“Pemekaran Propinsi Dan Kabupaten/Kota Kian Menelan Korban Masyarakat Pribumi Papua”
oleh: Leksi Degei
Isu pemekaran sementara ini menempati posisi teratas dalam benak Politisi Lokal Papua (Bukan Politisi Papua Merdeka, red), sehingga banyak isu Pemekaran Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang dilahirkan dan langsung diajukan ke Jakarta, anehnya adalah sikap Jakarta yang langsung menjawabnya tanpa kompromi (melakukan studi kelayakan,red).
Latar belakang lahirnya Pemekaran Pemerintahan di Tanah Papua disebabkan oleh banyak hal, yang sangat disanyangkan adalah lahirnya isu itu tidak aspiratif dan bermuatan kepentingan yang kemudian hanya akan meninggalkan luka dihati Masyarakat Pribumi Papua akibat dampak pemekaran itu sendiri. Jika dicermati isu tersebut lahir karena Kekecewaan Politik Oleh Politisi Lokal Papua Yang Kalah Berpolitik, Kepentingan Bisnis Di Wilayah Tersebut, dan Kepentingan Politik Pemerintah Pusat. Ketiga alasan ini yang mempengaruhi lahirnya isu pemekaran.
Rakyat Pribumi Papua tidak pernah mengharapkan apapun dari Pemerintah Indonesia seperti OTSUS, PEMEKARAN, dan UP4B yang ada hanyalah Pemerintah Indonesia yang menjalankan tanggungjawab dan kewajibannya kepada Rakyat Pribumi Papua sebab pemerintah Indonesia telah mencaplok wilayah Papua masuk kedalam wilayah Indonesia. Dengan itu kemudia memperjelas sikap pemerintah yang terkesan memaksa kehendak Rakyat Papua untuk mengikuti apapun yang diinginkan oleh Jakarta mengunakan kaki-tangannya (aparat keamanan, gubernur, bupati) di Tanah Papua.
Pemekaran Propinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah Papua juga merupakan keinginan Pemerintah Pusat yang telah diutarakan pada tahun 90-an yang dikini sedang terimplementasi, namun implementasinya terkesan diinginkkan oleh Rakyat Pribumi Papua melalu politikus buta dan tidak berprinsip di Tanah Papua yang telah terhegemoni kepentingan Jakarta.
Dalam hal kepentingan politik terselubung Negara Kesatuan Republik Indonesia di Tanah Papua tujuannya telah ditetapkan sejak lama secara nasional seperti yang telah diutarakan oleh ALI MURTOPO (Mantan Pangdam TRIKORA) bahwa; “Orang Papua dengan keinginannya untuk mendirikan Negara WEST PAPUA adalah mimpi disiang bolong yang tidak akan pernah terwujud. Jika Orang Papua menginginkan hal itu maka buatlah surat kepada TUHAN mereka agar Ia dapat memberikan sebuah Pulau sendiri untuk Orang Papua dapat mendirikan Negara mereka disana, sebab kita (Indonesia) menginginkan Tanah Papua bukan Orang Papua”. Ungkapan ini kemudian menunjukan secara tegas sikap politik pemerintah Indonesia di tanah papua untuk menutup rapat ruang demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
Ungkapan Tokoh dan Pakar Politik bahwa demokrasi Indonesia masih dalam proses menuju kesempurnaan merupakan pembohongan publik atau bagian dari penyembunyian fakta pertumpahan darah akibat praktek demokrasi yang cacat. Para tokoh dan pakar politik pandai itu dalam penjelasannya tidak pernah menunjuk oknum mana yang sedang menghambat jalannya demokrasi menuju kesempurnaan yang dicita-citakan dalam negara demokrasi Indonesia merupakan bukti penyembunyian fakta itu.
Pengalaman telah menunjukan bahwa jalannya demokrasi di Indonesia selalu bersimbah darah, air mata, dan nyawa. Kenyataan itu kemudian mengkebiri ungkapan para tokoh dan pakar politik diatas, sesungguhnya Bukan Demokrasi Di Indonesia Sedang Berproses Menuju Demokrasi Ideal Ala Indonesia akan tetapi Penerapan Demokrasi Indonesia Merupakan Ajang Pembodohan, Penipuan, Pencurian, Pemerkosaan, Pembantaian Lingkungan Dan Masyarakat Indonesia khususnya Kekayaan Alam dan Masyarakat Pribumi Papua.
Skenario Proyek Berdarah Negara Indonesia Di Tanah Papua sangat manis, rapih, dan tidak membekas hanya kemudian dapat dirasakan pada saat terjadinya Konflik Sosial yang berujung pada Konflik Vertikal. Sekenario Proyek Berdarah Negara Indonesia itu mirip dengan Teori Spiral kekerasan miliknya Dom Helder Camera, namun yang membedakan adalah objek-objek didalamnya, berikut jalannya skenario itu :
• Politikus Lokal Papua
Politikus Lokal Papua yang kalah berpolitik dalam sebuah pesta demokrasi daerah adalah agen pertama yang dimiliki Negara Indonesia untuk memuluskan jalannya Proyek Berdara itu, namun posisi agen yang disandang Politikus Lokal Papua itu tidak diketahui olehnya.
Politikus itu sendiri dipengaruhi oleh kenafsuannya untuk mendapatkan Kedudukan, Jabatan, dan Kemewahan sehingga ia mengambil keputusan untuk mengusulkan pemekaran sebuah wilayah yang menurut dia tepat, keputusannya itu kemudian disampaiakan kepada pendukung-pendukungnnya kemudian mulailah mereka bekerja.
Pekerjaan yang akan dilakukan adalah mencari orang-orang tua setempat baik Pegawai Negeri Sipil maupun masyarakat biasa kemudian mempengaruhi mereka sampai pandangannya sepaham. Setelah itu orang-orang tua itu ditetapkan sebagai tokoh-tokoh masyarakat setempat yang mendukung permintaan pemekaran, dan pendukung-pendukungnya mulai menyiapkan data-data penduduk yang dipalsukan. Setelah Politikus Lokal Papua melihat syarat-syaratnya telah lengkap maka mereka membentuk sebuah tim yang siap memperjuangkan pemekaran.
Dengan pandangan itu Politisi Lokal Papua tidak sadar jika ia sedang diperalat oleh Negara Indonesia untuk memuluskan Proyek Berdarah itu.
• Bisnismen Nasional dan Internasional
Sikap Politikus Lokal Papua itu kemudian dimanfaati oleh pebisnis yang telah melirik adanya lahan potensial bagi pengusaha itu, sehingga pengusaha itu rela mengeluarkan dana besar bagi politikus lokal papua untuk memperlancar pekerjaannya seperti; Membayar Transportasi, Membayar Kroni-Kroninya untuk mengambil dukungan masyarakat papua dengan cara menetapkan tokoh-tokoh masyarakat, dan Manipulasi Data.
Pelaku bisnis sendiri memiliki hubungan harmonis dengan negara Indonesia karena mendapatkan “ijin usaha” yang akhirnya jika usahanya berjalan maka akan terjadi transaksi pembayaran pajak (Royalti) kepada Pemerintah Pusat, dan Daerah.
Dari hubungan itu kemudian Pemerintah Pusat berhasil menciptakan hubungan imperialis nasional dan internasional dalam Negara Indonesia yang tinggal meng-Kapitalisasi-kan tanah adat disana guna meraup keuntungan disana berdasarkan amanah pasal 33 UUD 1945 “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dikelola sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
• Kepentingan Politik Pemerintah Pusat
Khusus bagi wilayah Papua penerapan Kepentingan politik pemerintah pusat dilakukan dengan serius dan penuh waspada. Ada beberapa program politik pemerintah yang diberlakukan di Tanah Papua seperti OTDA, OTSUS, dan UP4B. Semua proyek politik itu mendapat kecaman keras dari rakyat pribumi Papua khususnya yang bukan Aparatus Negara (PNS, TNI, POLRI, dan Politikus Partai)
PEMEKARAN kemudian menjadi proyek berdarah terselubung yang sifatnya paling aman diragakan oleh pemerintah pusat tanpa harus memberikannya tawaran politiknya dengan melewati massa-massa genting seperti yang terjadi pada saat pemberian OTSUS. Dikatakan aman karena opini publik yang terbagun adalah Pemekaran adalah permintaan Masyarakat Papua sendiri melalui politikusnya, jadi sikap pemerintah pusat hanya menjawab dengan cara memberikan Pemekaran tanpa kompromi. Karena pemekaran dinilai aspiratif kolektif masyarakat pribumi papua.
Setelah pemekaran itu disahkan barulah nampak kepentingan politiknya dimana Perangkat Pemerintahan (Esekutif, Legislatif, Yudikatif, dan Alat negara “Keamanan”), Penerapan sistem pemerintahaan yang bersifat komando dan bermuatan sentralistik, penerapan demokrasi yang timpang dan berkafan darah, dan perluasan peta pelanggaran HAM Berat dan penyumbatan ruang Demokrasi.
• Hubungan Kausal Menuju Proyek Berdarah
Papua masih berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara otomatis aturan hukum yang berlaku adalah aturan hukum Indonesia dan aturan Internasional yang telah diratifikasi oleh negara indonesia. Sebagai negara hukum segala aktifitas yang diberlakukan berlandaskan hukum sehingga setiap kegiatan yang terjadi di Tanah Papua pun dilandasi dengan aturan hukum.
Program pemekaran ditanah papua telah lama direncanakan, namun baru terimplementasi setelah adanya permintaan dari politisi lokal papua. Artinya pemerintah pusat bersikap menunggu permintaan dari masyarakat agar terkesan pemberian itu murni atas aspirasi kolektif masyarakat pribumi papua.
Pemerintah pusat juga telah memberikan Ijin Usaha bagi perusahaan-perusahaan nasional dan internasional jauh sebelum adanya program pemekaran, sikap pemilik perusahaan hanya menunggu wilayah baru yang siap dikelola. Informasi wilayah usaha baru terkadang diberikan oleh pemerintah pusat, pemilik perusahaan sendiri mencari lokasi baru, dan diajukan oleh pemerintah daerah sendiri kepada pemilik perusahaan. Hubungan mesra antara pemerintah dan perusahan bertujuan untuk mendapatkan Royalti yang kemudian dana tersebut akan digunakan lagi untuk kebutuhan dan kepentingan politik pemerintah dan peguasa baik dipusat maupun daerah.
Pesan moral UUD 45 pasal 33 hanyalah tiket bagi mulusnya hubungan pemerintah dan pengusaha. Kehadiran aparat keamanan diareal operasi perusahaan merupakan amanah legal aturan hukum tentang Perlindungan Objek Vilat Negara, seperti yang sedang terjadi diareal PT.FI di Tembagapura, dan BP di Bintuni yang telah melahirkan ribuan pelanggaran HAM Berat yang mencederahi UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Ekonomi Sosial Budaya, UU No.12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Sipil Politik, Deklarasi Internasional Tentang Pokok-Pokok Hak Asasi manusia, Deklarasi Internasional Tentang Hak Asasi Masyarakat Pribumi Internasional, dan aturan hukum lainnya.
Pemekaran merupakan Proyek Berdarah yang paling aman dan manis, sebab opini publik yang terbangun adalah Pemekaran Merupakan Permintaan Masyarakat Pribumi Papua. Proyek berdarah pemerintah pusat terhadapa rakyat pribumi papua terlihat pada motifasi dan tindakan pemerintah pusat yang dipraktekan dengan isu pemekaran itu sendiri, antara lain :
1. Pemekaran Propinsi Kabupaten/Kota di Tanah Papua merupakan inisiatif pemerintah pusat, secara legal inisiatif itu tertuang dalam UU No. 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorong. Disamping itu terlihat juga pada tindakan pemerintah pusat yang langsung menjawab permintaan pemekaran oleh Politikus Lokal Papua tanpa kompromi (melakukan studi kelayakan, red);
2. Pemekaran Propinsi Kebupaten/Kota di Tanah Papua merupakan tindakan terselubung pemerintah pusat dalam hal membuka ladang Bisnis baru guna menciptakan lintasan imprealis dalam negara yang siap meng-kapitalisasi-kan tanah adat. Tindakan itu bertujuan untuk memuluskan hubungan bisnis pemerintah pusat/daerah dengan pugusaha nasional/internasional, pengurangan jumlah pengangguran di Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, NTT, NTB, dan lainnya, Pelebaran Wilayah Bisnis Keamanan Negara (ajang kenaikan pangkat, dan mendapatkan vii keamanan);
3. Disisi pendanaan untuk mengurus Pemekaran Propinsi Kabupaten/Kota di Tanah Papua semuannya dijalankan mengunakan dana negara namun tidak pernah pernah dijerat oleh lembaga yang berwenang (BPK, KPK), selain itu pendanaan juga mengalir dari Pengusaha-pengusaha nasional dan internasional yang mendapat ijin usaha dari pemerintah pusat/daerah (praktek liberalisasi);
Dari tiga pandangan itu kemudian dapat ditarik benang merah bahwa politisi lokal papua adalah Agen Pendukung Pertama yang memuluskan Proyek Berdarah Pemerintah Pusat Terhadap Masyarakat Pribumi Papua, sebab Pemekaran Propinsi Kabupaten/Kota diseluruh Tanah Papua merupakan tujuan Politik, dan Ekonomi Politik Pemerinta Pusat yang telah direncanakan sejak lama.
Proyek Berdarah Pemerintah Pusat Terhadap Rakyat Pribumi Papua kemudian mulai jelas terlihat pada beberapa kasus yang sedang terjadi pasca maraknya pemekaran Propinsi, Kabupaten/Kota seperti; “Penembakan Masyarakat Pribumi Papua Dengan Dalail TPN-OPM, Maraknya Kasus Togel Yang Melahirkan Konflik Berdarah, Tinginya Kasus KKN Yang Berujung Pada Perang Dingin, Pelebaran Wilayah Penyebaran Virus HIV-AIDS Dan MIRAS, Dan Konflik Wajib Lima Tahunan Sekali Yaitu KONFLIK PILKADA Yang Selalu Menuai Konflik Horisontal/Konflik Sosial Pada Seluruh Wilayah Propinsi Maupun Kabupaten”. Konflik pilkada yang sedang terjadi adalah :
1. Kabupaten Puncak Papua, (2011-2012)
Konflik Pilkada yang terjadi disana menelan korban jiwa, raga, dan harta benda. Menurut informasi yang diperoleh korban jiwa yang berjatuhan berjumlah 19 orang, dan 1 orang luka-luka, sedangkan korban harta benda adalah rusaknya 1 buah mobil, pembakaran 3 buah rumah masing-masing adalah kantor KPU Puncak Papua, rumah tinggal, rumah adat (honai). Data tersebut diperoleh pertanggal 11 juni 2011, menurut informasi hingga saat ini masih terjadi perseturuan antara kubu pendukung Calon Bupati Elvis Tabuni dan Simon Alom, artinya korban jiwa, raga, dan harta benda masih berjatuhan berdasarkan informasi yang diperoleh melalui METROTV korban jiwa yang berjatuhan sebanyak 55 orang, namun karena situasi disana masih tegang sampai sekarang maka dapat diperkirakan akan bertambah;
2. Kabupaten Tolikara (Februari 2012),
Konflik Pilkada yang terjadi ditolikara telah menelan korban jiwa, raga, dan harta benda. Berdasarkan informasi yang diperolah melalui METROTV korban jiwa yang berjatuhan berjumlah 2 orang, sedangkan ribuan orang lainnya terluka semua korban terluka yang telah diefakuasikan ke RSUD Dok II Jayapura, pertanggal 19/2 sebanyak 83 orang yang telah diefakuasi, sedangkan korban harta benda sebanyak 10 rumah yang dibakar termasuk 2 perkantoran.
Menurut informasi perseteruan antara kubu pendukung Calon Bupati/Wakil Jhon Tabo – Edi Suyanto dan Usama Wanimbo – Amos Jikwa masih berseteru sampai sekarang sehingga korban yang akan berjatuhan diperkirakan akan terus berjatuhan.
3. Propinsi Papua Barat, (Januari 2012)
Konflik Pilgub yang terjadi dimanakwari telah melahirkan situasi yang tidak kondusif akibat adanya pemblokiran jalan umum oleh massa pendukung salah satu Calon Gubernur disana (Dominggus Mandacan), ulah massa pendukung itu juga telah menelan korban harta benda dimana 1 buah rumah dibakar milik Gubernur terpilih Abraham O Atururi. Dalam insiden itu tidak menimbulkan korban jiwa.
Setelah berakhirnya insiden itu kemudian beredar isu yang menyebutkan bahwa Masyarakat Adat Arfat adalah OPM (Organisasi Papua Merdeka), ketika mendengar isu itu kemudian keluarga besar Masyarakat Adat Arfat merasa dicemarkan nama baik mereka sehingga mereka mendesak untuk adanya permohonan maaf terkait beredar isu tersebut. Mereka juga mengancam jika belum ada penyataan maaf maka pelantikan Gubernur Papua Barat jangan diadakan diatas tanah ulayat Masyarakat Adat Arfat (Manakwari), menurut mereka jika pemerintah ingin melaksanakan pelantikan dimaksud maka buatlah di Jakarta dan bekerjalah disana.
Untuk diketahui juga bahwa Pemilu Gubernur di Propinsi Papua Barat yang dilaksanakan sebayak dua kali itu menelan dana sebesar Rp. 358 M Dana ini dikucurkan lewat tiga lembaga, yakni KPUPB sebesar Rp 273 M, KESBANGPOL Rp. 25 miliar yang merupakan dana pengamanan diserahkan pada POLDA dan TNI, serta PANWASLUKADA sebesar Rp 60 M. Demikian disampaikan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Linmas Provinsi Papua Barat Drs Soleman Sikirit kepada wartawan di kantornya, Jumat (27/1).
4. Selanjutnya diperkirakan akan terjadi diseluruh Kabupaten/Kota dan Propinsi di Tanah Papua.
Konflik Sosial yang terjadi itu terkadang berujung pada Konflik Vertikal antara masyarakat dengan Aparat Keamanan akibat persoalan tersebut dipolitisir oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab seperti yang terjadi di Propinsi Papua Barat (Manakwari) dengan adanya ungkapan yang menyebutkan bahwa Orang Arfat adalah OPM (Organisasi Papua Merdeka)
Jika dilihat dari pengalaman pemilu kepala daerah (PEMILUKADA) Propinsi, Kabupaten/Kota yang terjadi seluruhnya telah dan akan menuai persoalan yang menelan korban baik korban jiwa, raga, harta benda, dan lebih parah para lagi adalah terbagunnya opini publik yang mendiskreditkan orang papua seperti ungkapan beberapa media massa baik cetak maupun elektronik bahwa orang papua masih menggunakan alternatif Perang Suku dalam menyelesaikan persoalan, padahal faktanya adalah Perang Kelompok Antara Pendukung Calon Gubernur/Bupati .
Berdasarkan uraian panjang diatas sehingga dapat dikatakan bahwa; Teori Spiral Kekerasan sedang dipraktek oleh Negara Indonesia terhadap Masyarakat Pribumi Papua, karena Pemekaran Propinsi Kabupaten/Kota di Tanah Papua adalah inisiatif Pemerintah Pusat dengan tujuan Kepentingan Politik dan Ekonimi Politik Negara Indonesia di Tanah Papua. Terkait Konflik Horisontal yang berujung pada Konflik Vertikal merupakan TARGET yang ingin dicapai oleh Negara Indonesia.
Kesimpulannya adalah Pemekaran Propinsi, Kabupaten/Kota Ditanah Papua Merupakan Proyek Berdarah Negara Indonesia Terhadap Masyarakat Pribumi Papua.
“Kritikanmu Adalah Pelitaku”
Sumber : http://www.umaginews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar