Pages

Pages

Kamis, 14 November 2013

Vanuatu Promosi ‘Papua Merdeka’ di Srilangka

Ketua PNWP Buchtar Tabuni
REPUBLIK Vanuatu, sebuah Negara di Samudra Pasifik bagian selatan kembali merespon persoalan Papua secara serius. Negara yang dulunya bernama Hebrides Baru itu rencananya akan mempromosikan Papua pada forum dunia Commonwealht Head of Government Regional Meeting (CHOGRM), 16-18 November 2013, di Colombo, Srilangka. Forum ini beranggotakan 53 Negara bekas jajahan Inggris.
 
“(Kami) mendukung dan menyampaikan terima kasih kepada Vanuatu yang akan mengangkat masalah Papua di Srilangka,” kata  Buchtar Tabuni, Ketua Parlemen Nasional West Papua (PNWP), kemarin.

Menurut dia, usaha Vanuatu patut didukung. “Vanuatu juga sudah menunjukan sikapnya untuk Papua pada sidang umum PBB September 2013.”

Ketika itu, melalui Perdana Menterinya, Moana Carakas, berapi-api berbicara tentang persoalan Hak Asasi Manusia di Sidang Umum Majelis PBB. Moana mendesak PBB mengirim pencari fakta ke Papua.

Gerakan Vanuatu dibuktikan pula saat berbicara di Konfrensi Tingkat Tinggi Melanesia Spearhead Group (MSG) di Noumea, Kaledonia baru. Pertemuan lima tahunan Negara anggota MSG itu memutuskan sejumlah hal menyangkut Papua. “MSG harus kita dorong untuk terus memainkan peran dalam mendukung dan memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua,” kata Tabuni.

Buchtar menambahkan, persoalan Papua sudah sampai pada tingkat internasional. “Dewan gereja pasifik telah menyatakan dukungan untuk perjuangan hak penentuan nasib sendiri, (itu) dibacakan pada konferensi gereja sedunia tanggal 5 November 2013 di Korea Selatan,” katanya.

Selain itu, apresiasi mendalam turut diberikan Buchtar kepada Papua Nugini karena telah memberikan Ijin Pembukaan Kantor Kampanye OPM di Port Moresby. “Ini membuktikan bahwa dunia internasional saat ini semakin sadar atas persoalan yang terjadi di Papua,” tukasnya.

Menurutnya, permintaan referendum yang terus disuarakan oleh rakyat Papua sebenarnya dilatari perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda, disponsori AS, tidak memberi keadilan bagi Papua. “Perjanjian waktu itu hanya legitimasi diberikan kepada Indonesia untuk menguasai Papua saja,” tuturnya.

Sikap Pemerintah
Sementara itu, diplomasi internasional menuntut Papua merdeka, yang belakangan mengemuka, membuat Presiden SBY angkat bicara. Misalnya yang terjadi atas pembukaan kantor OPM di Inggris, beberapa bulan lalu. “Pemerintah Inggris menyatakan tetap dukung NKRI. Namun, kegiatan di Oxford itu akan mengganggu hubungannya dengan Indonesia,” tulis Presiden Yudhoyono di akun jejaring sosial, twitternya @SBYudhoyono.

Aktivitas pergerakan Papua ini juga selalu dipantau Badan Intelejen Negara. “Kelompoknya kecil tapi mereka bersinergi dengan LSM-LSM yang memang selalu mendukung kelompok-kelompok separatis di manapun,” ujar Kepala BIN Marciano Norman. “Tapi di dalam negeri, kenyataannya tidak semua warga Papua mendukungnya,” sambung Marciano.

Tingginya aktivitas OPM bersama jaringan LSM pendukung separatisme, sejauh ini dianggapnya tidak mengkhawatirkan. Namun pemantauan tetap dilaksanakan. “Provokasi mereka di luar negeri tetap kita pantau,” ujar mantan Komandan Paspampres ini. (CR1/JR/R4)

Sumber :  www.suluhpapua.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar