Ketua PNWP Buchtar Tabuni |
REPUBLIK Vanuatu, sebuah Negara di Samudra Pasifik bagian
selatan kembali merespon persoalan Papua secara serius. Negara yang
dulunya bernama Hebrides Baru itu rencananya akan mempromosikan Papua
pada forum dunia Commonwealht Head of Government Regional Meeting
(CHOGRM), 16-18 November 2013, di Colombo, Srilangka. Forum ini
beranggotakan 53 Negara bekas jajahan Inggris.
“(Kami) mendukung dan menyampaikan terima kasih kepada Vanuatu yang
akan mengangkat masalah Papua di Srilangka,” kata Buchtar Tabuni, Ketua
Parlemen Nasional West Papua (PNWP), kemarin.
Menurut dia, usaha Vanuatu patut didukung. “Vanuatu juga sudah
menunjukan sikapnya untuk Papua pada sidang umum PBB September 2013.”
Ketika itu, melalui Perdana Menterinya, Moana Carakas, berapi-api
berbicara tentang persoalan Hak Asasi Manusia di Sidang Umum Majelis
PBB. Moana mendesak PBB mengirim pencari fakta ke Papua.
Gerakan Vanuatu dibuktikan pula saat berbicara di Konfrensi Tingkat
Tinggi Melanesia Spearhead Group (MSG) di Noumea, Kaledonia baru.
Pertemuan lima tahunan Negara anggota MSG itu memutuskan sejumlah hal
menyangkut Papua. “MSG harus kita dorong untuk terus memainkan peran
dalam mendukung dan memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi
rakyat Papua,” kata Tabuni.
Buchtar menambahkan, persoalan Papua sudah sampai pada tingkat
internasional. “Dewan gereja pasifik telah menyatakan dukungan untuk
perjuangan hak penentuan nasib sendiri, (itu) dibacakan pada konferensi
gereja sedunia tanggal 5 November 2013 di Korea Selatan,” katanya.
Selain itu, apresiasi mendalam turut diberikan Buchtar kepada Papua
Nugini karena telah memberikan Ijin Pembukaan Kantor Kampanye OPM di
Port Moresby. “Ini membuktikan bahwa dunia internasional saat ini
semakin sadar atas persoalan yang terjadi di Papua,” tukasnya.
Menurutnya, permintaan referendum yang terus disuarakan oleh rakyat
Papua sebenarnya dilatari perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang
ditandatangani pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda, disponsori AS,
tidak memberi keadilan bagi Papua. “Perjanjian waktu itu hanya
legitimasi diberikan kepada Indonesia untuk menguasai Papua saja,”
tuturnya.
Sikap Pemerintah
Sementara itu, diplomasi internasional menuntut Papua merdeka, yang
belakangan mengemuka, membuat Presiden SBY angkat bicara. Misalnya yang
terjadi atas pembukaan kantor OPM di Inggris, beberapa bulan lalu.
“Pemerintah Inggris menyatakan tetap dukung NKRI. Namun, kegiatan di
Oxford itu akan mengganggu hubungannya dengan Indonesia,” tulis Presiden
Yudhoyono di akun jejaring sosial, twitternya @SBYudhoyono.
Aktivitas pergerakan Papua ini juga selalu dipantau Badan Intelejen
Negara. “Kelompoknya kecil tapi mereka bersinergi dengan LSM-LSM yang
memang selalu mendukung kelompok-kelompok separatis di manapun,” ujar
Kepala BIN Marciano Norman. “Tapi di dalam negeri, kenyataannya tidak
semua warga Papua mendukungnya,” sambung Marciano.
Tingginya aktivitas OPM bersama jaringan LSM pendukung separatisme,
sejauh ini dianggapnya tidak mengkhawatirkan. Namun pemantauan tetap
dilaksanakan. “Provokasi mereka di luar negeri tetap kita pantau,” ujar
mantan Komandan Paspampres ini. (CR1/JR/R4)
Sumber : www.suluhpapua.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar