Yason Ngelia, Ketua BEM Fisip
Uncen
(Foto; ARNOLD BELAU/SP)
|
Perspektif Regulasi dan Kepentingan Perut
Oleh : Yason Ngelia
Kesekian
kalinya UNCEN terlibat dalam penyusunan regulasi daerah tertinggi di
provinsi ini. Sebut saja OTSUS Tahun 2001 dan kini OTSUS Plus, keinginan
Lukas Enembe dan Velix Wanggai. OTSUS Plus bertujuan untuk menyiasati
permasalahan sosial dan politik rakyat di Tanah Papua. Walau mendapat
kritikan dari banyak pihak, OTSUS Plus tetap direalisasi sebagai jawaban permasalahan rakyat, kata para elit ini.
Kebenaran,
diterapkanya OTSUS Plus, dibuktikan ketika sebulan lalu rakyat Papua
dikagetkan dengan temuan bahwa draf OTSUS Plus buatan Lukas
Enembe dan Velix Wanggai Cs di Jakarta adalah hasil copas (copy paste)
UU Pemerintahan Aceh. Ditemukan juga bahwa RUU tersebut berlandaskan
Syariat Islam (Socrates Yoman, dalam tabloidjubi.com/bintangpapua.com).
Demi
menutupi rasa malu ini, pemerintah provinsi Papua meminta bantuan
UNCEN. Dalam hal ini birokrat pengagas OTSUS 2001. Untuk sekali lagi
membuat rancangan UU Otsus Plus guna membantu kebingungan pemerintah
provinsi yang sedang mendapat tekanan malu oleh sebab RUU hasil copy paste (copas) tersebut.
Bukankah
sabaiknya Daerah menyindir pemerintah Pusat di Jakarta (Velik Wanggai
Cs) karena draf copas tersebut? Jika Pusat serius menyelesaikan
permasalahan Papua, peraturan tersebut dapat dibuat dengan serius dan
tidak asal copas. Mengingat mayoritas rakyat Papua beragama Kristen.
Tentu tidak dibutuhkan Syariat Islam sebagai landasan ( redakasi dlm
draf tersebut).
Interfensi
kebijakan pusat kepada daerah selama ini sudah menyalahi asas-asal
otonomi daerah sendiri (desentraiisasi) dimana daerah seharusnya dapat
mengurus rumah tangga daerah tanpa interfensi pusat serupa rezim Orde
Baru. Namun Papua sebagai daerah khusus dengan UU khusus tetap mendapat
tekanan dalam menerapkan peraturan khususnya yaitu UU Otsus dan sekarang
ditambah dengan UU Otsus Plus.
Birokrat UNCEN (Rektor,
Dosen, serta para pakar) sekali lagi kembali menjadi pahlawan siang
bolong untuk pemerintah Papua. Tanpa rasa malu dan bersalah kepada
rakyat Papua, Birokrat UNCEN mengambil proyek besar yang menguntungkan
kantong masing-masing anggota tim esistensi.
Setelah
di godok diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Papua, sudah dapat
dipastikan parah penenun undang-undangan Papua ini akan kembali
berpangku tangan tanpa pernah mau melihat carut-marut pembangunan di
Provinsi. Fungsi pengawasan dan kontrol akademis dan tanggungjawab
sebagai penggagas regulasi ini, sama sekali akan ditinggalkan.
Mereka
cenderung bersembunyi dibalik lembaga pendidikan ini sambil
mengkisahkan betapa heroiknya mereka menyelamatkan rakyat Papua dari
ancaman kemiskinan. Dan tentu saja menyelamatkan Keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman disintegrasi oleh sebab
multi konflik di Provinsi Papua.
Semua
Rakyat Papua, mahasiswa, lebih khusus UNCEN terpukau mendengar kisah
perjuangan penyelamatan rakyat yang dimanipulasi ini (kisah heroik tim
asistensi dalam buku menguak tabir OTSUS Papua hal 15-33).
Demikian,
akan sama halnya dengan perjuangan mendapat untung dari proyek draf
OTSUS plus kali ini. Lagu tersebut akan dinyanyikan kembali tim
asistensi untuk menyembunyikan mereka dalam kurungan lembaga pendidikan
ini. Apapun yang terjadi dengan nasib UU OTSUS tidak dipedulikan. Hal
yang sama akan terjadi lagi ketika OTSUS Plus berhasil direalisasikan
sebagai landasan pembangunan provinsi Papua. Dengan membuka sekali lagi
kran uang yang akan di nikmati para elit dan bukan rakyat.
Terkait
dengan Otsus Plusini dipastikan bahwa tidak ada satu regulasi yang
benar atau yang dapat dimplementasikan secara baik di Provinsi Papua.
Hal ini harus berani dikritisi melihat derajat UU Otsus dari hirarki
Konstitusi Negara yaitu bagian dari Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 Tentang
GBHN Tahun 1999-2004 (khusus Aceh dan Papua) yang telah diperjuangkan
oleh anggota DPR RI wilayah pemilihan Papua guna meredam konflik yang
mengancam integrasi RI di Papua. Hal ini telah dilehmakan sendiri dengan
kehadiran UU Pemekaran Papua Sesuai Inpres Megawati dan Kebijakan SBY
sendiri mencederai pasal 76 OTSUS 2001. Pemekaran Provinsi Papua menjadi
provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP, DPRP, setelah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan
sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa
mendatang.
Harusnya
dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 4 (ayat 4) Pemekaran dari satu daerah
menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan
pemerintahan. Pasal 5 (ayat 1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik
kewilayahan.
Kini
Kahadiran MRP Papua dan Papua Barat, kehadiran UP4B, yang pengawasan
dan pelaksanaannya langsung dibawah komando presiden Republik Indonesia,
kerja UP4B yang mengambil alih peran pemerintah Papua defenitif. Pada
akhirnya nampak dualisme pemerintah di Provinsi Papua. Dengan
pengalokasian anggaran APBN yang berbeda kepada pemerintah Papua dan
Pelaksana UP4B pimpinan Bambang Darmono.
Hadir
juga, OTSUS Plus yang berbentuk UU Pemerintah Papua. Semuanya ini
adalah kebijakan sepihak pemerintah pusat tanpa persetujuan dan
pertimbangan DPR Papua, Gubernur, dan MRP. Kebenaran apa yang harus
disangkal ketika melihat beberapa tahun silam, rakyat Papua telah
menolak OTSUS 2001, pada tahun 2005 dan 2010 dalam bentuk demonstrasi
massa dengan jumlah sangat besar. Penolakan rakyat beralasan dan masuk
akal, melihat afirmatif yang adalah tawaran dalam OTSUS 2001 tidak
ditemukan kebenarannya.
51
susunan draf perdasi dan perdasus MRP Papua (dilihat pada MUBES MRP
tahun 2010) tidak mendapat tanggapan Pemerintah Pusat. Sehingga dalam
realisasinya OTSUS 2001 Papua kita analogikan sebagai macan ompong.
Derajat
UU OTSUS tahun 2001 sudah dilemahkan pemerintah pusat karena
ketidaktahuan atau tindakan disengaja. Mungkin juga karena kurangnya
pengawasan para pencetus OTSUS 2001 itu sendiri yaitu pemerintah, LSM
dan lembaga Uncen. Bicara pembangunan Papua secara menyeluruh maka tentu
ada kerja sama dan campur tangan pemangku kepentingan di Papua sampai
perubahan dan pembangunan itu benar-benar kelihatan.
Tidak
mungkin peraturan yang sudah kita anggap sebagai konstitusi Provinsi
Papua yang diciptakan oleh orang Papua sendiri. Namun semua aktor
penggagas ini melepas tangan. Tanpa meberikan pertimbangan dalam setiap
implementasi maupun amandemen rugulasi tersebut.
Pada
tanggal 24 Oktober 2013 Mahasiswa BEM Fisip-Uncen bersama BEM
Informatika UMEL Mandiri mendatangani kantor MRP bertemu Ketua MRP yang
didampingini wakil ketua I dan bebrapa anggota MRP Pokja Agama. Tujuan
Mahasiswa meminta keterangan terkait rapat dengar Pendapat MRP guna
pembahasan RUU OTSUS Plus usulan Gubernur Papua hasil rancangan UNCEN.
Pembicaraan
selama dua jam tersebut, tidak berbeda dengan pikiran kami bahwa
sebenarnya lembaga ini (MRP) dibentuk hanya sebagai formalitas semua
kebjakan pemerintah yang mengatasnamakan rakyat Papua.
Tugas
MRP dalam UU OTSUS pasal 20 ayat (I) poin C, memberikan pertimbangan
dan persetujuan terhadap racangan Perdasus yang diajukan dengan DPRP
bersama-sama dengan Gubernur. Poin f, Memberikan pertimbangan kepada
DPRP, gubernur, bupati, walikota, mengenai hal-hal yang terkait dengan
perlindungan hak-hak orang Papua.
Sebagai lembaga representasi orang Papua yang diyakini adalah super body milik rakyat. Ternyata MRP atau Parlemen orang Papua ini tidak memiliki payung hukum sebagai penguatan kapasitas lembaga MRP.
Akhirnya
peran representasi orang Papua dari wakil adat, agama dan perempuan ini
ditarik mengikuti kemauan pemerintah dan bukan keinginan rakyat Papua
selama ini. Terbukti dengan dua kali Musyawarah Besar MRP tahun 2010 dinyatakan bahwa Otsus Gagal. Dan pada tahun 2012 itu MRP
bersama rakyat mengembalikan kepada pemerintah, tutup MRP dan 2013:
Otsus Gagal rakyat minta dialog guna penyelesaian masalah Papua. Dan
Sampai hari ini hasil rekomendasi tidak mendapat respon sama sekali.
Mungkin
benar perkataan Prof.Dr.H. Jmly Assaddiqie,SH. bahwa, para pejabat
Papua terus menunggu apa kata Jakarta dan terus juga menjadikan Jakarta
pusat kambing hitam atas semua masalah Papua. Sementara pejabat Jakarta
terus-menerus masih memandang Papua dengan kehati-hatian, kekwatiran,
bahkan kecurigaan seperti suasana batin yang berkembang dalam hubungan Jakarta dan Papua sebelum adanya OTSUS.
Dan
pada akhirnya rakyat papua menjadi korban. Pertemuan kami tersebut
hanya berhasil mendengar ketidak mampuan MRP selama ini dan akan terus
demikian. Sebelum pertemuan tersebut sebenarnya kehidupan rakyat Papua
sudah menjelaskan ketidak mampuan MRP kepada mahasiswa. Kami langsung
berfikir, apa tidak sebaiknya lembaga ini dibubarkan saja, bukankah APBD
Prov. Papua telah dihabiskan untuk pembelanjaan kebutuhan MRP yang
sia-sia. Pertemuan yang sama sekali tidaklah penting.
Konflik
Politik, Sosial, dan Budaya di Papua hingga kini bertumbuh. Mayoritas
rakyat Papua menjadi korban yang lain berkelimpangan harta. Birokrat
UNCEN seharusnya bertanggungjawab ketika masalah keuangan, perekonomian,
perlindungan masyarakat adat, hak asasi manusia rakyat Papua berjalan
di tempat. Juga kini semakin keruh persoalan dasar rakyat.
Poin-poin
tersebut adalah fokus pembangunan yang tertuang bab per bab dalam OTSUS
2001. Birokrat UNCEN (dan Lembaga terkait) tidak hanya melihat dengan
sebelah mata masalah OTSUS tahun 2001 dan menyambut proyek UU baru OTSUS
Plus. Tidak metutup kemungkinan OTSUS Plus masih berputar di aliran
keuangan bukan penerapan regulasi secara benar.
Sehingga fungsi pengawasan serta kontrol akademis seharusnya dapat dilakukan Oleh UNCEN sebagai lembaga pendidikan Negeri tertua dan terbesar di provinsi Papua, Yaitu ;
1. Menolak dengan tegas tawaran Pemerintah papua dalam penyusunan draf OTSUS Plus
2. Meminta pertimbangan dan persetujuan DPRP dan MRP dalam pelaksanaan OTSUS Plus terlebiha dahulu
Jika
harus, maka terlebih dahulu UNCEN memintah Pemerintah Papua dalam hal
ini Gubernur terlebih dahulu melaksanakan; Evalusi tahunan terhadap
pelaksanaan OTSUS Papua selama ini.
Jika harus dilaksanakan, maka :
a. Pelaksanaa evaluasi OTSUS Plus kepada rakyat Papua.
b. Pelaksanaan
OTSUS Plus dikembalikan kepada rakyat Papua dalam Jajak
pendapat/referendum, guna pelaksanaan semua kebijakan yang lebih
maksimal.
Jika
tidak dapat menyanggupi diri untuk berkontribusi secara penuh untuk
pembangunan Papua, sebaiknya para pakar ilmu ini memilih tenang dan
menghabiskan karir mereka dikelas guna turut mencerdaskan kehidupan
mahkluk mahasiswa. Jika tidak maka perlu ada tanggungjawab, komitmen
dalam pembangunan Papua, berkorban, guna mengawal hingga persoalaan
Papua benar-benar mengalami metamorfosa lebih baik.
Tidak
bisa sebatas melempar batu dan sembunyi tangan, dan terus menangkap
proyek ratusan juta rupiah, diatas penderitaan rakyat miskin Papua.
Bukankah UNCEN adalah lembaga dengan tujuan pendidikan dan perjuangan
(sambutan Bert Kambuaya, mantan rektor UNCEN di Aula Fisip UI Jakarta).
Mungkin perjuangan yang beliau maksudkan adalah demikian.
Sambutan
Prof. Bert Kambuaya mengingatkan kita awal-mula berdiri UNCEN 1962,
yang sarat dengan maksud politik menyongsong PEPERA 1969. Seharusnya
sejarah ini dipegang sebagai landasan filosofi semua keterlibatan UNCEN
dalam pembangunan atau berjuang untuk perubahan Papua secara tuntas.
Demikian penerapan filosfi tersebut.
Opini sederhana ini, sudah tentu mendapat kritikan dari siapa saja yang berkepentingan. Namun
perlu kita ingat bahwa; tiga hal yang tidak dapat dikubur dimuka bumi
ini, pertama, Matahari, kedua Bulan, Ketiga KEBENARAN (Muhandas Gandhi).
Tulisan ini terbantahkan namun reaita kehidupan rakyat Papua adalah kebenaran yang harus diperjuangkan ke arah lebih baik.
Tulisan ini terutama diperuntukan bagi ; 1. Rektor Uncen, Dekan, ketua Jurusan/Prodi, Dosen, Mahasiswa Lingkungan Uncen. Dan 2. Organisasi Mahasiswa Lingkungan UNCEN. (3) Organisasi Mahasiswa PTN/PTS dan OKP se-Kota Jayapura.
Penulis adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP Uncen.
Sumber : www.suarapapua.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar