Pages

Pages

Kamis, 06 Februari 2014

5 FEBRUARI RESMI LIBUR NASIONAL WEST PAPUA

misionaris


PAPUA--- Tepat pada Tanggal 5 Februari 2014 Pekabaran Injil di Tanah Papua ke-159   sebagai hari Libur resmi Nasional Papua Barat. Awalnya pada tahun 1855  dengan Nama Tuhan Yesus kita menginjak Tanah ini, ungkap dua misionaris asal Belanda dan Jerman, yakni Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler. 
Saat itu juga pertama kali injil masuk di Tanah Papua melalui di Pulau Mansinam, Teluk Doreh di Manokwari, West Papua.  Berarti agama  lebih awal  masuk Papua dari Kolonial Indonesia. 
 
Semua aktivitas baik Pemerintahan colonial Indonesia dan aktivitas Warga masyarakat Papua serta Non Papua berhenti aktivitas mereka, seluruh warga Papua berdoa dan beribadah memuliahkan Tuhan atas injil masuk diseluruh West Papua yang melingkupi Numbai sampai ke Merauke, dari Raja Ampat sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
‘Peringatan Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua ini penting dilakukan, karena Injil telah mengubah peradaban baru orang Papua”. 
Ini kronologis Injil masuk Papua, pada tanggal 12 Januari 1855 bertolaklah mereka dari Dermaga Ternate, menumpang Kapal (...) Ternate menuju Pulau tujuan mereka Mansinam. Dan ketika menunggu pelayaran selama 25 hari pada tanggal 5 Februari 1855 Kapal Ternate membuang sauhnya di depan pulau Manansbari (Mansinam) Dalam agenda Harian Geislee, menulis kepada Gossner demikian : Anda tidak dapat membayangkan betapa besarnya rasa sukacita kami pada saat akhirnya dapat melihat tanah tujuan kami, Minggu pagi Zending sauh dibuang untuk berlabuh di teluk Doreri. Matahari terbit dengan indahnya, ya semoga matahari yang sebenarnya, yaitu Rahmat Tuhan yang menyinari kami dan orang-orang kafir yang malang itu yang telah sekian lamanya merana didalam kegelapan semoga Sang Gembala setia mengumpulkan mereka dibawah tongkat GembalaanNya yang lembut. (Sekoci pertama yang menuju daratan membawa kedua orang penginjil itu kedaratan Mansinam pada pagi hari). 
Sebagaimana tindakan terakhir mereka lakukan saat berangkat dari Eropa, berdoa, maka masuk kedalam semak-semak berlutut dan mencurahkan isi hati mereka ("Dalam Nama Allah kami menginjak kaki di Tanah ini") Mereka memohon kepada Tuhan Allah untuk memperoleh kekuatan, hikmat dan terang, agar dapat mamulai Missi Pekabaran Injil dengan baik. Tentang reaksi dan respond (penerimaan) penduduk pulau Manamsbari kurang disentil (F.C. Kamma, ajaib di mata kita, Jakarta BPK 1981 hal 87) Namun tentunya pendaratan dan kehadiran serta gerakan-gerakan mereka sebagai orang asing tak dilewatkan, terutama ketika kedua Mssionaris itu masuk kedalam semak-semak berlutut dan menyerahkan isi hati berdoa kepada Tuhan. 

GAMBARAN UMUM PADA WAKTU ITU
New Guinea ditemukan oleh orang Portugis yang bernama Meneses pada tahun 1526, sedangkan namanya oleh seorang Spanyol yang bernama Alvarado pada tahun 1528 (jadi 300 tahun kemudian) orang Belanda berupaya untuk membuat tempat pemukiman di Kolobai di Pantai barat yang diberi nama DUBUS bagian selatan Papua daerah Fakfak sesuai dengan nama komisaris Nederland Hindia namun pada tahun 1836 mereka menghentikan usaha mereka karena dianggap terlalu mahal dan sia-sia. Pada tahun 1847 ada beberapa Missionaris Khatolik yang bermukim di pantai timur laut, namun pada tahun 1852 mereka menghentikannya dan pindah ke pulau yang lain. Pemukiman besar yang pertama di Puau yang besar, kaya dan diberkati ini dan diklaim kepemilikannya selama 350 tahun barulah terjadi melalui kedua orang Jerman Ottow dan Geislert pada tahun 1855. 
Nama Papua berasal dari kata dalam bahasa melayu, yaitu "Pua-Pua" yang berarti rambut keriting dan kemudian disingkat Papua.
Orang Papua pada waktu itu sangat curiga terhadap orang asing. Disamping itu mereka terkenal untuk merampok dan berperang serta hidup dari berdagang.
Rumah-rumah mereka dibangun diatas air untuk melindungi dari serangan musuh. Kebanggaan mereka adalah keberhasilan membunuh orang lain, yang ditandai dengan jumlah bulu sebagai hiasan kepala.
Kebiasaan untuk memakai manusia juga dijumpai di Tanah Papua Waktu itu. Mencuri dan perzinahan dipandang sebagai pelanggaran yang besar dan mendapat hukuman yang besar pula. Seringkala pula terjadi pembunuhan terhadap bayi-bayi yang baru lahir dan orang-orang yang sakit keras dikubur hidup-hidup. 
AWAL YANG SULIT DAN PENUH TANTANGAN
PADA TANGGAL 5 Februari 1855 C.W.Ottow dan rekannya J.G.Gaissler tiba di Mansinan yang letaknya berhadapan dengan Dore (Manokwari). Sebagai tempat tinggal sementara mereka memakai sebuah gubuk gudang penumpang batu bara peninggalan para pelaut ditepi pantai. Situasi yang dihadapi mereka sangatlah sulit. Kapal yang menghantar mereka sudah kembali. Tidak ada orang kecuali Frits yang dapat diajak berbicara. Mereka tidak bisa berkomunikasi dengan penduduk setempat dan bahasanya, mereka mengurusi diri mereka sendiri.
Penduduk setempat tidak memahami maksud dan tujuan kedua orang asing ini untuk menetap di Mansinam.
Dalam surat pengantar dikatakan Sultan Tidore mengirim mereka sebagi orang yang baik dan dengan maksud dan tujuan yang baik, tetapi hal itu tidak dapat mereka percayai, karena Sultan belum pernah melakukan kebaikan terhadap mereka (penduduk-masyarakat Pulau Mansinam- tetapi juga Papua umumnya). Terlebih penduduk terbiasa harus menanggung ketidak adilan dari Sultan Tidore.
Dengan alasan pajak setiap tahun mereka dijarah dan anggota keluarga mereka dijadikan budak, sebab itu tidaklah mengherankan kalu mereka tidak mempercayai isi surat dari Sutan Tidore dengan segala penjelasannya. Dalam hidup sehari-hari nampak kecurigaan penduduk setempat terhadap Ottow dan Geissler, kendatipun mereka tidak berani untuk menyerang kedua orang asing itu, tetapi dimata mereka, sehingga menurut mereka cepat atau lambat kedua orang asing ini akan disingkirkan, oleh sebab itu Ottow dan Geissler bersikap selalu waspada.
MEMULAI DENGAN AKTIFITAS UJIAN PERTAMA
Tibalah saatnya untuk memulai Pekerjaan mereka. Pertama-tama mereka harus mencari kayu yang cocok untuk membuat perahu dihutan Pulau Mansinam untuk dijadikan sarana transportasi laut untuk menyebrang kedaratan Manokwari, dimana rencana untuk membangun sebuah rumah. Karena mereka tak berpengalaman dengan jenis-jenis kayu di Papua, penduduk di Pulau Mansinam pun tidak menolong mereka dengan memberi informasi, maka mereka berdua berapa kali salah memilih kayu, sehingga pekerjaan berminggu-minggu menjadi sia-sia. (Kata Camma Geissler menulis dengan sampai tiga kali pohon kayu yang kami pilih dan tebang adalah pohon kayu yang besar, kayu besi yang tidak cocok karena berat dan akhirnya pecah karena kana panas matahari maka kami hampir tidak berdaya lagi. Tetapi syukurlah saya melihat sebuah perahu di rumah orang Papua, dan saya beruntung dapat membelinya dengan harga 12 gelden. Dan akhirnya dengan Perahu itulah digunakan mereka untuk menyeberang ke daratan Manokwari Teluk Dore (Kwawi) dan di daratan Kwawi setiap hari mereka bekerja menebang pohon. Dan pada malam harinya mendayung kembali ke pulau Mansinam. 
Karena mereka bekerja begitu keras pagi hingga malam sehingga akhirnya mereka jatuh sakit. Pertama-tama anak Frits menjadi sakit dan kemudian Ottow terkena kelengar mata hari, sehingga Ottow hampir meninggal . menghadapi keadaannya itu Geissler menulis dalam buku hariannya, saya sangat sedih dan memikirkannya, tetapi saya berdoa kepada Tuhan.
Tuhan saya membutuhkan dia dan orang-orang kafir ini membutuhkan dia, dem kerajaan-Mu, pulihkanlah dia kembalidan Tuhan yang Maha Mendengar seruan doa hamba-Nya dan akhirnya Ottow menjadi sembuh. Tak lama kemudian Gaissler yang kena giliran sakit. Tamu yang jahat yaitu demam Malaria menyerang dia. Juga terkena luka borok (abses) di kakinya yang sangat membahayakan atau menyakitkan. Ottow juga berulang kena radang otak. Demikian mereka berdua terbaring dalam kesakitan, lemah dan tanpa pertolongan apapun di gubuk mereka di Mansinam. 
Penduduk Mansinam mulai sadar bahwa kedua orang ini tidak membahayakan, kendati demikian mereka tidak menolong, acuh dan tanpa perasaan terhadap Ottow dan Gaissler. Ada sekelompok orang dari penduduk setempat sempat datang ke dalam gubuk untuk menengok , tetapi mereka hanya duduk saja, hanya memperhatikan Ottow dan Gaissler selama berjam-jam tanpa menolong sedikitpun. Tidak ada tangan yang diulurkan untuk memberikan segelas air.
Akhirnya datanglah pertolongan yang diharapkan. Gaissler menulis : Sesudah demam malaria meninggalkan saya dan saya untuk pertama kalinya dapat keluar gubuk. Saya merasakan kesakitan di kaki kiri saya, Borok itu semakin besar dan memerah, sehingga saya tidak dapat meninggalkan tempat tidur. Kesakitan saya begitu luar biasa, sehingga saya berteriak dan terus merintih dan berdoa kepada Tuhan yang menjanjikan : Mintalah, carilah, ketuklah. Meskipun kami tudak mempunyai harapan akan jalan keluar dari penderitaan ini, akan tetapi tetaplah benar apa yang Tuhan katakana : Tidak ada hal yang mustahil bagi mereka yang percaya, walaupun tidak terjadi mujizat yang luar biasa, tetapi Tuhan telah memimpin hati manusia seperti aliran sungai sehingga tanpa terduga datanglah sebuah kapal uap ke Mansinam, sehingga saya diselamatkan. Saya harus kembali ke Ternate. Tetapi keputusan ini sangatlah berat bagi saya. Beberapa tuan besar diatas kapal tersebut termasuk dokter kapal berusaha untuk meyakinkan saya, tetapi sia-sia karena saya masih tetap mau bertahan di Mansinam. Akhirnya Residen Belanda sendiri mengirim pesan sampai ketempat tidur saya dan mengatakan : 
Saya memberikan kebebasan kapada Anda untuk datang ke Tanah Papua dan untuk berusaha hidup, tetapi karena kepada saya disampaikan Anda dalam keadaan kritis (hampir mati), maka saya hanya dapat mengatakan Anda harus kembali. Demikianlah akhirnya saya menyerah dan ikut ke Ternate.
Di Ternate J.G. Gaissler mendapat perawatan dan akhirnya sembuh, tetapi harus menunggu Kapal selama sekitar 10 (sepuluh) bulan untuk kembali ke Mansinam.
C.W. Ottow dengan pembantu mereka Frits tinggal sendirian di Pulau Mansinam. Walaupun terkadang di serang, Demam Malaria tapi selalu memperoleh keberanian, tenaga keteguhan hati pada keyakinan dan visinya. Untuk mengatasi kesepian Ottow mengintensifkan hubungan dengan para penduduk terutama melalui imbal dagang. Ottow membeli hasil-hasil penduduk, kacang-kacangan, ikan, burung cenderawasih, kerang, perisai- senjata tradisional, teripang dan di jual kepada saudagar dari kapal Van Duivenbode, hasil uang dari penjualan tersebut digunakan untuk belanja kebutuhan pokok, obat-obatan. Pada tanggan 12 Januari 1856 (Gaissler) berangkat sengan kapal kembali ke Tanah Papua Mansinam di sertai 5 orang tukang kayuuntuk membangun rumah disana.
Tugas pewartaan pemberitaan Firman.Injil, atau penyebaran.
Pada tanggal 25 September 1858, dating 12 orang dalam kondisi lemah yang selamat dari kecelakaan kapal Belgia "Constant" Kapal tersebut pada tanggal 12 Juni 1858, menabrak batu karang dan pecah akibat salah leinnya disebelah selatan pulau karang Mansinam. Orang-orang Papua yang ramah pada saat itu melihat pada punggung salah satu awak kapal terdapat tulisan doa dalam bahasa Belanda akhirnya membawa mereka kepada Ottow dan merawat serta memberi makan pada anak buah kapal yang kena musibah tersebut selama 6 bulan. 
Kedua misionaris dengan bantuan dari tukang dari Kapal tersebut, bersama 4 orang tukang dari Halmahera (Gelela) Ottow mengadakan pelayanan kebaktian setiap hari Minggu kepada mereka dalam bahasa Belanda. Dengan penuh rasa syukur mereka menngalkan Mansinam dan menggunakan perahu layer pada tanggal 11 April 1859 dan tiba di Ternate 1 Juni 1859 dan dalam bulan Oktober tahun yang sama mereka tiba di Amsterdam. 
Nb. Gaissler dalam buku hariannya menulis : sering berulang-ulang menolong para Pelaut yang karena kapal-kapal dagang Jerman dan Belanda yang karam di perairan Papua. Hal menolong bukanlah sesuatu yang mudah, karena membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit dan bersedia untuk merawat, memelihara sejumlah besar pelaut dan pengobatan.
PENYELAMATAN PARA PELAUT JERMAN YANG KAPALNYA KARAM
Pada bulan Maret 1857 mereka mendengar berita tenteng karamnya Kapal dagang Jerman yang terdampar pada batu karang di kawasan Teluk Cenderawasih, untuk menyelamatkan anak buah Kapal demi terhindar dari perbudakan dan kematian sebab ada tiga (3) orang anak buah kapl itu sudah dibawa ke Windesi. Ottow dan Gaissler menyiapkan barang-barang dagang untuk barter dan uang menyewa sebuah perahu dengan 22 orang laki-laki tenaga pendukung, setelah melalui suatu perundingan untuk menentukan siapa diantara mereka yang harus berangkat, sebab seorang harus tinggal di Mansinam, akhirnya membuang undi, dan pilihan jatuh pada Gaissler. Sehngga ia yang berangkat dengan para pendayung, dan pada tanggal 11 April 1857 ia berhasil menyelamatkan dan menebus 3 orang awak kapal sedang yang seorang berada di tempat yang jauh, namun setelah mendengar berita bahwa ia telah meninggal, para bajak laut sudah mengambilnya dan membunuh dengan kejam di semenanjung Wandamen. Leh sebab itu Gaissler dan para pendayungnya segera berangkat kembali ke Mansinam. Ketiga awak kapal yang diselamatkan itu, mereka dalam keadaan sakit dan terus dirawat oleh Ottow dan Gaissler. Sesudah mereka sembuh lalu mereka berangkat dengan kapal dan tiba dengan selamat di tanah air mereka (Jerman). 
Sebagai tanda terima kasih kepada enyelamatan anak buah kapal Jerman dimana Pemerintah Belanda (Den Haag) mendengar bagaimana kedua missionaries  Ottow dan Gaissler mempertaruhkan nyawa dan milik mereka untuk menyelamatkan anak-anak buah kapal yang karam itu, kepada Ottow dan Gaissler diberikan hadiah kepada masing-masing sebesra 250 Gulden kepada mereka. Dalam agenda Gaissler menulis, Mereka merasa bersukacita bahwa sekarang mereka tidak perlu lagi hidup semata-mata dari uang persembahan Missi/Badan Zending, tetapi dapat hidup dari gaji Pemerintah Belanda, sehingga mereka lebih leluasa dalam menjalankan tugas. (UN/Admin)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar