Pages

Pages

Selasa, 29 Oktober 2013

Warga Asli Papua Barat Makin Terdesak

Ilustrasi
MANOKWARI,  - Kisah mengenai keberadaan warga asli Papua Barat dalam strata ekonomi ibarat mengulang ironi suku Indian yang terdesak dari tanah kelahirannya di Amerika Utara oleh pendatang. Di Papua Barat, terutama Sorong, warga asli yang mayoritas merupakan suku Moi juga terdesak dan tersisih dari percaturan ekonomi daerah.

Indikasi ini antara lain terlihat di pusat-pusat ekonomi di Kota Sorong. Di Pasar Sentral Remu, misalnya, nyaris tidak ada pedagang dari suku Moi ataupun Maybrat serta Inawatan yang merupakan pribumi di Sorong. Pasar ini dikuasai para perantau dan pemodal dari Makassar, Pulau Buton, Jawa, dan Ambon.

”Pasar ini pun setahu saya yang mendirikan orang Bugis di tahun 1980-an, bukan orang Papua asli. Di pasar ini memang hampir tidak ada pedagang orang pribumi, mungkin karena tidak pandai (cakap berjualan). Mereka biasanya menjadi penyuplai hasil bumi, seperti ubi, keladi, pisang, dan sagu. Itu dibeli pedagang di sini,” ujar Idin (29), pedagang di Pasar Sentral Remu asal Buton.

Padahal, dahulu tanah di Kota Sorong dimiliki masyarakat suku Moi. Tanah itu perlahan dijual kepada pendatang, dan mereka pun tinggal di pinggiran kota. Mayoritas warga suku Moi masih tinggal di pinggiran hutan, tetap dengan tradisi berburu, meramu, dan mengumpulkan hasil hutan.

Mersalina Lobat, misalnya. Warga suku Moi Klabra yang tinggal di Distrik Klamono, yang berbatasan dengan areal sumur minyak PT Pertamina EP, itu masih menggantungkan hidup dari berburu sarang semut (Myrmecodia pendans). Tanaman yang berkhasiat sebagai obat kanker serviks dan diabetes itu diolah dengan cara sangat sederhana, yaitu hanya dijemur, dan setelah kering dijual Rp 50.000 per kilogram.

Padahal, untuk mencari 1 kilogram sarang semut, ia dan suaminya harus mengumpulkan hingga seminggu. Mencarinya pun tidak mudah. Mereka harus memanjat pohon ketapang yang tinggi di hutan dan berisiko jatuh atau diserang semut. Saat ini, mereka tinggal di sebuah rumah kayu di tepi kawasan sumur minyak milik Pertamina.

Program transmigrasi

Persoalan seperti itu juga dialami orang asli Papua hampir di seluruh pulau tersebut. Dari Manokwari, Sorong, Jayapura, Wamena, Nabire, Timika, hingga Merauke, pendatang terus berdatangan. Ini terjadi sejak migrasi besar-besaran mengalir melalui program transmigrasi.

Di semua wilayah, dari kabupaten hingga kecamatan, bahkan kampung, pendatang menguasai pasar bahan kebutuhan pokok hingga jaringan transportasi dan jasa. Potret Papua dan Papua Barat telah berubah. Ke mana arah pembangunan sumber daya alam dan sumber daya manusia di ”bumi cenderawasih” itu akan dibawa masih belum jelas.

Program Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B) tidak fokus dan tidak memiliki desain utama. Pembangunan masih mengedepankan infrastruktur sehingga belum menyentuh hak-hak dasar masyarakat asli.

Ketua Majelis Masyarakat Papua Provinsi Papua Barat Vitalis Yumte, awal Juli lalu di Manokwari, mengatakan, pembukaan akses ekonomi melalui pembangunan infrastruktur semakin membuat pendatang berbondong-bondong datang. Akibatnya, masyarakat asli Papua semakin tersingkir. Pembangunan di bidang ekonomi, terutama pasar, tidak diikuti dengan pemberdayaan perekonomian masyarakat asli. Akibatnya, masyarakat asli kalah bersaing dalam berdagang.

Tahun ini, melalui program P4B, pemerintah menggelontorkan dana hingga Rp 52,1 triliun. Dari dana itu, dana yang terkait dengan pelaksanaan program P4B sebesar Rp 15,36 triliun dan direktif Presiden Rp 1,32 triliun. Sebagian besar dana tersebut untuk membangun infrastruktur.

Kepala Unit P4B Bambang Darmono mengatakan, P4B memang belum sempurna dan masih banyak kendala. Kendala tersebut antara lain tuntutan ganti rugi masyarakat adat, gagal lelang, dan berbenturan dengan kearifan lokal setempat.

Ia mengatakan, infrastruktur tetap penting untuk memajukan Papua dan Papua Barat. Melalui infrastruktur, daerah-daerah terisolasi menjadi terbuka dan lalu lintas ekonomi berjalan lancar. Lagi pula, Unit P4B juga memperhatikan pengembangan sumber daya manusia di Papua dan Papua Barat. Pada Agustus 2013, Unit P4B mengadakan program afirmasi pendidikan. Ratusan putra Papua ditempatkan di 39 perguruan tinggi negeri di luar Papua dengan biaya negara.

Namun, tampaknya jawaban untuk persoalan Papua tidak sekadar uang. Pemberdayaan, perlindungan, serta keberpihakan kepada orang asli Papua perlu ditingkatkan agar mereka mampu bersaing dengan pendatang. Jika tidak, mereka akan semakin terdesak dalam segala hal. (Yulvianus Harjono dan Hendriyo Widi/JOS)
Sumber : KOMPAS CETAK
Editor : Kistyarini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar