Dua kapal yang berlabuh di perairan Biak pada saat tragedi Biak Berdarah ini diduga terlibat mengangkut mayat warga yang menjadi korban tembakan aparat keamanan saat itu (biak-tribunal.org) |
Jayapura, 17/12 (Jubi) – Pemerintah Indonesia menghadapi opini
publik yang berkembang paska pengadilan warga yang dilakukan di Sidney,
Australia bulan Juli lalu. Aparat keamanan saat itu, dibuktikan oleh
para saksi telah melakukan pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan
terhadap lebih dari 150 warga sipil di pulau Biak, Papua Barat 15 tahun
yang lalu.
Ringkasan temuan kunci dalam pengadilan warga yang diketuai oleh
mantan jaksa agung NSW John Dowd, sekarang presiden Komisi Ahli Hukum
Internasional ini menemukan bahwa dalam tragedi Biak Berdarah, 15 tahun
lalu itu “sejumlah besar” orang Papua Barat telah disiksa dan
dimutilasi. Diperkirakan lebih dari 150 orang tewas dan mayat mereka
dibuang di laut setelah insiden tersebut. Namun Indonesia, dianggap
tidak pernah mengakui hal tersebut. Pemerintah Indonesia mengklaim hanya
satu orang yang tewas, sedangkan mayat-mayak lainnya yang ditemukan
disebut sebagai korban tsunami.
“Pengadilan warga ini pada akhirnya berkesimpulan harus ada jaksa
penuntut khusus yang melakukan investigasi di Indonesia .Ada kesempatan
bagi Indonesia untuk memberikan kompensasi kepada korban.” kata John
Dowd yang memimpin pengadilan warga pada tanggal 6 Juli itu kepada Jubi,
Senin (16/12).
“Pengadilan ini meminta Indonesia untuk melakukan penyelidikan itu.
Mutilasi spesifik terhadap perempuan adalah kebijakan teror tertentu.
Sulit untuk percaya manusia bisa berperilaku seperti para prajurit itu,”
kata Dowd melalui sambungan telpon.
Yuda Korwa, Eben Kirksey dan Tineke Rumkabu, tiga orang diantara para
saksi dalam pengadilan warga di Pusat Studi Perdamaian dan Konflik ,
University of Sydney tanggal 6 Juli itu memberikan kesaksian mereka
dalam insiden Biak Berdarah.
“Saya melihat banyak orang dibunuh oleh militer. Saya melihat orang-orang tua, wanita hamil dan anak kecil tewas. Salah satu tentara memukul saya dengan pistol dan wajah saya penuh dengan darah, Saya berpura-pura mati saat itu dan bersembunyi selama dua hari di gorong-gorong jalan. Saya mendengar ada orang yang berteriak minta pertolongan.” kata Yuda Korwa yang saat itu masih berusia 17 tahun.
Dr Eben Kirksey, antropolog dari UNSW, lima belas tahun yang lalu
sedang berada di Biak. Ia juga memberikan kesaksian dalam pengadilan
warga itu.
“Seperti orang yang sedang bernyanyi, pasukan mulai menembak ke
kerumunan. Orang-orang mulai berjatuhan dan sebagian lainnya berlarian,”
kata Eben.
“Orang-orang yang selamat digiring ke pelabuhan dan dinaikkan di
kapal-kapal. Mereka bisa melihat orang mati dan sekarat karena tembakan
aparat sedang dimuat ke truk. Wanita diperkosa dan dimutilasi setelah
melihat teman mereka dipenggal.” lanjut Eben dalam kesaksiannya.
Sedangkan Tineke Rumkabu, seorang perempuan Biak yang bersaksi untuk
pertama kalinya, mengakui menyaksikan temannya dipenggal. Dia sendiri,
mengalami penyiksaan yang hebat.
Bersaksi untuk pertama kalinya, Tineke Rumakabu mengaku melihat temannya dipenggal. Dia sendiri disiksa secara mengerikan .
Mantan jaksa NSW, Nicholas Cowdery yang membantu di pengadilan warga
ini turut membantu Tineke Rumakabu mendeskripsikan penyiksaan yang
dialami oleh dia dan temannya.
“Dia dibakar, dia dimutilasi – dipotong kelaminnya – diperkosa, diperlakukan dengan cara yang paling brutal dan oleh polisi Indonesia,” kata Nicholas Cowdery tentang apa yang terjadi pada Tineke Rumakabu dan temannya.
John Dowd yang memimpin pengadilan tersebut menyebutkan tragedi Biak
Berdarah ini menjadi terlupakan karena tak lama setelah insiden
tersebut, Indonesia memulai tindakan militer di Timor Timur – yang
akhirnya gagal, meskipun kekejaman serupa terbukti dilakukan terhadap
warga sipil tak bersenjata. Inilah yang membuat perhatian dunia tertuju
pada Timor Timur, tragedi Biak tidak pernah diselidiki.
“Kami ingin orang-orang yang bertanggung jawab harus dibawa ke
pengadilan. Kami ingin penyelidikan, kami ingin penuntutan pidana dan
kami ingin pemerintah untuk membayar kompensasi atas apa yang mereka
lakukan kepada orang-orang di Biak saat itu.” kata Tineke Rumakabu dan
Yuda Korwa.
Pemerintah Indonesia menolak untuk mengomentari pengadilan warga ini.
Indonesia juga telah meminta Australia mengambil tindakan terhadap
pengadilan warga ini. Namun pihak Universitas Sidney yang
menyelenggarakan pengadilan warga ini meminta pemerintah Australia untuk
ikut bertanggungjawab terhadap segala bentuk kejahatan terhadap
kemanusiaan, termasuk tragedi Biak Berdarah ini.
“Pemerintah Australia memiliki kewajiban terhadap orang-orang yang
meninggal dan keluarga mereka untuk mengekspos apa yang telah terjadi
saat itu. Ini untuk menghentikan hal itu terjadi lagi, ” kata Dowd. (Jubi/Victor Mambor)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar