Diduga Tewaskan 12.397 Orang, Kodam Membantah
KOMISI Nasional
Hak Asasi Manusia membenarkan sebuah laporan terbaru yang memberi fakta
terjadinya pembantaian massal di wilayah Pegunungan Tengah Papua pada
tahun 1977 hingga 1978. Laporan itu menyudutkan militer sebagai pelaku
utama.
“Selain warga sipil, dari data Komnas HAM, ada 50 sampai seratus aparat
keamanan juga jadi korban dalam peristiwa itu,” kata Natalis Pigay,
anggota Komisioner Komnas HAM kepada SULUH PAPUA, kemarin.
Ia mengatakan, kekerasan tak terbantahkan tersebut pecah setelah
kelompok separatis memulainya dengan menembak militer Indonesia pada
1977. “Terjadilah aksi balas membalas, dan warga sipil yang kemudian
kena akibatnya,” kata dia.
Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih Papua membantah laporan
‘pembantaian’ besar-besaran di wilayah Wamena. “Saya katakan bahwa
peristiwa itu tidak benar, Australia juga kan sendiri membantah itu,”
ujar Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Lismer Lumban
Siantar.
Ia menegaskan, laporan AHCR merupakan kabar Hoaks atau bohong. “TNI
tidak pernah melepas bom dari atas heli saat masyarakat dibawah menunggu
bantuan, tidak pernah itu terjadi di Indonesia, untuk itu, saya
tegaskan sekali lagi, kabar itu tidak benar dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan,” ucapnya.
Soal keterlibatan Australia dan Amerika Serikat dalam insiden itu, kata
Natalis Pigay, belum dipastikan. “Namun dari sejumlah data, bahwa
terdapat Heli Puma dan bom yang dijatuhkan, menimbulkan kecurigaan pihak
asing ikut terlibat,” ujarnya.
Komnas HAM rencananya akan meningkatkan penyelidikan kasus ini dan
meneruskannya ke berbagai pihak. “Soal Amerika, ini belum pasti, masih
perlu didalami. Dalam peristiwa itu, ada memang bom Napalm diduga
dijatuhkan Amerika, itu senjata pemusnah massal yang telah dilarang oleh
PBB,” paparnya.
Pigay mengatakan, selain Papua, kekerasan memburuk juga di belahan
daerah lain di Indonesia. “Korban di Papua lebih banyak, jumlahnya
12.397 orang,” katanya.
Sementara itu, Departemen Pertahanan Australia, seperti dirilis ABC
membantah klaim yang menyebut helikopter Australia digunakan untuk
membunuh warga sipil Papua. Sanggahan ini sekaligus menanggapi laporan
hasil investigasi selama setahun oleh Komisi HAM Asia (AHRC) mengenai
peristiwa pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan terhadap 4 ribu warga
sipil lebih dari 45 tahun yang lalu.
Dalam pernyataannya, Departemen Pertahanan menegaskan: “Dari tahun 1976
sampai 1981, unit pertahanan terlibat dalam Operasi Cenderawasih
untuk melakukan survei dan memetakan Irian Jaya”. “Helikopter
Iroquois, Caribou, Canberra serta Hercules C-130 diikutkan dengan
bermarkas di Bandara Udara Mokmer di Pulau Biak.”
Juru bicara Departemen Pertahanan Australia bidang luar negeri dan
perdagangan mengatakan mereka tidak dalam posisi untuk memberikan
komentar mengenai situasi di Papua pada waktu itu. “Kebijakan pemerintah
Australia terhadap Papua sudah jelas: kita mengutuk semua kejahatan
terhadap warga sipil maupun kejahatan yang dilancarkan kepada personil
keamanan. Situasi HAM saat ini di Papua tidak seperti yang digambarkan
didalam laporan AHRC.”
Sebelumnya, hasil penelitian Asian Human Right Commission (AHRC) di
Hongkong menyebut, AS dan Australia mendukung militer Indonesia
melakukan pembantaian di Papua. Australia mengirim helikopter, sementara
AS menyetor pesawat-pesawat tempur. Aksi ‘genosida’ itu dalam rangka
membendung usaha mencapai kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun
1977.
Laporan berjudul “The Neglected Genocide – Human Rights abuses against
Papuans in the Central Highlands, 1977 – 1978″ (Pembantaian yang
Terabaikan – Pelanggaran HAM terhadap warga Papua di Daerah Pedalaman
Tengah, 1977-1978), yang dirilis AHRC ini belakangan mendapat beragam
pendapat.
Penelitian ARHC disimpulkan usai mewawancarai sejumlah saksi, dan
memeriksa catatan sejarah. Badan ini juga mengumpulkan 4.416 nama yang
dilaporkan dibunuh oleh militer dan menyatakan jumlah korban tewas
akibat kekerasan, lebih dari 10.000 orang. “Saya belum membaca laporan
itu, jadi belum bisa berkomentar,” ujar Kepala Penerangan Kodam
XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Lismer Lumban Siantar.
Basil Fernando, Direktur Kebijakan dan Program AHCR, mengatakan bahwa
kekejaman itu bisa digolongkan ke dalam tindakan genosida. Termasuk
daftar mereka yang bertanggung jawab dan mesti diadili pengadilan HAM
adalah mantan Presiden Soeharto.
Menurut Fernando, sejumlah nama yang disebutkan dalam laporan tersebut,
beberapa di antaranya masih memegang jabatan dalam militer Indonesia. (JR/R4/lo1)
Sumber : www.suluhpapua.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar