Oleh : Socratez Sofyan Yoman
Sesuai
dengan laporan resmi, alasan pokok pemberontakan rakyat Papua yang dilaporkan
administrasi lokal sangat memalukan. Karena tanpa ragu-ragu, penduduk Irian
Barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka” (Laporan Resmi Hasil
PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, alinea 164, 260). Lebih tegas,
Fernando Ortiz Sanz, menyatakan: “Mayoritas orang Papua menunjukkan
berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran Negara Papua
Merdeka.” ( Dokumen resmi PBB, Annex I, A/7723, alinea, 243, hal. 47).
Sementara
kesaksian pelaku dan saksi sejarah yang dikirim
oleh Pemerintah Indonesia untuk memenangkan PEPERA 1969, Piter Sirandan (alm),
pada awal Desember 2009 setelah membaca buku saya: “Permusnahan Etnis
Melanesia” (2007) dan “Suara Bagi Kaum Tak Bersuara” (2009) menyatakan
penyesalannya kepada saya: “ Pak Yoman, saya tiba di Jayapura, 1 Desember
1964. Kami orang Indonesia benar-benar menipu orang-orang Papua yang mau
berkata benar pada waktu itu. Kami benar-benar menipu orang Papua. Kami
benar-benar menindas orang Papua. Kami benar-benar merugikan masa depan orang
Papua. Kami benar-benar tidak menghargai hati nurani orang Papua untuk
benar-benar mau merdeka. Kami mengetahui bahwa pada waktu pelaksanaan PEPERA
1969 itu, orang-orang Papua benar-benar mau merdeka. Saya mengetahui bahwa 100%
orang Papua mau merdeka. Impian dan harapan mereka, benar-benar kami hancurkan.
Pada waktu itu, saya mendapat hadiah uang sebesar Rp 7.000.000; dari Pemerintah
Indonesia karena saya dianggap berhasil menipu orang Papua dan memenangkan
PEPERA 1969. Karena itu, sekarang saya sangat mendukung perjuangan orang Papua
untuk merdeka” ( baca: Dumma Socratez Sofyan Yoman: Integrasi Belum
Selesai: 2010: hal.91-92, dan Socratez Sofyan Yoman: Gereja dan Politik di
Papua Barat: 2011, hal. 21)
Bertolak
dari kutipan laporan resmi PBB ini dan pengakuan pelaku sejarah di atas,
pertanyaan yang perlu saya ajukan di sini adalah: Pertama, apakah
sejak 1963-2012 dalam kurun waktu 49 tahun pendudukan pemerintahan
Indonesia di Papua telah menurunkan jumlah keinginan rakyat Papua mau merdeka
dari 95% atau jumlah mayoritas itu ke level 10 % atau sebaliknya justru
dari 95% telah meningkat tajam melebihi 95% untuk keinginan merdeka dan berdiri
sendiri? Kedua, Apakah benar hanya segelintir orang asli Papua yang
mendukung Papua merdeka dan mayoritasnya mendukung dan memperkuat
pendudukan dan penjajahan pemerintah Indonesia di Tanah Papua?
Kita
menjawab pertanyaan ini dengan fakta, bukti atau realitas bukan ilusi dan
imajiner.
Contoh-contoh
realitas. Pertama, Pada Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli
2011 di Auditorium Uncen Jayapura yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai
Papua (JDP). Para pembicara adalah Menkopolhukam, Gubernur, Kapolda,
Pangdam XVII Cenderawasih, Uskup Dr. Leo Laba Ladjar, OFM., Dr. Tonny
Wanggai, Dr. Pdt. Benny Giay dan Saya (Socratez Sofyan Yoman). Pada saat
giliran dari perwakilan KODAM XVII untuk menyampaikan materi, pembicara
diberikan kesempatan dan mengambil tempat di podium oleh moderator. Sebelum
pembicara menyampaikan materi, ada komanda seperti ini: “Saudara-saudara, kalau
saya sebut kata “Papua”, saudara-saudara peserta menyahut dengan kata
“Damai”. Pembicara dari Kodam ini sebut Papua dan peserta menjawab
dengan Merdeka. Pembicara sebut Papua: Peserta menjawab: Merdeka. Dan
terakhir ketiga kalinya: Pembicara sebut Papua dan peserta menyambut dengan
kata Merdeka.
Kedua, Pada
tanggal 17-19 Oktober 2011, Rakyat Papua berkumpul di lapangan
sepak bola Zakeus Padang Bulan Abepura dan menyatakan merdeka dan berdiri
sendiri sebagai bangsa berdaulat di atas tanah leluhurnya.
Ketiga, Pada
tanggal 10 Januari 2012, saya dengan Pendeta Marthen Luther Wanma mengadakan
pertemuan dengan rakyat Manokwari di Gereja GKI Effata Manokwari untuk
memberikan penjelasan hasil pertemuan kami dengan bapak Presiden Republik
Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono, di Cikeas, 16 Desember
2011. Sebelum kami memberikan penjelasan, saya mengajukan satu
pertanyaan sebagai seorang gembala umat kepada umat atau domba-domba yang
hadir. Pertanyaan saya sebagai berikut: “ Saudara-saudara, siapa-siapa
yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini?” Seluruh
rakyat yang hadir serentak berdiri dan angkat tangan dan mengatakan
merdeka….merdeka…..merdeka….”. Yang tidak berdiri hanya 3 orang PNS, salah
satunya adalah Bapak Sekda Kabupaten Manokwari.
Keempat,
Pada tanggal 20 Januari 2012 pertemuan dengan rakyat di Sorong dengan tujuan
yang sama. Pada pertemuan itu yang mewakili Danrem Sorong dan Kapolreta Sorong
hadir untuk mengikuiti penjelasan itu. Saya mengajukan pertanyaan yang sama.
Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang
Melanesia ini? “ Seluruh hadirin yang memenuhi ruangan itu berdiri dan
angkat tangan dan mengatakan: merdeka… .merdeka…… merdeka…….. merdeka…..”. Yang
tidak berdiri hanya bapak yang mewakili Danrem dan Kapolresta Sorong.
Apakah ini
dikatakan segelintir orang? Ini masalah hak politik dan demi masa
depan bangsa Papua. Kekuatan rakyat ini, tidak bisa kita bendung. Berapapun
jumlahnya. Kita harus memberikan ruang untuk rakyat Papua. Karena sudah lama
mereka menderita. Saudara-saudara, ini fakta. Ini bukti.Ini realitas. Ini di
depan mata kita. Ini dibicarakan dalam era Otonomi Khusus yang GAGAL itu.
Ini dibicarakan di tempat resmi. Ini disampaikan dengan jujur dan sopan kepada
pejabat resmi. Tidak bicara ditempat sembunyi-sembunyi. Tidak dibicarakan di
hutan-hutan. Ini bukti kejujuran. Ini bukti keterbukaan sebagai bangsa
yang bermartabat. Pejabat Indonesia, Pemerintah dan aparat keamanan
bukalah hati nuranimu sebagai manusia.
Para pembaca
yang terhormat dan yang mulia, ijinkan saya mengutip kembali opini saya
di Bintang Papua, Selasa, 14 Februari 2012, hal.5 dan Pasific Post, hal.12
) dengan topik: PEPERA 1969, OTONOMI KHUSUS 2001, UP4B 2011. “ Para
pembaca opini ini, Anda percaya atau tidak. Anda akui atau tidak. Anda suka
atau tidak suka. Anda senang atau tidak senang. Saya TAHU, saya SADAR, saya
MENGERTI, saya PERCAYA dengan IMAN, bahwa CEPAT atau LAMBAT nubuatan ini akan
terwujud, hanyalah persoalan waktu. “Di atas batu ini saya
meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi,
akal budi,dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan
bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior,
Manokwari, 25 Oktober 1925).
Karena itu,
solusi terbaik yang berprospek damai dan manusiawi yang saya usulkan sebagai
bahan pertimbangan pemerintah Indonesia ialah: Pertama, Pemerintah Indonesia
dengan jiwa besar harus mengakui kekagagalan dan kesalahan terhadap penduduk
asli Papua sejak 1 Mei 1963 sampai hari ini dan harus mengakhiri
pendudukan dan penjajahan di atas Tanah Papua. Kedua, Pemerintah Indonesia dan
Rakyat Papua harus membuat perjanjian-perjanjian kerja sama dalam bidang :
ekonomi, keamanan, politik dan bagaimana nasib orang-orang Melayu, Indonesia
yang sudah lama berada di Papua dan termasuk penduduk Transmigrasi.
Ketiga, saya ingatkan kepada pemerintah dan aparat keamanan, walaupun di Tanah
Papua akan dibangun sejumlah infrastruktur milite di darat, dilaut dan di udara
dan datangkan para pendatang tanpa terkendali di Tanah Papua untuk menekan
orang asli Papua, tetapi saya katakan kepada Anda semua: “ Dunia tidak berada
dalam pengawasan dan kontrol Indonesia. Indonesia sekarang sedang dipantau dan
dikontrol dengan ketat setiap detik.” Ini awasan sejak dini dari seorang
gembala umat, supaya Indonesia harus baik-baik dan perbaiki relasi yang
manusiawi dengan penduduk asli Papua, pemilik tanah dan negeri ini. Supaya
Indonesia diberkati dan dikasih oleh Tuhan.
Pemerintah
Indonesia dan aparat keamanan yang bertugas di Tanahnya orang Melanesia Papua
ini diharapkan supaya mempelajari dan merenungkan nubuatan ini. ”Di Tanah
ini, kita bekerja di antara satu bangsa (Papua) yang kita tidak tahu apa maksud
TUHAN buat bangsa ini. Di Tanah ini, kita boleh pegang kemudi tetapi kita tidak
menentukan arah angin, arus, dan gelombang di laut serta tujuan yang hendak kita
capai di Tanah ini. Siapa yang bekerja dengan jujur, setia, dan dengar-dengaran
pada Firman Allah di Tanah ini, maka ia akan berjalan dari satu pendapatan
heran yang satu ke pendapatan heran yang lain” ( Pdt. Isaac Samuel Kijne,
Holandia Binnen, Numbay/Abepura, 26 Oktober 1956).
Sebenarnya,
Otonomi Khusus 2001 adalah kesempatan emas dan peluang terakhir bagi
Indonesia untuk membangun kembali kepercayaan (trust) dan
memulihkan hubungan harmonis dengan rakyat Papua, tapi sayang,
OTSUS GAGAL. Pemerintah Indonesia selalu memakai kaca mata lama yaitu
kecurigaan yang berlebihan kepada orang-orang asli Papua dengan
memelihara stigma separastime selama ini, dan hasilnya bayi Papua merdeka terus
bertumbuh dan berkembang di hati rakyat Papua. Selama kurun waktu
sejak 1 Mei 1963-2012 ini, hampir 49 tahun, Pemerintah Indonesia
telah gagal meminimalisasi (menurunkan) atau setidaknya menghilangkan tuntutan
rakyat Papua untuk merdeka yang mencapai 95% tahun 1969. Kurun
waktu 49 tahun adalah waktu yang cukup panjang tapi Pemerintah Indonesia gagal
dan hanya berhasil menunjukan wajah dan watak kekerasan dan kejahatan
kemanusiaan yang suram terhadap penduduk asli Papua. Pemerintah
Indonesia telah gagal menjaga martabat dan kedaulatan manusia Papua sehingga
tidak berhasil menurunkan tuntutan rakyat Papua dari mayoritas ke level
minoritas atau segelintir orang. Pemerintah Indonesia hanya sukses
mengintegrasikan ekonomi dengan kekuatan politik dan keamanan ke dalam
Indonesia tapi manusia Papua disingkirkan dari tanah leluhur mereka dan
dibantai seperti hewan dengan stigma anggota OPM dan pelaku makar.
Akhirnya, ”…. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.” Dan
tergenapilah seperti Sudjarwo mengakui: “ banyak orang Papua kemungkinan
tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: Laporan Resmi Sidang Umum PBB
MM ex.1, alinea 126). Shalom. Selamat membaca. Tuhan memberkati.
======================
Penulis: Socratez Sofyan Yoman, Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua. Alamat Kantor: Jln. Jeruk Nipis Kotaraja, Numbay (Jayapura), Papua. Dan Alamat Rumah: Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura), Papua. HP: 081248884
Penulis: Socratez Sofyan Yoman, Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua. Alamat Kantor: Jln. Jeruk Nipis Kotaraja, Numbay (Jayapura), Papua. Dan Alamat Rumah: Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura), Papua. HP: 081248884
Tidak ada komentar:
Posting Komentar