Ilustrasi Kekerasan Aparat Militer Indonesia |
SUNGGUH ironis, polisi yang notabene sebagai pelindung, dan
pengayom masyarakat, justru menganiaya warga. Parahnya, kali ini
dilakukan pada anak dibawah umur yang diduga dilakukan oleh 4 anggota
Polres Waropen terhadap Hans Wairey (12), siswa SMP Negeri 2 Urfas
Distrik Ureifaisei.
Orang tua korban Clemens Wairey, S.Pd ketika mendatangi SULUH PAPUA,
Senin (18/11), bercucuran air mata sembari menjelaskan kronologis
insiden. Menurut Wairey, penganiayaan bermula dari peristiwa kasus
pencurian uang kas jemaat GKI Sion Mambui oleh 3 anak dibawah umur,
masing-masing berinisial S, H, R pada Rabu (13/11) lalu, dirumah ketua
jemaat GKI Sion Mambui. Keesokan harinya, Kamis (14/11), 4 anggota
Polres Waropen mendatangi rumah Clemens Wairey di Paradoi mengecek
anaknya Hans untuk dibawa ke Polres guna dimintai keterangan terkait
pencurian.
Namun, sontak 4 anggota Polres Waropen tiba-tiba saja langsung
menganiaya Hans, di injak-injak hingga tak berdaya di halaman rumah di
Paradoi. “Kasus pencurian ini terjadi hari Rabu, Kamis anak saya
ditangkap dan dituduh ikut terlibat dalam pencurian uang kas jemaat GKI
Sion Mambui, 4 anggota Polres lalu menganiaya dan menginjak-injak anak
saya sampai hampir mati, dan sekarang anak saya terganggu ingatannya,”
kata Clemens yang mengaku sedih melihat kondisi anaknya terbaring sakit.
Dikatakan, dirinya sudah berulang kali menanyakan keterlibatan
anaknya dalam kasus pencurian uang kas jemaat di GKI Sion Mambui, namun
anaknya mengaku tidak tahu. “Saya sampai sudah pasrah, biar sudah kalau
polisi pukul, tetapi yang kami keluarga tuntut yakni kekerasan anak
dibawah umur. Saya sudah minta visum dokter dan hasil sudah saya pegang,
cuma sekarang anak saya ini tidak bisa sekolah karena benturan dan
terganggu otaknya,” terangnya.
Menurut Clemens, tindakan 4 polisi itu telah menyalahi aturan.
Mestinya anaknya diperiksa, bukan dianiaya. “Saya minta kapolres harus
mempertanggungjawabkan kasus ini, karena ini tergolong penganiayaan
terhadap anak dibawah umur,” imbuhnya.
Ditempat terpisah, Ketua DPRD Kabupaten Waropen Penehas Hugo Tebay, STh mengecam insiden yang dilakukan oknum polisi. Menurut Ketua DPRD, hendaknya polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat tidak bertindak gegabah.
Dikatakan, meskipun ketiga anak itu melakukan kesalahan, tidak harus
dipukul hingga babak belur. “Harusnya dibawa dan dibina dulu, tapi kalau
sampai dipukul muka hancur begitu, itu tidak benar. Saya mengecam keras
tindakan tersebut, saya juga minta agar Kapolres mengusut tuntas
masalah ini,” tegas Ketua DPRD kepada SULUH PAPUA.
Menurut Hugo, orang tua korban akan mengadukan masalah tersebut
kepada DPRD dan meminta perlindungan hukum. “Kapolres harus menindak
tegas anggotanya, apa tidak ada prosedur yang benar untuk menyelidiki
sebuah kasus di Polres Waropen sehingga anggota main pukul begitu?”
tegasnya.
Kasus pencurian terjadi Rabu (13/11) lalu, dimana ketiga anak yang
diduga mencuri dirumah ketua jemaat GKI Sion Mambui masing-masing
berinisial S, H, R mengambil uang senilai Rp.86 juta. Saat ini pelaku
berinisial S telah melarikan diri dan masih buron, sedangkan R mendekam
di Polres Waropen. Sementara H kini tengah menderita sakit dirumah
karena dianiaya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi yang diperoleh SULUH PAPUA dari pihak Polres Waropen maupun Polda Papua. Kapolres yang coba dihubungi tidak dapat tersambung begitu pula Polda Papua.
Sebelumnya, seorang siswa di Wamena, Jayawijaya, juga dihajar oknum
polisi, Jumat lalu. Video pemukulan tersebut beredar sejak Sabtu (16/11)
di situs Youtube (http://youtu.be/Hpt1u3kqrE8). Dalam video yang
diunggah tersebut, tampak sejumlah oknum polisi menarik seorang siswa
dan kemudian memukulnya menggunakan popor senjata. Dua orang polisi ikut
pula menodongkan senjata mereka.
Kepala Bidang Humas Polda Papua AKBP. Sulistyo Pudjo Hartono
menuturkan aksi tersebut bermula dari tawuran yang melibatkan 5 Sekolah
Menengah Atas di Wamena. “Tim sudah dibentuk atas perintah Kapolda, tim
ini akan melihat sejauh mana permasalahan latar belakang dan apakah
tindakan sesuai prosedur atau tidak sesuai prosedur,” kata AKBP
Sulistiyo Pudjo H. S.Ik, di Mapolda Papua, Senin.
Menurut dia, kronologis tawuran antarpelajar di Wamena Jumat siang
dilatari informasi bahwa siswa di salah satu sekolah membuat lagu yang
dianggap mengganggu, mencederai atau merendahkan kelompok siswa lain.
Akibatnya siswa di sekolah lainnya marah. SMAN I diminta bertanggung
jawab.
Ia melanjutkan, akibat kejadian tersebut, Wakapolres Jayawijaya dan
Kabag Ops menyikapi dengan mengerahkan personil untuk memisahkan kedua
pihak, diantaranya SMA Yapis, PGRI, SMK YPK yang hendak menyerbu ke SMAN
1. Saat dipisahkan, situasi berkembang menjadi tidak terkontrol, dimana
siswa-siswa mempersenjatai diri dengan batu dan kayu.
Menurut Kabid Humas, selain menyerang pelajar SMAN 1, mereka juga
menyerbu anggota polisi yang hendak memisahkan, bahkan melempari mobil
Wakapolres. Beberapa personil bahkan harus dirawat di rumah sakit akibat
terkena lemparan.
Menurut dia, tidak ada niat polisi untuk melakukan konfrontasi terhadap siswa, tetapi menghindari korban jiwa.
Terkait kabar dari media yang menayangkan pemukulan terhadap siswa
oleh oknum polisi, pihaknya sudah memerintahkan Kabid Propam untuk
mendalami peristiwa itu.
Pihak Kepolisian Papua lanjutnya, berharap adanya dukungan dari Pemda
Kabupaten Jayawijaya. “Dukungan dari sekolah, tokoh-tokoh agama, tokoh
masyarakat dan organisasi kepemudaan untuk meredam permasalahan ini.
Karena kalau permasalahan ini berkelanjutan maka semuanya rugi. Dimana
satu SMA mungkin hanya oknum yang membuat lagu-lagu yang merendahkan
kelompok SMA lain, tetapi disikapi dengan cara tidak wajar,” lanjut
Pudjo lagi. (K9/CR5/R4)
Sumber : www.suluhpapua.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar