Tampak sebagian massa aksi AMP di Solo, Kamis (19/12) siang, dihadang kelompok bayaran yang melarang keras aksi Papua Merdeka. (Foto: Roy Karoba) |
Solo, 19/12 (Jubi) – Aksi demonstrasi yang
dilakukan ratusan mahasiswa Papua di bundaran Gladak, Solo, Provinsi
Jawa Tengah, Kamis (19/12) siang, dihadang massa bayaran. Meski dilarang
bahkan diancam akan dibubarkan paksa, aksi bertepatan hari Trikora (Tri
Komando Rakyat) itu dilanjutkan dengan orasi dan pembacaan statement.
Dalam aksi yang digalang Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota
Yogyakarta, massa membawa spanduk dan pamflet. Wajah mereka dihiasi
gambar bercorak bendera Bintang Kejora.
Upaya penghadangan dari massa tandingan yang menamakan diri Gerakan
Masyarakat Peduli Rakyat Indonesia (Gempar) terjadi sekitar pukul 11.00
WIB. Saat puluhan massa AMP menuju bundaran Gladak, kelompok massa
Gempar sudah siap di dekat patung Slamet Riyadi. Massa Gempar langsung
menghadang dan melarang adanya aksi berbau Papua Merdeka.
Tampak anggota Kepolisian Resor Kota (Polresta) Solo berjaga-jaga
dengan pentungan dan gas air mata. Mengantisipasi kemungkinan bentrokan
fisik di kedua kubu, polisi juga menerjunkan anjing pelacak di lokasi
aksi demonstrasi.
Wakil AMP sempat negosiasi cukup lama dengan koordinator Gempar.
Namun tak berhasil. Koordinator Gempar, Nuswan tetap bersikeras. Dia
bahkan menyatakan, aksi Papua Merdeka ini harus segera dibubarkan.
“Tadi kelompok bayaran hadang kami, targetnya mereka mau gagalkan
demo di hari Trikora ini. Sudah negosiasi, tetapi mereka bersikeras.
Kami tetap lanjut aksi dengan orasi dan bacakan pernyataan, kemudian doa
sebelum bubar,” tutur Ketua AMP Yogyakarta, Jefry Wenda.
Aksi tandingan dari Gempar dinilai tak akan berpengaruh pada komitmen
perjuangan bagi Papua. Bagi AMP, apapun tindakan massa bayaran tak akan
pernah runtuhkan semangat juang. “Biarkan saja, mereka hanya dibayar
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak ada efek bagi kami, Papua,”
ujarnya.
Aksi massa Papua yang dimulai sekira pukul 9 pagi diawali dari Jalan
Slamet Riyadi itu berlangsung aman, walau akhirnya dihadang kelompok
Gempar.
“Aksi kali ini kami lakukan untuk menuntut Indonesia beri kebebasan
bagi bangsa Papua menentukan masa depan yang lebih baik. Hari ini juga
bertepatan 52 tahun Trikora dikumandangkan di Alun-alun Utara
Yogyakarta, proses integrasi Papua ilegal dengan infasi militer dan
penjajahan terhadap rakyat Papua yang belum berakhir hingga sekarang,”
tutur salah satu orator.
Tercatat dalam sejarah Indonesia, Soekarno mengumandangkan Trikora
pada 19 Desember 1961. Isi Trikora, 1) Gagalkan pembentukan ‘Negara
Papua’ buatan Belanda; 2) Kibarkan sang Merah Putih di seluruh Irian
Barat tanah air Indonesia; dan 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna
mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Lahirnya
Trikora dinilai awal babak penjajahan dan pencaplokan yang dilakukan
Indonesia atas bangsa Papua.
AMP pada aksi tadi, membacakan tiga tuntutan kepada pemerintah
Indonesia. Pertama, berikan kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri
bagi Rakyat Papua sebagai solusi demokratis. Kedua, tarik militer
(TNI/Polri) organik dan non-organik dari seluruh Tanah Papua sebagai
syarat damai. Ketiga, tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh dan MNC lainnya
yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua.
Ditulis dalam press release, AMP menyebutkan berbagai fakta miris di
Tanah Papua. Orang Papua hingga ini hidup dalam penjajahan oleh
Indonesia. Rentetan pelanggaran HAM bermula sejak tahun 1962 ketika
Indonesia mencapok Papua. Upaya perebutan “Tanah Emas” dilakukan dengan
gelombang operasi militer yang diawali Operasi Mandala. “Sejak Trikora
dikumandangkan, militer diturunkan melalui darat, laut dan udara. Hingga
sekarang Indonesia terus menggunakan kekuatan militer yang banyak
melanggar hak asasi manusia dan menimbulkan banyak jiwa berjatuhan.
Termasuk sejumlah pimpinan pergerakan rakyat Papua dan warga sipil
dibunuh dengan berbagai cara, tembak langsung malah, seperti peristiwa
tragis yang menimpa Mako Tabuni.
“Rakyat Papua tidak akan pernah berhenti menyuarakan kebenaran hanya
karena adanya upaya-upaya teror, provokasi dan intimidasi yang dilakukan
oleh Indonesia seperti pada aksi hari ini. Tindakan penghadangan itu
dinilai satu bukti bahwa Indonesia sedang kebingungan dan ketakutan
dengan seruan kebenaran bangsa Papua. Tak heran, segala cara terus
dihalalkan, termaksud membayar massa tertentu untuk melakukan aksi
tandingan terhadap aksi yang digalang oleh AMP,” demikian AMP menanggapi
aksi penghadangan oleh kelompok tandingan.
Bukan baru kali ini tindakan nyaris sama dialami massa aksi AMP di
tempat sama. Sabtu (9/12), pihak Polresta Surakarta melarang adanya
simbol separatis saat aksi demonstrasi. Polisi menyita atribut dan
bendera Bintang Kejora yang dibawa ratusan mahasiswa Papua. Sempat
bersitegang, polisi lalu mengamankan sedikitnya 6 poster dan satu ikat
kepala bercorak Bintang Kejora. Barang bukti tersebut oleh polisi
dinilai simbol Papua Merdeka.
Kapolresta Surakarta melalui Kasatintelkam, Kompol Fachruddin
mengatakan, atribut Bintang Kejora dilarang di negara ini. Syukur, kata
dia, mahasiswa Papua menyadarinya dan meninggalkan setelah mendapat
penjelasan dari anggota polisi.
Kegiatan demo hari ini, tegas AMP, dilakukan murni untuk menyikapi
dan mengutuk Trikora yang dikumandangkan oleh Soekarno pada 52 tahun
silam dan menuntut hak menentukan nasib Bangsa Papua. “Presiden dan
Wakil Presiden segera memberikan kebebasan kepada Rakyat Papua untuk
menentukan nasib sendiri. Sebab segala macam produk politik yang
dirancang oleh Indonesia seperti Otonomi Khusus, UP4B, Otsus Plus yang
diberlakukan di Papua itu sangatlah tidak bermanfaat dan tidak berguna
bagi Rakyat Papua. Sekarang yang sedang dituntut oleh Rakyat Papua
adalah kemerdekaan, bukanlah masalah makan dan minum.”
Sebagai tulang punggung Bangsa Papua, tulis AMP, mahasiswa akan terus menyuarakan aspirasi hingga mencapai tujuan kemerdekaan. (Jubi/Markus You)
Sumber : www.tabloidjubi.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar