Pages

Pages

Minggu, 17 November 2013

Sejarah Pendidikan dan Kesadaran Nasional Papua Barat

ULSTRS
 Oleh : Longginus Pekey
"Sangat menyakitkan hidup bersama bangsa kolonialis, tetapi saya bersyukur dapat bersekolah dan mendapatkan pendidikan dari kolonialis, saya semakin mengerti bahwa kaumku sedang ditindas oleh kolonialis-imperialis, sehingga saya semakin mengerti untuk melawan kaum kolonialis."[[i]]
Perjuangan menentang kolonial secara terorganisir telah digerakan oleh kelompok terpelajar. Mengapa? Sejarah mencatat, kesadaran selalu lahir melalui dan sebagai proses pendidikan (Latin: e-ducare[[ii]]).  Melalui pendidikan orang menjadi kritis memahami persoalan dan sadar akan ketidakadilan, kekerasan langsung maupun tidak langsung[[iii]] yang dilakukan oleh kaum kolonialis imperialis.

Untuk membunuh kesadaran nasionalisme di kalangan penduduk asli (terjajah), mereka (penduduk pribumi) diberi pendidikan yang memang tidak layak (kurikulum yang isinya muatan politis hegemoni penjajaha/penguasa). Hal itu dimaksudkan supaya penduduk pribumi tidak cerdas, kritis dan supaya lebih tunduk pada penjajah, pekerja sebagai kuli penjajah mengisi birorasi dan perusahan-perusahan kolonial-imperialis.

Kebijakan pendidikan Belanda maupun Indonesia dipraktekan secara murni dan konsekuen agar univikasi dan asimilasi dapat terjadi bagi orang Papua.

Kalau kita boleh jadikan Belanda di Indonesia sebagai pelajaran, maka di situ tampak bahwa nasionalisme Indonesia (Jawa) pada masa politik etis telah diawali kelompok terdidik. Saat itu, walaupun praktek politik etik atau kesejateraan dengan bersemboyan demi penyatuan Indonesia-Belanda (univikasi) dan pembauran orang Indonesia-Belanda menjadi warga negara Belanda (asimilasi)[[iv]].

Seorang Sejarawan Indonesia Moedjanto, (2003: 35) menuliskan mengenai politik etik bahw"Konseptor politik 'etika' yang terkemuka, Snouck Hurgronje menghendaki agar univikasi dan asimilasi dipraktekkan secara murni dan konsekuen. Mereka yakin, dengan politik semacam itu Indonesia akan terikat dalam kesatuan kerajaan Belanda secara wajar."[[v]].

Bagaimana dengan pendidikan kolonial-imperialis di Papua Barat?

Tentu saja sekolah dikelola untuk kepentingan penjajah. Namun, rakyat Papua Barat semakin menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang sedang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan dan menyadari bentuk praktek neo-kolonialisme Indonesia.

Dengan begitu, "Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas," kata Paulo Freire, seorang profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan. Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri. Pendidikan Belanda di Hindia Belanda dan Papua serta pendidikan Indonesia di Papua telah melahirkan kesadaran nasional Papua Barat. 

Pendidikan Kolonial Belanda
Belanda ketika menjajah Papua Barat, ia tidak banyak berperan membangun pendidikan. Pendidikan lebih banyak dikerjakan Misi Katolik dan Zending.  Misi Katolik dan Zending melakukan pelaya
nan untuk kristenisasi melalu karya-karya sosial gereja. Pendidikan modern pun dikenalkan oleh kedua lembaga gereja di ini.

Pendidikan modern ala pemerintah Belanda mulai dibangun di Papua Barat sejak tahun 1940-an. Sekitar tahun 1942,  waktu itu Jepang menguasai seantero Asia (cita-cita Asia Raya) termasuk menduduki Indonesia. Papua Barat sebagai daerah yang dekat dengan kepulauan Pasifik menjadi daerah stategis Jepang untuk melawan Sekutu.

Sebagai bagian dari sekutu, tugas Belanda adalah menghalau Jepang. Ketika itu, Belanda di Papua Barat kekurangan personil untuk menghadapi Jepang dan juga termasuk untuk menangani berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan.

Untuk kepentingan dan kebutuhan itu, tahun 1944, Residen J.P. van Eechoud yang waktu itu terkenal dengan julukan 'vader der Papoea,s' (Bapak orang Papua) mendirikan beberapa sekolah di Hollandia (Jayapura). Selain sekolah Pamong Praja di Hollandia ada juga sekolah pelayaran di Hamadi, sekolah tehnik di Kotaraja Jayapura dan Abepura, sekolah Pamongpraja di Yoka. Sekolah polisi di Base G, sekolah pertanian di Manokwari.

Walaupun sekolah-sekolah ini dibangun untuk kepentingan Belanda, namun Belanda berupaya melakukan Papuanisasi [[vi]] (menananmkan nasionalisme Papua). Dalam bulan Januari 1946, Pemerintah Belanda telah mendirikan sekolah Pamong Praja di Kota Nicca (Kampung Harapan, sekarang). Jumblah siswa yang dididik adalah 400 orang antara tahun 1944-1949.

Terlepas dari tujuan eksploitasi Papua, sekolah-sekolah itu telah melahirkan elit-elit politik terdidik di Papua [[vii]] yang menentang penjajah, menggantikan posisi dalam pemerintahan yang dipegang oleh orang Belanda. Mereka siap mengisi jabatan-jabatan dan lowongan pekerjaan di Papua [[viii]].

Pada saat itu, Pemerintah Belanda mengirimkan sejumlah mahasiswa keluar negeri; antara lain ke negara Belanda, Australia, dan negara-negara di Pasifik. Mereka dikirim dengan tujuan untuk memperoleh pendidikan tinggi dan kembali untuk memimpin bangsanya. Salah satu mahasiswa yang dikirim keluar negeri (Negara Belanda) dalam rangka Papuanisasi itu ialah Frits Kirihio.[[ix]]

Pemerintah Belanda memiliki sumbangan terhadap lahirnya nasionalisme Papua Barat terutama pada masa Residen J.P. van Eechoud. Ketika itu, ada radikalisasi Indonesia, maka setiap orang yang pro-Indonesia ditahan atau dipenjarahkan dan dibuang keluar Papua [[x]]. Tokoh-tokoh nasionalis Papua Barat saat itu antara lain (yang duduk dalam Dewan New Guinea Read), seperti Nicolas Jouwe, P. Torey, Markus Kaisepo, Nicolas Tanggahma, Eliezer Jan Bonai dan ada yang belum disebut di sini.

Mereka adalah kelompok nasionalis terpelajar Papua[[xi]] yang turut memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat lepas dari cengkraman kolonial. Selain itu, beberapa tokoh nasionalis Papua Barat yang telah mendapat pendidikan Eechoud dan menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Marcus dan Frans Kaisepo, Nicolaus Joue, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Mozes Rumah inum, Baldus Mofu, Elieser Jan Bonay, Lukas Rumkorem, Marten Indey, Johan Ariks, Heman Womsiwor dan Abdullah Arfan [[xii]].

Melalui perantara mereka, rakyat Papua Barat menyampaikan berbagai pernyataan sikap politik untuk menolak menjadi bagian dari Indonesia. Frans Kaisepo (alm.), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).

Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Indonesia ke dalam Papua Barat (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).

Tidak hanya itu, Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri;  Raja Ati (alm.) dari Fakfak; L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij; Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea; Barend Mandatjan (alm.) dan Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua; Permenas Awom (alm);  Jufuway (alm); Arnold Ap (alm); Eliezer Bonay (alm.); Adolf Menase Suwae (alm.); Dr. Thomas Wainggai (alm.); Nicolaus Jouwe; Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan asing di Papua.
 
Pendidikan Kolonial Indonesia
Pendidikan sekolah banyak dibuka oleh Indonesia, namun pencerdasan rakyat tidak terjadi selama tahun 1963 -1988. Sekolah yang dibangun pemerintah Indonesia di Papua Barat sebagai tempat melalukan Indonesianisasi agar asimilasi dan akulturasi demi memperkuat 
integrasi dapat terjadi. Sementara saat itu kondisi Indonesia ribuan rakyatnya belum cerdas.

Di Papua Barat lembaga pendidikan sekolah pemerintah Indonesia (Inpres), bukan tempat menkecerdasan melainkan mencuci otak orang Papua Barat. Ia berperan sebagai lembaga untuk menyosialisasikan ideologi dan kebijakan penguasa.

Muatan kurikulum mengarahkan kepada apa yang ingin dipasarkan oleh pihak penguasa,[[xiii]] menjelaskan, "Kita melihat Universitas Cendrawasih yang didirikan oleh pemerintah RI pada tahun 1963 untuk mewujudkan agenda meng-Indonesia-kan Papua. Pejabat UNTEA di Papua, Rolls Bennet dan seorang pejabat lainnya yang diberi wewenang membidangi pendidikan kawatir jangan-jangan pemerintah Indonesia memakai Universitas Cenderawasih untuk menghapus aspirasi Papua Barat merdeka."[[xiv]]

Dengan  begitu jelas bahwa, sekolah di Papua tidak melakukan proses pencerdasan. Isi kurikulum dan corak pendidikan dasar disamakan dengan provinsi lain, terutama di Jawa. Hal seperti ini sebagai bentuk hegemoni penjajah. Pendidikan Indonesia di Papua Barat didesain untuk memperkuat integrasi. Pendidikan dasar dan tinggi yang dikelola untuk mengisi lowongan kerjaan dalam pemerintahan telah menjadi tujuan utama [[xv]].

Ross Garnaut dan Chris Manning menulis bahwa Pendidikan di Papua Barat telah berkembang dengan pesat di bawah pemerintahan Indonesia [[xvi]]. Kedua intelektual itu menggunakan data-data tertulis yang ada di Jakarta. Mereka melaporkan bahwa di sekolah-sekolah dasar pada tahun 1972 terdaftar 123. 700 murid, dua kali lebih banyak (kuantitas) dari pada tahun 1961.

Padahal secara kualitas, misi Katolik dan Zending (protestan) memiliki lembaga pendidikan yang lebih baik  dibanding pemerintah Indonesia di Papua Barat. Ini terbukti, meskipun banyak sekolah telah dibangun pemerintah Jakarta, namun sekolah-sekolah yang dikelola misi lebih mononjol.
Ross Garnaut dan Chris Manning menulis, "Walaupun sekolah dasar negeri tumbuh dengan cepat, dalam tahun 1970, 85%  murid-murud masih terdaftar di sekolah-sekolah misi. Angka ini dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di mana kebanyakan murid sekolah dasar terdaftar di sekolah-sekolah negeri"[[xvii]].

Ketertarikan masyarakat terhadap sekolah-sekolah misi terkait erat dengan pendekatan misi yang disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Dengan begitu sangat dipercayai masyarakat dibandingkan sekolah Pemerintah Indonesia. Lagi pula, Misi telah lama dan sudah mempengaruhi pembangun peradaban masyarakat Papua Barat. Mutu dan kualitasnya lebih baik daripada pendidikan yang dikelola pemerintah Indonesia yang  mutu dan kualitas tertinggal.  

Tidak seperti pendidikan di daerah kota, seperti Jawa dan sebagainya. Diskriminasii seperti itu nampak dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. "Walaupun jumblah murud sekolah dasar di daerah pedalaman di kabupaten Jayawijaya bertambah delapankali lipat di antanra tahun 1961 dan tahun 1969, jumblah murid Jayawijaya hanya sepertiga angka rata-rata provinsi pada tahun-tahun belakangan ini. Dalam tahun 1969, 6.400 dari 6.600 murid yang terdaftar di sekolah-sekolah di Jayawijaya, adalah murid sekolah dasar"[[xviii]].

Sekolah Inpres yang dibangun pemerintah tidak dilengkapi guru maupun fasilitas belajar. Sekolah-sekolah dibiarkan begitu saja sampai ditumbuhi ilalang karena tidak ada guru, selain guru didikan Misi. Guru-guru pendatang bertumpuk di kota-kota melalui sogokan kepada kepala dinas dan kepala departemen setempat [[xix]].  Bagi mereka, pendidikan yang sekarang diperoleh di sekolah dasar tidak bermanfaat [[xx]] karena tidak mencerdaskan.
Sementara, Universitas Cenderawasih didirikan dalam tahun 1963, sebelum secara sah Indonesia berintegrasi dengan Papua. Setelah Pepera 1969 sudah lebih dari lima puluh persen mahasiswa telah masuk Fakultas Hukum dan sebagian kecil belajar di Fakultas Pertanian atau Fakultas teknik pada tahun 1970. Universitas ini menghadapai banyak masalah seperti Universitas lainnya di Indonesia (terutama di daerah). Mutu pendidikan tidaklah tinggi, kurang dana, buku-buku, perlengkapan dan fasilitas-fasilitas lain[[xxi]].  

Pendidikan formal Indonesia belum diintegrasikan dengan cara hidup masyarakat di desa-desa. Pendidikan sekolah menengah, kejuruan, dan pendidikan tinggi, serta usaha-usaha berbagai departemen dan organisasi-organisasi lainnya yang bertujuan mempersiapkan tenaga terampil yang berguna dalam perekonomian modern kurang terkoordinatif.

Dengan begitu jelas bahwa usaha pemerintah untuk meningkatkan kuantitas pendidikan di Papua Barat tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. Ini dapat dilihat misalnya dari kurangnya tenaga pendidikan, sehingga banyak siswa yang hanya menempu sekolah dasar. Sekolah dikelola untuk kepentingan menjalankan roda pemerintahan di Papua Barat, namun karena rata-rata mayoritas masyarakat yang sekolah pada saat itu entah disengaja atau tidak hanya mencapai sekolah dasar sehingga banyak dari mereka hanya sebagai pekerja kasar.

"RI yang banyak membuka sekolah di tanah Papua, tetapi sebagai alat untuk mengindonesiakan orang Papua. Jadi tujuannya itu Indonesianisasi. Lihat saja banyak orang Papua yang sedang mengangur setelah tamat dari ratusan sekolah yang dibuka oleh Indonesia. Lembaga pendidikannya melimpah tetapi Papuanisasi nol. Karena sasaran pendidikannya itu ialah Indonesianisasi tadi."[[xxii]]

Pada masa-masa, tahun 70-an hingga 80-an, anak-anak Papua, khususnya anak-anak pegunungan tengah tidak bisa belajar dengan baik dan tenang karena operasi-operasi militer mengancam kebebasan dan telah mengorbankan puluhan ribuan orang Papua termasuk sisiwa yang belajar. Dalam kondisi seperti itu tentu lahir gerakan perlawanan menolak Indonesia di Papua Barat.

Dari sisi lain, benih-benih nasionalisme Papua Barat merembet dari para serdadu didikan Belanda kepada mahasiswa Universitas Cenderawasih. Dengan begitu Uncen menjadi salah satu tempat lahirnya pejuang dan tokoh-tokoh nasionalis orang Papua Barat seperti Jakop Pray dan juga seorang dosen muda Uncen, Arnold Ap dan beberapa yang lain tidak disebutkan semua di sini.

Di bawah pimpinan mereka berbagai aksi dilakukan untuk menentang NKRI. Juga demonstrasi-demonstrasi yang sering dipicu oleh ulah para tentara dan birokrat Indonesia, yang tanpa malu-malu mengangkut barang-barang mewah peninggalan Belanda seperti kulkas dan mesin cuci listrik - ke tempat asal mereka.


[i]  Diary Pribadi.
[ii]  Educare Asal kata dari bahasa Latin artinya mengiring keluar.
[iii] Jamil Salmi, Violence and Democratic Society, Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hlm 32-33. Ia mengemukakan bahwa kekerasan langsung merupakan tindakan yang menyerang fisik atau fisikologis seseorang secara langsung, misalnya  pemusnaan etnis, kejahatan perang, pembunuhan massal dan tindakan paksa atau brutal yang menyebabkan penderitaan fisik atau fisikologi seseorang (pengusiran paksa terhadap suatu masyarakat, penculikan, penyiksaan, pemerkosaan dan penganiayaan, perampokan dengan pemberatan). Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai ancaman kematian, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakat atau intitusi) yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan tersebut. Di sini terdapat dua sub kategori yang bisa dibedakan yakni kekerasan dengan pembiaraan dan kekerasan yang termediasi.
[iv] G. Moedjanto, Dari Pembentukan PAX NEDERNALNDICA sampai NEGARA KESATUAN   REPOBLIK INDONESIA. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma. 2003, hlm. 36.
[v] Ibid. G. Moedjanto, 2003, hlm. 35.
[vi] Benny Giay, Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Seputar Emansipasi Orang Papua, Jayapura Elsham Papua. 2000. hlm. 84-85.
[vii] Jopari. Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. 1993, hal. 30.
[viii] Agus Alua, Papua Barat : Dari Pangkuan ke Pangkuan. Jayapura: Sekertariat Tim 100. 2000, hlm. 21. (Baca juga Giya, 2000: 85-86).
[ix] Jhon Djopari.Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. 1993, hlm. 48 (baca juga Beny Giay, 2000: 86).
[x] Jopari. Op.cit. 1993, hlm 30.
[xi] Syamsuddin Haris dkk. Indonesia di Ambang Perpecahan. Jakarta:Erlangga, hal. 185.
[xii] Jopari Op.cit, sumber asli dari Ernest, Urecht, Papoeas in Opstand, Uitgeverij Ordeman, Roterdam, 1978, hlm 43-46.
[xiii] Beny Guay (2001; 97).
[xiv] Beny Giay. Op,cit. 2001, hlm. 97, (baca juga Poerbakawattja, R.S. 1977;. 20).
[xv][xv] Ross Garnaut dan Chiris Manning. Perubahan Sosial Ekonomi Irian. 1979, hlm 35.
[xvi] Ibid. Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34. Dua ilmuan dan peneliti di Papua Barat kurang lebih satu tahun dua bulan, mengenai pendidikan dan meberikan komentar atas pelaksanaan pendidikan Indonesia di Papua Barat.
[xvii] Ibid. Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34.
[xviii] Ibid, Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34-35.
[xix] Frits Ramandey,. 2005, hlm. 124.
[xx] Ibid, Ross Garnaut dan Chiris Manning, 1979, hlm 35-36.
[xxi] Ross Garnaut dan Chiris Manning, Op.cit. 1999, hlm. 40.
[xxii] Beny Giay. Op,cit. 2001, hlm 85.

Longginus Pekey adalah Pendidik di Papua

Sumber : http://majalahselangkah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar