Pages

Pages

Minggu, 12 Januari 2014

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum Sebagai HAK Konstitusi Warga Negara

Ilustrasi . Puluhan ribu orang Papua Barat menunjukkan seluruh Papua Barat selama semua tahun 2013 , meminta Melanesian Spearhead Group untuk keanggotaan penuh sebagai sesama Melanesia( Foto,KNPB)
Sepajang sejarah Bangsa Papua berada dalam cengkraman kolonialisme indonesia, Hak Asasi Manusia yang disandang oleh Bangsa Papua akan terus dilanggar walaupun telah disebutkan sebagai Hak Konstitusi dan bahkan lebih jauh telah ada peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk menjaminnya. 
Kenyataan itu akan terus terjadi karena Indonesia memiliki Kepentingan Atas Kekayaan Alam yang terkandung dalam perut bumi Papua, selain itu indonesia juga memiliki kepentingan atas wilayah papua karena letaknya sangat strategis untuk dijadikan benteng pertahanan dan sebagai jalur perdagangan yang efektif. Dalam kondisi bangsa papua masih berada dalam cengkraman negara kolonialisme, tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh Alat Negara Indonesia (TNI dan POLRI) terhadap Bangsa Papua didukung sukses oleh sistim politik negara indonesia, sehingga banyak pelaku pelanggaran HAM Berat yang belum pernah disidangkan jangankan dihukum. Kenyataan perlakuan negara kolonialisme indonesia terhadap mantan presiden soeharto merupakan bukti wujudnyata Negara Indonesia yang hanya menjadikan Status Negara Hukum sebagai formalitas belaka.

Dengan bersandar dengan kenyataan sistim indonesia yang selalu melindungi pelaku pelanggaran HAM Berat dan semakin menguatkan cengkraman kolonialisme indonesia atas wilayah dan bangsa papua, artinya Sistim Politik Negara Kolonialisme Indonesia itulah yang sedang menyuburkan penindasan dan perampokan kekayaan alam bangsa papua. Diatas kenyataan itu, ada beberapa dasar hukum yang bersumber dari dalam tubuh sistim penindasan yang dapat digunakan sebagai tameng untuk memperjuangkan hak-hak kami sebagai Bangsa Papua diarena perjuangan.

Memang pada implementasinya (prakteknya) di tanah papua, beberapa dasar hukum tentang HAM dan Demokrasi tidak berjalan secara maksimal dalam konteks perlindungan terhadap perjuang HAM Bangsa Papua, namun yang perlu dipahami disini adalah kenyataan dimana pejuang HAM Bangsa Papua selalu diintimidasi, diteror, dianiyaya, dan bahkan dibunuh mengunakan sistim penindasan yang sama.

Setelah memahami dan melihat beberapa dasar hukum yang terdapat dalam sistim yang sedang menindas bangsa papua, disana terdapat beberapa dasar hukum yang dapat dijadikan dasar untuk melindungi perjuangan kami. dengan demikian maka perlu kiranya kita mendalami sistim tersebut dan selanjutnya dijadikan dasar untuk melawan sistim penindasan yang sedang dibangun oleh Negara Kolonial Indonesia.

Dasar Hukum Yang Melindungi Pejuang HAM dan Demokrasi di Indonesia
Secara umum kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum dilindungi dalam negara indonesia, secara yuridis perlindungannya ditetapkan pada beberapa aturan hukum dibawah ini, sebagai berikut :
a. Uundang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
c. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Ekonomi, Sosial, dan Budaya
e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Sipil dan Politik
f. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar dan Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Menjalankan Tugas-Tugas Kepolisian
Khusus menyangkut kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum ini telah diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 dan juga dalam implementasinya merupkan tugas pokok kepolisian republik indonesia implementasi HAM dalam tubuh POLRI yang telah ditetapkan dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 akan dibahas selanjutnya.

Hak-Hak Pejuang HAM dan Demokrasi Dalam Jalan Perjuangannya
Sementara kami bangsa papua masih hidup dalam penjajahn negara kolonialis indonesia, kami sebagai Warga Negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk : a). Mengeluarkan pikiran secara bebas; b). Memperoleh perlindungan hukum. (Pasal 5). Masyarakat berhak berperan serta secara bertanggungjawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat dimuka umum dapat berlangsung secara aman, tertib dan damai. (pasal 8).

Ada beberapa Bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dapat dilaksanakan, yaitu dengan cara :
a. Unjuk Rasa atau Demontrasi;
b. Pawai;
c. Rapat umum; dan atau
d. Mimbar bebas.
Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud diatas, dilaksanakan ditempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali:
a. Dilingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan
b. Objek-objek vital nasional;
c. Pada hari besar nasional.
Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum. (Pasal 9)

Hal-Hal Yang Wajib Di Lakukan Pegiat HAM dan Demokrasi
Sebelum melakukan kegiatan Penyamapaian pendapat di muka umum wajib diberitahukan kepada Polri secara tertulis. Pemberitahuan secara tertulis itu disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok, selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan di mulai. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud diatas tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan. (Pasal 10). Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud diatas, memuat:
a. Maksud dan tujuan;
b. Tempat, lokasi dan rute;
c. Waktu dan lama;
d. Bentuk;
e. Penanggung jawab;
f. Nama dan alamat organisasi, kelompokatau perseorangan;
g. Alat peraga yang digunakan; dan atau
h. Jumlah peserta. (Pasal 11)
Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis danlangsung oleh penanggung jawab kepada polri selambat-lambatnya 24 jam sebelum waktu pelaksanaan. (Pasal 14)

Apa Yang Harus Dilakukan Polisi Dalam Menyikapi Pemberitahuan dan Kegiatan Berlangsung
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah (Polisi) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Melindungi Hak Asasi Manusia;
b. Menghargai asas legalitas;
c. Menghargai prinsip praduga tidakbersalah; dan
d. Menyelenggarakan pengamanan. (Pasal 7)
Aparat kepolisian setelah menerima surat pemberitahuan wajib : a). Segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan, b). Berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum; c). Berkoordinasi dengan pimpinan instansi / lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat; dan d). Mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi dan rute. Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum. Selain itu Polri juga bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuaidengan prosedur yang berlaku. (Pasal 13)

Selain itu sebagai wujudnyata implementasi Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 maka hal-hal diatas, dan beberapa hal yang tidak diatur didalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tetapi telah dijamin sebagai Hak Konstitusi Negara Indonesia juga wajib dijunjung dan dilindungi oleh Kepolisian Republik Indonesia.

Hal-Hal Yang Dapat Membubarkan Aktifitas Pernyataan Pendapat
Dalam melakukan aktifitras penyampaian pendapat di muka umum dapat di bubarkan apabila tidak aktifitasnya mengganggu kepentingan umum (menutup jalan umum), aktifitasnya dilakukan ditempat penting (rumah ibadah, terminal, stasiun kereta) objek vital negara, dan dihari besar keagamnaan dan/atau kenegaraa, serta peserta membawah alat tajam. Selain itu aktifitas penyampaian pendapat dimuka umum akan dibubarkan bila tidak ada pemberitahuan kepada puhak yang berwenang (Pasal 15), dan peserta melakukan perbuatan melanggar hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 16)

Bagi pelaksana aktifitas pernyataan pendapat dimuka umum yang melanggar aturan, dikategorikan sebagai kejahatan (Pasal 18), dan akan dikenai sangksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satupertiga) dari Pidana Pokok. (Pasal 17)

Penutup
Fakta kemerdekaan menyampaikan pendapat di Tanah Papua penuh akan pelanggaran hukum dan HAM, bahkan disana banyak sekali kasus penyalahartian isi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 diatas, sebagai contoh dimana Kepolisian Daerah Papua mewajibkan adanya “Surat Ijin” apabila melakukan atifitas penyampaian pendapat dimuka umum, padahal isi dari aturan yang ada diatas hanya menjelaskan tentang wajib ada “Pemberitahuan” dan selanjutnya Polisi dengan segerah memberikan “Surat Tanda Penerimaan”.

Secara harafia jika dianalisi kata Pemberitahuan dan Ijin sebenarnya memiliki artian yang berbeda antara keduannya, jika di Papua implementasi artiannya disatukan maka jelas-jelas sudah mengaburkan atau tepatnya mengartikan bunyi pasal secara kabur. Kenyataan kesalahan penafsiran tersebut hingga saat ini semakin menambah deretan pelanggaran HAM Berat yang dilakukan secara terang-terang oleh kepolisan namun anehnya Komisi Kepolisian Nasional tidak pernah melihat atu bahkan mempersoalkan hal itu sehingga jelas-jelas menunjukan pembiaran dan sekaligus semakin meruncingkan pelanggaran terhadap Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009.

Kasus pembubaran aksi 28 November 2013 dan kasus-kasus pembubaran lainnya wajib dijadikan studi kasus yang berharga demi melanjutkan perjuangan kita kedepan, dan jika ada kasus serupa diharpkan untuk jangan melakukan serangan ataupun tindakan-tindakan lainnya sebab akan menjerumuskan kita dalam posisi dikriminaslisasikan sebab penjajah memang sudah merancang sistim yang begitu bagus untuk terus menindas kami, sehingga diharapkan agar selanjutnya kami dapat menempuh cara-cara yang tepat dan tidak dapat mengorban kami dan perjuangan selanjutnya.
Semoga Bermanfaat
Penulis : Pedalaman Gunung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar