Pages

Pages

Rabu, 20 November 2013

Generasi Muda Papua Dalam Ancaman Kehilangan Identitas Dari Persfektif Antropologi (Bag. 1)

Oleh : Selphy Emigay Yeimo

DALAM Antropologi menjelaskan bahwa secara universal ada tujuh unsur kebudayaan di setiap komunitas, suku/etnik, kaum, dan bangsa. Tujuh unsusr kebudayaan yang dimaksudkan adalah Bahasa, kesenian, organisasi sosial, Teknologi atau peralatan hidup, religi, sistem pengetahuan dan  sistem mata pencaharian hidup. Tujuh unsur kebudayaan ini tentunya tidak terlepas dari kehidupan setiap insan. Dan ketujuh unsur ini saling berkaitan antara satu dan lainnya. Jika salah satu dari ketujuh unsur ini tidak diwariskan dari generasi satu kepada generasi berikutnya  maka akan berujung pada punuhnya  unsur tersebut.

Penulis akan lebih menjelaskan pada salah satu unsur kebudayaan yaitu  Bahasa. Sebagaimana kita ketahui, bahasa terdiri atas kata-kata atau kumpulan kata. Masing-masing mempunyai makna, yaitu, hubungan abstrak antara kata sebagai lambang dengan objek atau konsep yang diwakili Kumpulan kata atau kosakata itu oleh ahli bahasa disusun secara alfabetis, atau menurut urutan abjad, disertai penjelasan artinya dan kemudian dibukukan menjadi sebuah kamus atau leksikon. Bahasa pada intinya adalah penunjuk atau pengenal diri atau indentitas dari pada suatu etnik atau suku. Seseorang dapat diketahui dari mana asalanya dari apa yang diucapkannya

Kita kembali melihat  Papua dengan jumlah bahasa yang tersebar disetiap etnik, di Papua terdapat 276   bahasa yang tersebar dari Sorong  hingga Merauke. Begitu kompleks dan sangat beragam. Dengan adanaya beragam bahasa ini membuat Papua lebih unik dan menarik untuk dipelajari, di telusi dan diteliti. Kebudayaan yang ada di Papua sesungguhnya lebih banyak masih berupa lisan yang diucapkan. Jumlah sebanyak 276 bahasa memang tidak sedikit.

Dalam Tulisan ini penulis ingin menjelaskan Satu masalah Krusial  yang mengancam Kehidupan Generasi Muda Papua  di atas tanahnya sendiri yaitu Masalah KEHILANGAN  IDENTITAS  diri sebagai bangsa Papua yang sejati. Pertegas lagi bahwa ketika kita berbicara tentang Bahasa maka Kita berbicara yang berhubungan dengan Identitas.

Menurut salah satu dosen antropologi Fisip –Uncen  “ Bapak Hanro Lekitoo” Bahasa Di Papua yang adalah 276 bahasa 5 diantaranya sudah punah. Daerah – daerah yang bahasanya telah punah antara lain di daerah  Teluk Wondama yaitu dua bahasa, di Waropen satu bahasa, diperbatasan satu bahasa yaitu bahasa Nambla dan di daerah Kaimana satu bahasa yaitu bahasa Pitjit iha.  Dan menurut Penelitian Jurusan antropologi angkatan 2009 Dalam PPL SATU DI DISTRIK Depatre- Kabupaten Jayapura, dalam seminar penelitian  yang dipresentasikan bahwa secara garis besar penutur bahasa daerah  di Kampung-kampung yang tersebar di Distrik ini mengalami perubahan yang sangat besar. Hampir generasi muda di daerah ini telah meninggalkan tradisi budaya mereka salah satunya yaitu bahasa. Dalam seminar PPL Satu  para mahasiswa ini menjelaskan bahwa Penutur bahasa yang ada yaitu kurang lebih diatas usia 30-40 tahun ke atas. Sementara generasi di bawah dari itu  lebih banyak menggunakan bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia. Punahnya bahasa di beberapa daerah di atas serta situasi riil dalam kehidupan generasi muda di lapangan saat ini menunjukkan bahwa akan ada ancaman serius  bagi generasi muda dalam hal KEHILANGAN INDENTITAS  di atas tanahnya sendiri.

Berikut  akan dijelaskan  beberapa   faktor mengapa bahasa itu dapat Punah di Papua:

Pengaruh IPTEK dan Globalisasi
Penutur bahasa di Papua punah terutama di kalangan generasi muda, karena generasi mudanya lebih menggunakan bahasa yang datang dari luar atau bahasa asing. Banyak generasi muda Papua yang beranggapan bahwa menggunakan bahasa daerahnya itu merasa dirinya kuno, kampungan, tidak gaul dan lainnya. Sehingga menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya. Dan tidak menggunakan lagi bahasa daerahnya.

Sistem pendidikan yang diterapkan di Papua
Sistem pendidikan yang diterapkan Di Papua pun sangat berpengaruh terhadap kelestarian bahasa yang adalah identitas diri sebagai Orang Papua. Ada tiga  kelompok kategori pendidikan di Papua dari zaman Gereja hingga saat ini.
  • Lembaga Pendidikan Yayasan oleh Gereja
Setelah gereja masuk di tanah Papua, Gereja lebih dahulu mempelajari budaya, adat istiadat, kebiasaan, dan filosofi hidup masyarakat Papua sehari-hari. Setelah para misionaris mempelajari semua itu, kemudian orang asli setempat dikaderkan untuk membantu mereka. Sebagian dikaderkan menjadi guru buta huruf, perawat, tukang kebun, nelayan, bertani, tukang bangunan, juru masak, penjahit dan lainnya. Dan Alkitab yang adalah Kitab Suci kaum nasrani diterjemahkan  kedalam bahasa masyarakat setempat. Sehingga mencapai tujuan utama dari penginjilan.

Sistem yang dipakai lembaga-lembaga pendidikan berbasis Yayasan seperti YPK, YPPK, YPPGI, dan Advent adalah memproteksi nilai-nilai budaya bangsa Papua. Memanusikan manusia Papua dalam ke-Papua-an. Tenaga pengajar yang bertugas di kampung- kampung kebanyakan mengajar dengan pengabdian tinggi. Sehingga identitas diri dari bangsa Papua dapat dilestarikan dari generasi tua kepada generasi muda.
  •  Pendidikan di masa Pendudukan Belanda
Pendidikan di masa pendudukan Pemerintah Belanda secara nyata dimulai sejak 1960-an. Pendidikan di masa ini dikenal dengan istilah Papuanisering atau Papuanisasi  di segala bidang sebagai langkah  mempersiapkan orang – orang Papua yang akan menduduki dan mengisi  kemerdekaan. Seperti pendirian Sekolah Pamong Praja di lembah Makanwai – Kota NICA dan kini dirubah Pemerintah RI menjadi Kampung Harapan. Sekolah Pelayaran Di Hamadi. Sekolah Teknik di Kotaraja luar, kini SMK N 3.

Pemerintah Belanda mengaderkan orang Papua menjadi juru masak, juru ketik, mekanik, perawat, ahli bangunan, pamong praja, mengkaderkan orang Papua dalam bidang politik, membantu dan mempersilakahkan orang Papua  mendirikan partai politik dan sebagainya. Sehingga orang Papua benar-benar diberdayakan. Dan kebudayaan mereka pun dapat terlestarikan.
  • Pendidikan di masa Pendudukan Pemerintah Republik Indonesia.
Setelah menduduki tanah sejak 1 Mei 1963, Pemerintah Indonesia melakukan penghancuran dan membunuh sistem pendidikan  yang dijalankan oleh lembaga gereja dan pemerintah Belanda. Sistem pendidikan  dari tingkat Sekolah Dasar ( SD) – Perguruan Tinggi (PT ) pendidikan yang membunuh indentitas ke- Papua –an dan menggantinya dengan Ke- Indonesia-an. Contoh kasus Sekolah – sekolah  yang bestatus YPK,YPPK,YPPGI, Advent dan  banyak yang dirubah menjadi Negeri, atau paling tidak kurikulum bersifat sentralistik, yaitu Jawanisme. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar