Ilustrasi kekerasan terhadap pers (Ist/Google) |
Jayapura, 23/12 – Intimidasi terhadap kebebasan pers atau
jurnalis ada yang lebih halus. Jurnalis sendiri belum pernah menyadari
atau sudah menyadarinya, hanya membiarkan dengan alasannya sendiri.
Bentuk intimidasi ini sangat tederhana saja. Institusi atau oknum
tertentu bersilahturahmi dengan perusahaan media, pemimpin perusahaan
hingga oknum jurnalis.
Kebebasan kita tergantung pada kebebasan pers dan itu tidak dapat
dibatasi tanpa menghilangkannya,” tulis Gerard Colby mengutip ungkapan
Thomas Jeferson dalam buku “Mesin Penindas Pers” yang mengulas tentang
mitos kebebasan pers di Amerika. Kebebasan rakyat dunia tidak diletakkan
pada pers. Kebebasan rakyat melalui pers hanyalah retorika belaka.
Kekerasan demi kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat di seluruh
dunia. Puluhan jurnalis terbunuh dan terpenjara menebus sebuah kebebasan
yang diperjuangkan di wilayah konflik.
Tempo.co (19/12) menulis, pada tahun ini, Reporter Without Borders
atau Reporters Sans Frontieres (RSF)) merilis inde kebebasan pers pada
18 Desember lalu. Jumlah jurnalis yang tewas di tahun ini tergolong
tinggi. 71 jurnalis tewas. Jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya 88
jurnalis. Jurnalis yang tewas ini dari berbagai platform media: 37 %
bekerja untuk surat kabar, 30 % stasiun radio, 30 % televisi, dan 3 %
untuk situs berita.
Peristiwa penyanderaan terhadap jurnalis pun meningkat. Jurnalis yang
disandera tahun ini 129 % dari tahun sebelumnya hanya 38 jurnalis.
Penyanderaan terbesar terjadi di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara
(71 jurnalis ). Penyanderaan di Suriah dan Libya menimpa 49 jurnalis.
Jurnalis juga tidak terlepas dari penangkapan dan pemenjaraan. 826
jurnalis ditangkap. 178 jurnalis dipenjara. Jurnalis yang diancam atau
diserang secara fisik. 2.160. 87 jurnalis diculik, 77 jurnalis terusir
dari negaranya, 6 asisten media tewas, 39 jurnalis warga dan pengguna
Internet tewas, 127 bloger dan penguna internet ditangkap.
Kondisi Papua hari ini sama. Aliansi Jurnalis Indepen Papua (AJI P),
merilis 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2013. 16 kasus
terjadi di provinsi Papua dan 4 kasus di provinsi Papua Barat. Pelaku
kekerasan ini lebih banyak dari institusi penegak hukum.
“Oknum dari Institusi kepolisian menjadi pihak yang paling sering
melakukan kekerasan terhadap jurnalis selain kelompok masyarakat,” kata
Victor Mambor, ketua AJI Papua dalam jumpa persnya di Kota Jayapura,
21/12 lalu.
Intimidasi terhadap kebebasan pers atau jurnalis ada yang lebih
halus. Jurnalis sendiri belum pernah menyadari atau sudah menyadarinya,
hanya membiarkan dengan alasannya sendiri. Bentuk kekerasannya sangat
tederhana saja. Institusi atau oknum tertentu bersilahturahmi dengan
perusahaan media, pemimpin perusahaan hingga oknum jurnalis.
Suka atau tidak suka, sangat terlihat bahwa silahturahmi itu telah
melahirkan sikap tertentu terhadap pemberitaan. Jurnalis berusaha
memangkas fakta dalam penulisan. Jurnalisnya mungkin berani namun
terjadi privising di tangan editor dengan alasan-alasan yang sangat
masuk akal tetapi juga tanpa alasan yang jelas. Alasan tidak cukup
ruangan, tidak jelas sumber, tidak seimbang komentarnya dan membahayakan
kepentingan umum menjadi lazim terdengar dari jurnalis di lapangan.
Alasan-alasan itu, membuat ruang-ruang pemberitaan yang kritis dari
kalangan akar rumput tidak mendapat tempat, habis disandera elit
politik. Halaman-halaman media pemberitaan dipenuhi dengan informasi
silahturami, kunjugan semu elit politik, pembagian sembako, selebrita
dan iklan komersial. Jual diri hingga barang murahan makin ramai melalui
media. Hari-hari rakyat mengkonsumsi pemberitaan yang mungkin saja
sangat memuakkan namun murah meriah.
Situasi ini sangat memprihatikan kita semua di dunia media
pemberitaan. Sekretaris jenderal RSF Christohe Deloire menyampaikan
keprihatinan yang mendalam dan mendesak masyarakat dunia untuk
memberikan jaminan yang tegas terhadap jurnalis. “Memberantas impunitas
harus menjadi prioritas bagi masyarakat Internasional,” tuturnya 18
Desember lalau sebagaimana yang dilansir tempo.co, 19/12.
Pertanyaannya, mengapa kekerasan terhadap jurnalis menjadi persoalan?
Jawabannya singkat saja. Pertama, pelaku kekerasan ataupun jurnalis itu
sendiri belum memahami betul peran jurnalis. Kedua, pelaku kekerasan
segaja melakukan kekerasan terhadap jurnalis dan pemberitaannya demi
melindunggi diri dari jeratan hukum dan publik.
Kalau jawaban pertama benar, organisasi jurnalis masih mempunyai
tugas besar mendidik publik tentang pentingnya peran media pemberitaan
dalam pembangunan kemanusiaan dan pemanusiaan manusia. Media bekerja
sebagai alat kontrol sosial yang mengkritisi, mencerdaskan rakyat
mendorong kebijakan pembangunan ke arah yang lebih baik demi terwujudnya
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kalau jawaban kedua pun benar, kekerasan itu menjadi indikasi yang
jelas dan tegas bahwa kebebasan pers masih menjadi persoalan. Pelaku
kekerasan belum melihat pers sebagai rekan kerja dalam menegakan hukum
kemanusian yang adil dan beradab. Pelaku lebih suka memelihara kebusukan
dengan menekan alat kontrol sosial dalam pembangunan masyarakat. Aneh
tetapi itu kenyataan yang kita hadapi di Papua.
Pelaku kekerasan telah menjadi alat penindas kebebasan pers paling
nyata dari kekuatan besar yang tidak terlihat. Kalau kebebasan pers
ditekan, kebebasan rakyat sipil tertekan pula. Kalau rakyat sipil
tertekan, ada indikasi ada pelanggaran HAM. Hak rakyat menyampaikan
pikiran dan pendapat melalui media terbatasi. Pendidikan rakyat menjadi
yang kritis dan cerdas melalui media pemberitaan tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Singkat kata, penyaderaan terhadap media dan jurnalis menjadi satu
kenyataan hidup dari abad yang lalu hingga kini. Kini, jurnalis
menghadapi dua pilihan hidup. Jurnalis memilih meneruskan pekerjaan yang
penuh resiko ini atau mundur dari perjuangan meretas kebebasan.
Perosalan maju atau mundur itu pilihan individu. Silakan memilih dengan
kebebasan.
Kita yang masih berjuang dengan pekerjaan penuh resiko ini hanya bisa
mengambil hikmah dari mereka yang terpenjara dan terbunuh. Pesan mereka
jelas bahwa perjuangan jurnalis melawan kontrol mereka yang tidak ingin
adanya perubahan harus berlanjut. Kawan jangan menyerah demi satu
perubahan, demi mendidik rakyat yang kritis dan cedas. Maju terus,
pantang menyerah, menuju jurnalis yang bebas profesional. (Jubi/Benny Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar