Alat berat milik PT. Madinah Qurata’ain dan West Wits Mining di lokasi Amano-Degeuwo, Paniai. (Foto: Seky Murib) |
Jayapura, 24/10 - PT. Madinah Qurrata’ain
bekerjasama dengan West Wits Mining Ltd, sebuah perusahaan asal
Australia, diduga sedang menghancurkan hutan lindung di Amano, Kampung
Nomouwodide, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai.
Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai, John NR Gobai mengatakan,
indikasi perusahaan tersebut sedang melakukan kegiatan di wilayah hutan
lindung tanpa ijin, dilaporkan ke Pemerintah Provinsi Papua untuk segera
ditindaklanjuti.
“Saya melaporkan ke Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi
Papua, karena sudah melanggar aturan, hutan lindung sedang dihancurkan.
Nah, aktivitas dari dua perusahaan itu harus dihentikan,” ujarnya kepada
tabloidjubi.com di Jayapura, Kamis (24/10) siang.
Dikemukakan, kegiatan yang sedang dilakukan di lokasi Amano diduga
tanpa memiliki dokumen lingkungan yang terpadu dan tak punya ijin pinjam
pakai kawasan hutan. Untuk itu, pihaknya minta Dinas Kehutanan dan
Konservasi Provinsi Papua agar segera menurunkan tim dan menghentikan
aktivitas perusahaan di dalam kawasan hutan lindung.
Surat DAD Paniai nomor 003/1.2/IX/2013 tanggal 23 Oktober 2013 ke
Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, dilampirkan pula beberapa
foto tentang aktivitas dari perusahaan milik H. Dasril dan
Acong. “Sejak beberapa bulan lalu, perusahaan itu bangun sebuah landasan
pacu untuk kegiatan pendaratan pesawat berbadan kecil,” kata John.
Selain itu, dengan menggunakan eksavator sedang membuka hutan dan
membuat landasan pesawat serta kegiatan lainnya. “Semua aktivitas itu
sudah melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, dan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.18/Menhut-II/2011
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan,” bebernya.
Tokoh masyarakat Degeuwo yang juga Kepala Kampung Nomouwodide, Yahya
Kegepe membenarkan adanya pembangunan lapter di kawasan pertambangan
emas itu. “Ijin yang mereka tunjukan itu untuk usaha, tetapi sekarang
mereka bangun lapangan terbang. Kami juga bingung, kenapa ini bisa
terjadi? Perusahaan tipu masyarakat asli Degeuwo,” ujar Yahya.
Konon, WWM belum pernah memerhatikan apa yang menjadi kewajibannya.
Masyarakat pemilik ulayat juga bahkan belum pernah mendapat kompensasi
dari perusahaan asing itu.
Masyarakat di sepanjang Kali Degeuwo, kata Yahya Kegepe, meminta
pemerintah dan pihak terkait melihat langsung sekaligus melarang pihak
perusahaan beroperasi lagi.
Data yang ada, WWM meski mendapat ijin produksi (Ijin Usaha
Pertambangan) bekerjasama PTMQ, namun hingga kini diduga belum
mengantongi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Padahal, AMDAL sangat penting sebagai kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup di sekitarnya. Dampak lingkungan hidup menyangkut aspek biotik,
abiotik, dan kultural masyarakat setempat. Ini sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup.
“Sama seperti perusahaan lain yang ada keruk emas di Degeuwo, WWM itu
juga ilegal, sehingga semuanya harus ditinjau kembali atau dicabut.
Dampak selama ini cukup banyak dirasakan masyarakat setempat, jadi
pemerintah harus sikapi hal ini secepatnya,” tutur John. (Jubi/Markus You)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar