk terjebak dalam kepentingan Jakarta. (Jubi/Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar