Pages

Pages

Selasa, 24 Desember 2013

HARGA UNTUK KEBEBASAN PERS

Ilustrasi kekerasan terhadap pers (Ist/Google)
Jayapura, 23/12  – Intimidasi terhadap kebebasan pers atau jurnalis ada yang lebih halus. Jurnalis sendiri belum pernah menyadari atau sudah menyadarinya, hanya membiarkan dengan alasannya sendiri. Bentuk intimidasi ini sangat tederhana saja. Institusi atau oknum tertentu bersilahturahmi dengan perusahaan media, pemimpin perusahaan hingga oknum jurnalis.

Kebebasan kita tergantung pada kebebasan pers dan itu tidak dapat dibatasi tanpa menghilangkannya,” tulis Gerard Colby mengutip ungkapan Thomas Jeferson dalam buku “Mesin Penindas Pers” yang mengulas tentang mitos kebebasan pers di Amerika. Kebebasan rakyat dunia tidak diletakkan pada pers. Kebebasan rakyat melalui pers hanyalah retorika belaka. Kekerasan demi kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat di seluruh dunia. Puluhan jurnalis terbunuh dan terpenjara menebus sebuah kebebasan yang diperjuangkan di wilayah konflik.

Tempo.co (19/12) menulis, pada tahun ini, Reporter Without Borders  atau Reporters Sans Frontieres (RSF)) merilis inde kebebasan pers pada 18 Desember lalu. Jumlah jurnalis yang tewas di tahun ini tergolong tinggi. 71 jurnalis tewas. Jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya 88 jurnalis. Jurnalis yang tewas ini dari berbagai platform media: 37 % bekerja untuk surat kabar, 30 % stasiun radio, 30 % televisi, dan 3 % untuk situs berita.

Peristiwa penyanderaan terhadap jurnalis pun meningkat. Jurnalis yang disandera tahun ini 129 % dari tahun sebelumnya hanya 38 jurnalis. Penyanderaan terbesar terjadi di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (71 jurnalis ). Penyanderaan di Suriah dan Libya menimpa 49 jurnalis.

Jurnalis juga tidak terlepas dari penangkapan dan pemenjaraan. 826 jurnalis ditangkap. 178 jurnalis dipenjara. Jurnalis yang diancam atau diserang secara fisik. 2.160. 87 jurnalis diculik, 77 jurnalis terusir dari negaranya, 6 asisten media tewas, 39 jurnalis warga dan pengguna Internet tewas, 127 bloger dan penguna internet ditangkap.

Kondisi Papua hari ini sama. Aliansi Jurnalis Indepen Papua (AJI P), merilis 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2013. 16 kasus terjadi di provinsi Papua dan 4 kasus di provinsi Papua Barat. Pelaku kekerasan ini lebih banyak dari institusi penegak hukum.

“Oknum dari Institusi kepolisian menjadi pihak yang paling sering melakukan kekerasan terhadap jurnalis selain kelompok masyarakat,” kata Victor Mambor, ketua AJI Papua dalam jumpa persnya di Kota Jayapura, 21/12 lalu.

Intimidasi terhadap kebebasan pers atau jurnalis ada yang lebih halus. Jurnalis sendiri belum pernah menyadari atau sudah menyadarinya, hanya membiarkan dengan alasannya sendiri. Bentuk kekerasannya sangat tederhana saja. Institusi atau oknum tertentu bersilahturahmi dengan perusahaan media, pemimpin perusahaan hingga oknum jurnalis.

Suka atau tidak suka, sangat terlihat bahwa silahturahmi itu telah melahirkan sikap tertentu terhadap pemberitaan. Jurnalis berusaha memangkas fakta dalam penulisan. Jurnalisnya mungkin berani namun terjadi privising di tangan editor dengan alasan-alasan yang sangat masuk akal tetapi juga tanpa alasan yang jelas. Alasan tidak cukup ruangan, tidak jelas sumber, tidak seimbang komentarnya dan membahayakan kepentingan umum menjadi lazim terdengar dari jurnalis di lapangan.

Alasan-alasan itu, membuat ruang-ruang pemberitaan yang kritis dari kalangan akar rumput tidak mendapat tempat, habis disandera elit politik. Halaman-halaman media pemberitaan dipenuhi dengan informasi silahturami, kunjugan semu elit politik, pembagian sembako, selebrita dan iklan komersial. Jual diri hingga barang murahan makin ramai melalui media. Hari-hari rakyat mengkonsumsi pemberitaan yang mungkin saja sangat memuakkan namun murah meriah.

Situasi ini sangat memprihatikan kita semua di dunia media pemberitaan. Sekretaris jenderal RSF Christohe Deloire menyampaikan keprihatinan yang mendalam dan mendesak masyarakat dunia untuk memberikan jaminan yang tegas terhadap jurnalis. “Memberantas impunitas harus menjadi prioritas bagi masyarakat Internasional,” tuturnya 18 Desember lalau sebagaimana yang dilansir tempo.co, 19/12.

Pertanyaannya, mengapa kekerasan terhadap jurnalis menjadi persoalan? Jawabannya singkat saja. Pertama, pelaku kekerasan ataupun jurnalis itu sendiri belum memahami betul peran jurnalis. Kedua, pelaku kekerasan segaja melakukan kekerasan terhadap jurnalis dan pemberitaannya demi melindunggi diri dari jeratan hukum dan publik.

Kalau jawaban pertama benar, organisasi jurnalis masih mempunyai tugas besar mendidik publik tentang pentingnya peran media pemberitaan dalam pembangunan kemanusiaan dan pemanusiaan manusia. Media bekerja sebagai alat kontrol sosial yang mengkritisi, mencerdaskan rakyat mendorong kebijakan pembangunan ke arah yang lebih baik demi terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kalau jawaban kedua pun benar, kekerasan itu menjadi indikasi yang jelas dan tegas bahwa kebebasan pers masih menjadi persoalan. Pelaku kekerasan belum melihat pers sebagai rekan kerja dalam menegakan hukum kemanusian yang adil dan beradab. Pelaku lebih suka memelihara kebusukan dengan menekan alat kontrol sosial dalam pembangunan masyarakat. Aneh tetapi itu kenyataan yang kita hadapi di Papua.

Pelaku kekerasan telah menjadi alat penindas kebebasan pers paling nyata dari kekuatan besar yang tidak terlihat. Kalau kebebasan pers ditekan, kebebasan rakyat sipil tertekan pula. Kalau rakyat sipil tertekan, ada indikasi ada pelanggaran HAM. Hak rakyat menyampaikan pikiran dan pendapat melalui media terbatasi. Pendidikan rakyat menjadi yang kritis dan cerdas melalui media pemberitaan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Singkat kata, penyaderaan terhadap media dan jurnalis menjadi satu kenyataan hidup dari abad yang lalu hingga kini. Kini, jurnalis menghadapi dua pilihan hidup. Jurnalis memilih meneruskan pekerjaan yang penuh resiko ini atau mundur dari perjuangan meretas kebebasan. Perosalan maju atau mundur itu pilihan individu. Silakan memilih dengan kebebasan.

Kita yang masih berjuang dengan pekerjaan penuh resiko ini hanya bisa mengambil hikmah dari mereka yang terpenjara dan terbunuh. Pesan mereka jelas bahwa perjuangan jurnalis melawan kontrol mereka yang tidak ingin adanya perubahan harus berlanjut. Kawan jangan menyerah demi satu perubahan, demi mendidik rakyat yang kritis dan cedas. Maju terus, pantang menyerah, menuju jurnalis yang bebas profesional. (Jubi/Benny Mawel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar