Ilustrasi Duka di Papua |
Oleh : Naftali
Edoway
Biasanya
kebijakan darurat diterapkan negara ketika negara mengalami ancaman yang sangat
serius. Ketika aparat sipil dianggap tak bisa mengatasi keadaan yang luar
biasa. Ancaman yang sangat serius itu berupa pemberontakan senjata,
protes-protes yang bernada pemisahan diri dan ancaman dari pihak asing.
Ketika
Belanda dan Jepang menjajah Indonesia, banyak rakyat Indonesia yang melakukan
perlawanan bersenjata. Mereka melawan dua kekuasaan itu dalam kurun waktu yang
berbeda hanya karena ingin lepas dari penjajahan. Karena mereka ingin berdaulat
di atas pangkuan ibu pertiwinya.
Dalam
catatan sejarah Indonesia, aksi-aksi rakyat itu hampir selalu dipatahkan oleh
kekuatan militer Belanda bahkan Jepang. Penghancuran gerakan kemerdekaan tidak
hanya dilakukan lewat operasi militer tapi juga peraturan-peraturan darurat
oleh pihak penjajah.
Salah satu
kebijakan keadaan darurat yang dikeluarkan pemerintah Belanda yaitu Staat van Oorlog en van Beleg (SOB).
Peraturan ini dikeluarkan tahun 1939 dengan alasan menciptakan keamanan dan
ketertiban padahal untuk memperlancar proses eksploitasi tapi juga mematikan
protes-protes rakyat.
Sementara,
dalam masa pendudukan Jepang, mereka mengeluarkan UU Nomor 16 Tahun 1942
tentang Pengawasan Badan-badan pengumuman dan Penerangan dan Penilikan
Pengumuman dan Penerangan guna mengontrol ketat rakyat. Control yang ketat itu
membuat kelompok-kelompok rakyat tak berdaya melakukan perlawanan atau kritik
terbuka terhadap Pemerintah Militer Jepang. Barisan propaganda Jepang bahkan
melakukan sensor preventif, yaitu meneliti sebelum berita-berita
disiarkan.
Saat keadaan
darurat diberlakukan aturan-aturan sipil lainnya dikesampingkan. Yang
diutamakan adalah bagaimana menciptakan kondisi yang aman guna melancarkan misi
penjajahan dan eksploitasi. Dan disini militer berperan sangat dominan dengan
jalan mengambil ahli jalannya pemerintahan.
Apakah itu terjadi di Papua?
Sudah 50
tahun lebih Papua diintegrasikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
sepanjang itu pula konflik masih terus terjadi. Rasa curiga dan
ketidakpercayaan mengeluti kedua pihak. Jakarta curiga Papua lantaran suara
Papua Merdeka yang terus digemahkan, sebaliknya Papua curiga Jakarta /pemerintah
karena pembunuhan yang brutal yang melahirkan pelanggaran HAM yang massif di
masa lalu yang pelakunya masih kebal hukum hingga dewasa ini.
Mencermati
kebijakan yang diberlakukan pemerintah di Papua, tak satu pun yang benar-benar
lahir setelah kajian dan perenungan yang mendalam. Semua kebijakan yang
diterapkan pemerintah sejak 1960 hingga dewasa ini adalah kebijakan yang
darurat. Kebijakan dilahirkan tiba-tiba, sehingga penerapannya tidak menyentuh
persoalan. Kebijakan dibuat hanya untuk menambal kebocoran dengan perekatnya
yang tidak kuat sehingga terus menerus bocor.
Kebijakan
darurat Jakarta di Papua adalah kebijakan yang sepihak. Kebijakan yang lahir
tanpa adanya persetujuan dari bangsa Papua. Model kebijkan seperti ini dbuat
dalam rangka membungkam bahkan mematikan suara-suara protes. Kebijakan dibuat
untuk mengontrol semua aktivitas orang Papua.
Apa saja peraturan darurat ala
Jakarta di Papua?
Belanda dan
Jepang paling tidak telah berhasil mematahkan semangat juang rakyat Indonesia
saat itu dengan aturan darurat yang menekan. Lalu bagaimana dengan Papua dalam
Indoensia? Beberapa kebijakan darurat yang dibuat Jakarta, yakni Trikora 19
Desember 1960, Undang-undang Subversive, Otonomi Khusus, Up4B, Otsus
plus/undang-undang pemerintahan, larangan berdemonstrasi, intervensi militer
(TNI/Polri) ke ranah sipil.
Ketika Niew
Guinea Raad menetapkan pembentukan negara West Papua, Soekarno tidak terima
lalu mengeluarkan Trikora untuk mencaplok Papua ke dalam NKRI. Kemudian,
setelah PEPERA 1969, rakyat Papua yang
tidak menerima hasil PEPERA berkumpul dan melakukan perlawanan yang kemudian
melahirkan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Undang-undang subversive pun
dikeluarkan. Pembantaian terjadi dimana-mana - di seluruh tanah Papua.
Mengeluarkan kata "Papua" pun tak boleh. Laporan AHRC tentang genosaid yang
dilakukan militer Indonesia tahun 1977-1978 di pegunungan Papua yang baru
dirilis adalah salah satu bukti.
Akhirnya,
pemerintah tanpa melibatkan rakyat membuat Undang-undang Otsus. Bangsa Papua
tidak dilibatkan karena saat itu mereka bersatu meminta merdeka (lepas dari
NKRI). Namun, Otsus dinyatakan gagal oleh bangsa Papua dalam Musyawarah Besar
(Mubes) Rakyat bersama MRP tahun 2010, setelah 10 tahun diberlakukan di Papua.
Lalu
lahirlah UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat).
Unit ini lahir karena Otsus gagal. Lembaga ini diketuai Bambang Darmono yang
berlatar Militer. Bambang Darmono
diangkat Jakarta karena orang sipil di Papua dianggap tak bisa melaksanakan
amanat negara. Berkaitan dengan ini, TNI AD pun kemudian ditunjuk untuk
menangani 14 proyek jalan trans dengan dana Rp. 425 M
tanpa tender tapi penunjukan langsung melalui Kepres No.40/2013.
Setelah UP4B, muncullah Otsus plus atau Undang-undang
pemerintahan Papua. Rupanya, isi dari kebijakan ini adalah kopian dari
undang-undang pemerintahan Aceh yang kemudian diserahkan kepada Uncen untuk
dikajih. Proses diskusi hanya terjadi ditingkat elit. Sekali lagi rakyat Papua
tidak dilibatkan. Ya! Barangkali karena rakyat masih konsisten minta merdeka.
Selain 14 proyek jalan trans di atas, TNI/Polri giatnya
melakukan kegiatan-kegiatan social berupa pemberian bantuan bama, pengobatan
masal, barapen bersama rakyat dan bantuan Alkitab. Dengan alasan mendekatkan
diri kepada rakyat mereka sabotase tugasnya dinas social, dinas kesehatan dan
departemen agama yang adalah lembaga-lembaga sipil. Mereka juga melarang dan
membubarkan secara paksa aksi-aksi demonstrasi rakyat. Majalah yang diterbitkan
pun harus diperiksa, contonya kasus majalah pelitah.
Yang paling marak dewasa ini adalah kebijakan pemekaran
kabupaten/kota dan Propinsi. Sesungguhnya keinginan untuk memekarkan wilayah
tidak datang dari orang Papua. Orang Papua hanya dijadikan obyek oleh para elit
daerah yang disambut baik oleh Jakarta sebab Jakarta punya visi mematahkan
suara-suara merdeka atau gerakan OPM di tanah Papua. Demi sebuah integrasi,
Jakarta tidak pedulih dengan besarnya biaya yang akan menguras khas negara.
Semua kebijakan itu ditolak mati-matian oleh orang Papua,
namun dipaksakan keberlakuannya. Tahukah anda, mengapa Jakarta membuat
kebijakan-kebijakan itu? Karena dalam kaca mata Jakarta situasi Papua dalam
keadaan darurat.
Dalam suasana seperti itu, rakyat Papua bersama JDP dan
gereja menyeruhkan supaya ada dialog Jakarta-Papua. Namun, hingga saat ini
metode penyelesaian konflik yang diusulkan rakyat Papua ini tak digubris
Jakarta. Pemerintah justru berkoar supaya kesejahteraan orang Papua diangkat.
Pertanyaannya, apakah dengan berkoar dan dengan
aturan-aturan yang belakangan dibuat ini bisa menyelesaikan konflik? Apakah
pendekatakan kesejahteraan mampu menghilangkan ideologi merdeka orang Papua?
Entalah! Namun, dialog masih menjadi wacana yang menunggu niat baik
Jakarta.
Naftali
Edoway adalah Pengamat Sosial dan Politik Papua Tinggal di Jayapura, Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar