OLEH JOHN NR GOBAI
SEKRETARIS I
DEWAN ADAT PAPUA
(Kasus PT.
Nabire Baru di Kabupaten Nabire)
PENGANTAR
Tanah Papua, tanah yang kaya, Surga kecil yang jatuh
ke bumi, itulah lagu yang dinyanyikan akhir-akhir ini oleh masyarakat Papua,
untuk memuja keindahan dan kekayaan alam Tanah Papua. Kabupaten Nabire adalah
salah satu Kabupaten di Tanah Papua yang telah dikenal luas sejak tahun
1990/1991 dengan masuknya perusahaan HPH, PT.Sesco dan adanya kegiatan
pendulangan emas di daerah Uwapa dan sekitarnya pada tahun 1996 sampai
sekarang, dan akhir-akhir ini nabire menarik dengan adanya Perkebunan Kelapa
Sawit di Kampung Sima dan Kampung Wami, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire.
HPH DAN KELAPA SAWIT
Sekitar tahun 2003, ada tiga perusahaan masuk di
daerah ini. PT.Pakartioga,PT.Junindo dan PT.Kalimanis (PT.Jati Darma
Indah/JDI). Dalam Izin HPH, masa operasi JDI berakhir tahun 2017 dengan operasi
di Barat dan Timur Kota Nabire.Hampir sebagian besar Teluk Cendrawasih.
Kehadiran perusahaan-perusahaan ini telah meninggalkan
berbagai masalah antara lain, adanya tenaga kerja yang didatangkan dari luar,
adanya konflik internal masyarakat terkait kehadiran perusahaan, kekerasan baik
secara psikis maupun secara fisik yang dialami oleh masyarakat, janji-janji
muluk perusahaan yang tidak ditepati oleh perusahaan.
Menurut Tabloit Jubi, Edisi II, Sekitar tahun
2007, PT JDI yang telah mengantongi izin hingga 2017 tadi, menggandeng
PT.Harvest Raya dari Korea untuk membuka kebun Kelapa Sawit di wilayah ini.
Saat itu PT.Harvest Raya ditolak masyarakat karena dianggap akan mengancam
hutan dan masa depan anak cucu mereka. Tetapi penolakan menyisakan polemik ada
marga yang menolak tetapi ada keluarganya yang menerima. Penolakan itu
didasarkan oleh karena pengalaman perkebunan kelapa sawit di Arso dan Lereh
yang juga belum mensejahterahkan masyarakat.
Dalam situasi ini PT. Nabire Baru dengan menggunakan
pendekatan lain kepada masyarakat setempat dan Tokoh-tokoh Masyarakat lain yang
mengatasnamakan masyarakat pemilik tanah, puncak dari pendekatan ini dilakukan
Doa Bersama untuk membuka lahan lahan perkebunan kelapa sawit, dalam Doa Adat
itu disepakati uang gantirugi lahan sebesar Rp.6 Milyar, yang sebelumnya adalah
wilayah HPH milik PT.Jati Darma Indah (JDI) yang memperoleh ijin yang berakhir
pada tahun 2017.
Diduga juga akibat dari pendekatan yang gencar
dimainkan oleh beberapa Tokoh Masyarakat Papua di Nabire (bukan pemilik hak
ulayat) terhadap pemilik tanah
Banyak cara dilakukan untuk mendapatkan lahan kelapa
sawit ini, antara lain dengan memberikan harapan-harapan akan hidup yang lebih
baik, mengadudomba antara masyarakat, juga dengan terror-teror mental,
intimidasi dari oknum aparat yang ditempatkan sebagai security didalam
perusahaan sehingga pemilik hak ulayat merasa takut dan tidak akan melawan
perusahaan dan melakukan pendekatan jalan mengajak minum minuman keras dan
pesta pora, akhirnya lahan HPH Jati Dharma Indah telah berubah menjadi lahan
kelapa sawit dari PT Nabire Baru serta pengambilan kayu dari PT.Sariwana Unggul
Mandiri.
PERKEBUNAN TANPA AMDAL
Selama satu tahun belakangan ini, tentang persoalan
Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam, atas exploitasi, pembalakan liar dan
proses pembiaran yang dilakukan oleh dua perusahan kelapa sawit PT. Nabire Baru
bersama PT. Sariwana Unggul Mandiri di atas lahan Adat Masyarakat Pribumi Suku
Besar Yerisiam sudah sangat memprihatinkan, kayu, rotan dan mahluk hidup yang
ada di atas areal tersebut digusur dan mati tanpa ada pertanggungjawaban.
Padahal aktivitas perkebunan tersebut sarat dengan persoalan, mulai sengketa
pemilik ulayat antara pihak pro dan kontra perkebunan kelapa sawit, klaim
HPH yang belum usai, dan persoalan ijin Amdal dari BABEDALDA Privinsi Papua. Namun
kegiatan aktivitas perusahaan terus dilakukan. Penebangan sudah masuk hingga
areal-arel keramat, dusun-dusun sagu dan pinggiran pantai. Ribuan pohon kayu
putih dan rotan yang memiliki nilai komersial diterlantakan dan dikuburkan
begitu saja. Sedangkan kayu merbau/kayu besi terus menjadi buruan dan incaran
kedua perusahan tersebut.
Amdal sebagai payung/pagar untuk menentukan kelayakan
aktivitas sebuah areal kerja investasi. Tidak diterbitkan, dengan alasan kedua
perusahan telah melakukan aktivitas pembukaan lahan sebelum adanya sosialisasi
dan investigasi amdal di areal oleh bapedalda, sehingga kami tegaskan bahwa
PT.Nabire Baru telah melakukan Usaha Perkebunan sebelum adanya Sidang AMDAL dan
dokumen AMDAL.
DAMPAK KEPADA MASYARAKAT
"Sampai saat ini, kami tidak bisa memanfaatkan
hutan kami karena PT JDI larang kami. Dia bilang, itu dia punya sudah ada izin.
Jadi, kami tidak bisa memanfaatkan. Padahal, ini adalah hutan kami. Kami sejak
lama hidup dari hutan ini. Jadi, Pak Gubernur Papua, kami minta cabut izin HPH
PT JDI," pintanya. Keluhan pemanfaatan hutan adat ini pernah juga
disampaikan Kepala Kampung Yaro,Yohana Mekey. "Hutan ini tempat kami hidup
mencari makan. Kami juga bisa memanfaatkan kayu yang ada di hutan kami untuk
bangun rumah. Tapi, Hutan kami telah dibabat habis oleh PT JDI. Sekarang juga
masih tidak boleh. Kenapa kami tidak boleh ambil dari hutan kami," tutur
Yohana (Sumber, Majalah Selangkah)
“Ribuan pohon kayu yang memiliki nilai komersial
diatas 32. 000 hektar tanah adat masyarakat pribumi Suku Yerisiam, telah
ditebang oleh perkebunan kelapa sawit ini. PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana
Unggul Mandiri, sedang mencari rejeki di nabire, hal itu bisa dilakukan juga
dengan memanfaatkan masyarakat pemilik hak ulayat dengan membuat dukungan terhadap
perusahaan kelapa sawit, melalui adanya tandatangan di sebuah kain, dengan
dasar itu Ibu Titi Worabai Marey, Ketua DPRD Nabire, melakukan upaya mengajukan
permohonan addendum kepada Mentri Kehutanan RI terhadap lokasi seluas 44.000
hektar (sepajang teluk cendrawasih) yang dimiliki oleh HPH PT.JDI oleh Ketua
DPRD Nabire yang akhirnya disadari dilakukan untuk kepentingan perusahaan
kelapa sawit, bukan untuk kepentingan rakyat, diduga Ibu Ketua DPRD dan
Suaminya mempunyai kepentingan dalam bisnis Kelapa Sawit ini, padahal mereka
bukan pemilik hak ulayat di daerah kelapa sawit ini.
PENUTUP
Kesimpulan
- 1 PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri tidak menghargai adanya kepemilikan tanah adat di Papua sehingga ini merupakan sebuah pelecehan terhadap hak adat masyarakat adat papua sesuai dengan adanya UU OTSUS di Papua;
- 2 Adanya konspirasi kepentingan antara Manajemen PT. Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri dengan pejabat public di Kabupaten Nabire untuk melakukan penyiapan lahan tanpa adanya pembicaraan dengan pemilik hak ulayat;
Rekomendasi
- PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri segera membuka perundingan dengan pemilik hak ulayat dalam hal ini Suku Yerisiam dan Suku Mee, untuk membicarakan kompensasi kayu yang telah diambil selama ini;
- Gubernur Papua dan Bupati Nabire agar meminta kepada BAPESDLH Papua dan BLH Nabire agar tidak menandatangani Dokumen AMDAL dari kedua perusahaan ini;
- Gubernur Papua dan Bupati Nabire agar segera memfasilitasi adanya pertemuan antara perusahaan dengan masyarakat agar dapat dibicarakan tentang kompensasi yang dapat di tuangkan dalam MoU;( Sumber : http://nestasuhunfree.blogspot.com/2013/10/kerja-tanpa-amdal-dan-lecehkan-hak-adat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar