Parlemen Eropa. Foto: UE |
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Anggota-anggota subkomite HAM
parlemen Eropa di Brussels mengadakan dengar pendapat terkait
pelanggaran HAM di Papua, Indonesia, kemarin, pada hari Kamis 23 Januari
2014. Hadir sebagai narasumber utama, Victor Mambor (Aliansi Jurnalis
Indonesia-Jayapura), Zely Ariane (National Papua Solidarity-NAPAS), dan
Norman Voss (International Coalition for Papua-ICP).
Dengar pendapat ini dilakukan terkait Partnership and Cooperation Agreement (PCA) antara Eropa dan Indonesia yang telah dimatangkan di Parlemen Eropa. Diharapkan situasi hak azasi manusia di Papua akan menjadi perhatian di dalam kerjasama tersebut.
Selama satu jam pertemuan, ketua sidang dengar pendapat memberikan pengantar terkait laporan hak azasi manusia yang mereka terima menjelang pertemuan ini. Beberapa kelompok NGO HAM nasional dan internasional, seperti Human Rights Watch, mengirimkan surat ke anggota-anggota sub-komite agar memperhatikan situasi khusus pelanggaran HAM di Papua.
Victor Mambor dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Jayapura, menyampaikan daftar kasus intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan di Papua selama lima tahun terakhir dan menyerukan kepada Uni Eropa untuk menjamin perlindungan kepada wartawan dan kebebasan pers di Papua.
"Masih ada standar ganda yang diterapkan di Papua dan Indonesia terhadap kebebasan pers dan penerapan Undang-Undang Pokok Pers, No. 40 Tahun 1999," kata Mambor.
Dalam dengar pendapat ini, Mambor menjelaskan AJI telah mendokumentasikan 22 kasus ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis di Papua pada tahun 2013.
"Kami menyampaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua selama lima tahun terakhir, akses jurnalis asing ke Papua dan standar ganda UU Pokok Pers yang diterapkan di Papua terhadap media lokal," tambah Mambor.
Norman Voss, organisasi Hak Asasi Manusia dan Perdamaian untuk Papua, sebuah koalisi internasional dari organisasi berbasis agama dan masyarakat sipil (ICP), menyerukan pembebasan semua tahanan politik di Papua dan mengingatkan kunjungan luar biasa dalam mekanisme HAM PBB ke Papua.
"Papua harus dibuka dan norma-norma hak asasi manusia internasional diterapkan di Papua. Perubahan yang damai dan berkelanjutan tidak bisa diharapkan dalam iklim ketakutan dan represi dari perbedaan pendapat politik."
Pada bulan Juni 2013, Komite Hak Asasi Manusia hak-hak sipil dan politik PBB di Jenewa telah mendesak Indonesia untuk mencabut pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Papua.
Zely Ariane dari Solidaritas Nasional Papua (NAPAS) di Jakarta menjelaskan bahwa situasi demokrasi di Papua secara fundamental tidak berubah ditengah pujian dunia internasional yang luas terhadap 15 tahun demokratisasi di Indonesia, "pemerintah Indonesia harus mengakui bahwa keadaan hak asasi manusia di Papua serius."
Dia menyerukan kepada Uni Eropa untuk menekan pemerintah Indonesia agar melanjutkan komitmen mereka untuk melakukan dialog dengan orang Papua.
Respon
Keprihatinan terhadap situasi HAM dan pembangunan di Papua tercermin dari beberapa komentar singkat anggota Parlemen Eropa yang menginisiatifi PCA serta sidang sub komite HAM terkait situasi Papua tersebut. Anna Gomez, dari Partai Sosialis Portugal yang tergabung dalam Kelompok Progressive Alliance of Socialists and Democrats di Parlemen Eropa, mengatakan PCA dapat dijadikan kerangka kerja dalam melakukan pendekatan yang berbeda terhadap persoalan HAM di Papua.
Ia menekankan pentingnya dialog hak azasi manusia dilakukan terkait Papua. PCA diharapkan dapat menjadi alat untuk melakukan pendekatan tersebut.
Leonidas Donskis, dari Partai Liberal Lithuania yang tergabung dalam Kelompok Alliance of Liberals and Democrats for Europe di Parlemen Eropa, juga salah seorang yang mendorong persoalan Papua dibicarakan di sidang Sub Komite HAM Parlemen Eropa, juga menekankan dialog kebudayaan sebagai strategi mempertemukan pihak-pihak terkait persoalan HAM Papua.
Sebagai penanggap dalam forum tersebut, Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa Arif Havas Oegroseno, tidak setuju situasi Papua dikatakan tidak mengalami perubahan. Ia menekankan berbagai kebijakan desentralisasi melalui otonomi khusus yang dianggap berhasil dalam kerangka pembangunan. Menurutnya, Bank Dunia mengatakan, tingkat kemiskinan di Papua cenderung menurun.
Sementara Morgan Mc Swiney, mewakili External Action Service (EEAS) Eropa mengakui bahwa masih sangat banyak yang harus dikerjakan di Papua, dan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling tampak diterima banyak pihak. Ia dengan jelas menekankan perluanya pembukaan ruang dan akses terhadap jurnalis dan pemantau internasional, sama pentingnya dengan mengkonkretkan pembangunan di Papua.
Di akhir forum dengar pendapat tersebut, Zely mengatakan bahwa pembangunan dan alokasi dana besar yang diberikan pemerintah dalam otonomi ke Papua tidak banyak berarti ketika ruang demokrasi untuk melakukan pengawasan dan kritik tidak ada, sehingga "rakyat tidak diberikan ruang untuk mempertanyakan kenapa manfaat pembangunan tidak jatuh pada mereka." Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah syarat pembangunan yang pro rakyat.
Viktor Mambor juga menegaskan bahwa persoalannya bukan pada apakah UU Otonomi khusus sudah baik dan cukup buat Papua, melainkan tidak adanya konsistensi antara UU tertulis yang muatannya baik dengan praktek di lapangan. "Disinilah peran penting dibukanya akses terhadap Papua agar jurnalis dan pemantau internasional dapat melakukan pengawasan dan penilaian." (GE/NAPAS/MS)
Dengar pendapat ini dilakukan terkait Partnership and Cooperation Agreement (PCA) antara Eropa dan Indonesia yang telah dimatangkan di Parlemen Eropa. Diharapkan situasi hak azasi manusia di Papua akan menjadi perhatian di dalam kerjasama tersebut.
Selama satu jam pertemuan, ketua sidang dengar pendapat memberikan pengantar terkait laporan hak azasi manusia yang mereka terima menjelang pertemuan ini. Beberapa kelompok NGO HAM nasional dan internasional, seperti Human Rights Watch, mengirimkan surat ke anggota-anggota sub-komite agar memperhatikan situasi khusus pelanggaran HAM di Papua.
Victor Mambor dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Jayapura, menyampaikan daftar kasus intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan di Papua selama lima tahun terakhir dan menyerukan kepada Uni Eropa untuk menjamin perlindungan kepada wartawan dan kebebasan pers di Papua.
"Masih ada standar ganda yang diterapkan di Papua dan Indonesia terhadap kebebasan pers dan penerapan Undang-Undang Pokok Pers, No. 40 Tahun 1999," kata Mambor.
Dalam dengar pendapat ini, Mambor menjelaskan AJI telah mendokumentasikan 22 kasus ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis di Papua pada tahun 2013.
"Kami menyampaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua selama lima tahun terakhir, akses jurnalis asing ke Papua dan standar ganda UU Pokok Pers yang diterapkan di Papua terhadap media lokal," tambah Mambor.
Norman Voss, organisasi Hak Asasi Manusia dan Perdamaian untuk Papua, sebuah koalisi internasional dari organisasi berbasis agama dan masyarakat sipil (ICP), menyerukan pembebasan semua tahanan politik di Papua dan mengingatkan kunjungan luar biasa dalam mekanisme HAM PBB ke Papua.
"Papua harus dibuka dan norma-norma hak asasi manusia internasional diterapkan di Papua. Perubahan yang damai dan berkelanjutan tidak bisa diharapkan dalam iklim ketakutan dan represi dari perbedaan pendapat politik."
Pada bulan Juni 2013, Komite Hak Asasi Manusia hak-hak sipil dan politik PBB di Jenewa telah mendesak Indonesia untuk mencabut pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Papua.
Zely Ariane dari Solidaritas Nasional Papua (NAPAS) di Jakarta menjelaskan bahwa situasi demokrasi di Papua secara fundamental tidak berubah ditengah pujian dunia internasional yang luas terhadap 15 tahun demokratisasi di Indonesia, "pemerintah Indonesia harus mengakui bahwa keadaan hak asasi manusia di Papua serius."
Dia menyerukan kepada Uni Eropa untuk menekan pemerintah Indonesia agar melanjutkan komitmen mereka untuk melakukan dialog dengan orang Papua.
Respon
Keprihatinan terhadap situasi HAM dan pembangunan di Papua tercermin dari beberapa komentar singkat anggota Parlemen Eropa yang menginisiatifi PCA serta sidang sub komite HAM terkait situasi Papua tersebut. Anna Gomez, dari Partai Sosialis Portugal yang tergabung dalam Kelompok Progressive Alliance of Socialists and Democrats di Parlemen Eropa, mengatakan PCA dapat dijadikan kerangka kerja dalam melakukan pendekatan yang berbeda terhadap persoalan HAM di Papua.
Ia menekankan pentingnya dialog hak azasi manusia dilakukan terkait Papua. PCA diharapkan dapat menjadi alat untuk melakukan pendekatan tersebut.
Leonidas Donskis, dari Partai Liberal Lithuania yang tergabung dalam Kelompok Alliance of Liberals and Democrats for Europe di Parlemen Eropa, juga salah seorang yang mendorong persoalan Papua dibicarakan di sidang Sub Komite HAM Parlemen Eropa, juga menekankan dialog kebudayaan sebagai strategi mempertemukan pihak-pihak terkait persoalan HAM Papua.
Sebagai penanggap dalam forum tersebut, Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa Arif Havas Oegroseno, tidak setuju situasi Papua dikatakan tidak mengalami perubahan. Ia menekankan berbagai kebijakan desentralisasi melalui otonomi khusus yang dianggap berhasil dalam kerangka pembangunan. Menurutnya, Bank Dunia mengatakan, tingkat kemiskinan di Papua cenderung menurun.
Sementara Morgan Mc Swiney, mewakili External Action Service (EEAS) Eropa mengakui bahwa masih sangat banyak yang harus dikerjakan di Papua, dan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling tampak diterima banyak pihak. Ia dengan jelas menekankan perluanya pembukaan ruang dan akses terhadap jurnalis dan pemantau internasional, sama pentingnya dengan mengkonkretkan pembangunan di Papua.
Di akhir forum dengar pendapat tersebut, Zely mengatakan bahwa pembangunan dan alokasi dana besar yang diberikan pemerintah dalam otonomi ke Papua tidak banyak berarti ketika ruang demokrasi untuk melakukan pengawasan dan kritik tidak ada, sehingga "rakyat tidak diberikan ruang untuk mempertanyakan kenapa manfaat pembangunan tidak jatuh pada mereka." Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah syarat pembangunan yang pro rakyat.
Viktor Mambor juga menegaskan bahwa persoalannya bukan pada apakah UU Otonomi khusus sudah baik dan cukup buat Papua, melainkan tidak adanya konsistensi antara UU tertulis yang muatannya baik dengan praktek di lapangan. "Disinilah peran penting dibukanya akses terhadap Papua agar jurnalis dan pemantau internasional dapat melakukan pengawasan dan penilaian." (GE/NAPAS/MS)
Sumber : www.majalahselangkah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar