Pages

Pages

Jumat, 20 Desember 2013

AKSI TRIKORA DI SOLO DIHADANG MASSA BAYARAN

Tampak sebagian massa aksi AMP di Solo, Kamis (19/12) siang, dihadang kelompok bayaran yang melarang keras aksi Papua Merdeka. (Foto: Roy Karoba)
Solo, 19/12 (Jubi)Aksi demonstrasi yang dilakukan ratusan mahasiswa Papua di bundaran Gladak, Solo, Provinsi Jawa Tengah, Kamis (19/12) siang, dihadang massa bayaran. Meski dilarang bahkan diancam akan dibubarkan paksa, aksi bertepatan hari Trikora (Tri Komando Rakyat) itu dilanjutkan dengan orasi dan pembacaan statement.

Dalam aksi yang digalang Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta, massa membawa spanduk dan pamflet. Wajah mereka dihiasi gambar bercorak bendera Bintang Kejora.

Upaya penghadangan dari massa tandingan yang menamakan diri Gerakan Masyarakat Peduli Rakyat Indonesia (Gempar) terjadi sekitar pukul 11.00 WIB. Saat puluhan massa AMP menuju bundaran Gladak, kelompok massa Gempar sudah siap di dekat patung Slamet Riyadi. Massa Gempar langsung menghadang dan melarang adanya aksi berbau Papua Merdeka.

Tampak anggota Kepolisian Resor Kota (Polresta) Solo berjaga-jaga dengan pentungan dan gas air mata. Mengantisipasi kemungkinan bentrokan fisik di kedua kubu, polisi juga menerjunkan anjing pelacak di lokasi aksi demonstrasi.

Wakil AMP sempat negosiasi cukup lama dengan koordinator Gempar. Namun tak berhasil. Koordinator Gempar, Nuswan tetap bersikeras. Dia bahkan menyatakan, aksi Papua Merdeka ini harus segera dibubarkan.

“Tadi kelompok bayaran hadang kami, targetnya mereka mau gagalkan demo di hari Trikora ini. Sudah negosiasi, tetapi mereka bersikeras. Kami tetap lanjut aksi dengan orasi dan bacakan pernyataan, kemudian doa sebelum bubar,” tutur Ketua AMP Yogyakarta, Jefry Wenda.

Aksi tandingan dari Gempar dinilai tak akan berpengaruh pada komitmen perjuangan bagi Papua. Bagi AMP, apapun tindakan massa bayaran tak akan pernah runtuhkan semangat juang. “Biarkan saja, mereka hanya dibayar untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak ada efek bagi kami, Papua,” ujarnya.

Aksi massa Papua yang dimulai sekira pukul 9 pagi diawali dari Jalan Slamet Riyadi itu berlangsung aman, walau akhirnya dihadang kelompok Gempar.

“Aksi kali ini kami lakukan untuk menuntut Indonesia  beri kebebasan bagi bangsa Papua menentukan masa depan yang lebih baik. Hari ini juga bertepatan 52 tahun Trikora dikumandangkan di Alun-alun Utara Yogyakarta, proses integrasi Papua ilegal dengan infasi militer dan penjajahan terhadap rakyat Papua yang belum berakhir hingga sekarang,” tutur salah satu orator.

Tercatat dalam sejarah Indonesia, Soekarno mengumandangkan Trikora pada 19 Desember 1961. Isi Trikora, 1) Gagalkan pembentukan ‘Negara Papua’ buatan Belanda; 2) Kibarkan sang Merah Putih di seluruh Irian Barat tanah air Indonesia; dan 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Lahirnya Trikora dinilai awal babak penjajahan dan pencaplokan yang dilakukan Indonesia atas bangsa Papua.

AMP pada aksi tadi, membacakan tiga tuntutan kepada pemerintah Indonesia. Pertama, berikan kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri bagi Rakyat Papua sebagai solusi demokratis. Kedua, tarik militer (TNI/Polri) organik dan non-organik dari seluruh Tanah Papua sebagai syarat damai. Ketiga, tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh dan MNC lainnya yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua.

Ditulis dalam press release, AMP menyebutkan berbagai fakta miris di Tanah Papua. Orang Papua hingga ini hidup dalam penjajahan oleh Indonesia. Rentetan pelanggaran HAM bermula sejak tahun 1962 ketika Indonesia mencapok Papua. Upaya perebutan “Tanah Emas” dilakukan dengan gelombang operasi militer yang diawali Operasi Mandala. “Sejak Trikora dikumandangkan, militer diturunkan melalui darat, laut dan udara. Hingga sekarang Indonesia terus menggunakan kekuatan militer yang banyak melanggar hak asasi manusia dan menimbulkan banyak jiwa berjatuhan. Termasuk sejumlah pimpinan pergerakan rakyat Papua dan warga sipil dibunuh dengan berbagai cara, tembak langsung malah, seperti peristiwa tragis yang menimpa Mako Tabuni.

“Rakyat Papua tidak akan pernah berhenti menyuarakan kebenaran hanya karena adanya upaya-upaya teror, provokasi dan intimidasi yang dilakukan oleh Indonesia seperti pada aksi hari ini. Tindakan penghadangan itu dinilai satu bukti bahwa Indonesia sedang kebingungan dan ketakutan dengan seruan kebenaran bangsa Papua. Tak heran, segala cara terus dihalalkan, termaksud membayar massa tertentu untuk melakukan aksi tandingan terhadap aksi yang digalang oleh AMP,” demikian AMP menanggapi aksi penghadangan oleh kelompok tandingan.

Bukan baru kali ini tindakan nyaris sama dialami massa aksi AMP di tempat sama. Sabtu (9/12), pihak Polresta Surakarta melarang adanya simbol separatis saat aksi demonstrasi. Polisi menyita atribut dan bendera Bintang Kejora yang dibawa ratusan mahasiswa Papua. Sempat bersitegang, polisi lalu mengamankan sedikitnya 6 poster dan satu ikat kepala bercorak Bintang Kejora. Barang bukti tersebut oleh polisi dinilai simbol Papua Merdeka.

Kapolresta Surakarta melalui Kasatintelkam, Kompol Fachruddin mengatakan, atribut Bintang Kejora dilarang di negara ini. Syukur, kata dia, mahasiswa Papua menyadarinya dan meninggalkan setelah mendapat penjelasan dari anggota polisi.

Kegiatan demo hari ini, tegas AMP, dilakukan murni untuk menyikapi dan mengutuk Trikora yang dikumandangkan oleh Soekarno pada 52 tahun silam dan menuntut hak menentukan nasib Bangsa Papua. “Presiden dan Wakil Presiden segera memberikan kebebasan kepada Rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri. Sebab segala macam produk politik yang dirancang oleh Indonesia seperti Otonomi Khusus, UP4B, Otsus Plus yang diberlakukan di Papua itu sangatlah tidak bermanfaat dan tidak berguna bagi Rakyat Papua. Sekarang yang sedang dituntut oleh Rakyat Papua adalah kemerdekaan, bukanlah masalah makan dan minum.”

Sebagai tulang punggung Bangsa Papua, tulis AMP, mahasiswa akan terus menyuarakan aspirasi hingga mencapai tujuan kemerdekaan. (Jubi/Markus You)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar