Ilustrasi Papua Merdeka Harga Mati |
Jakarta: Pelayaran kapal Freedom Flotilla
diberi nama “The Lake Eyre to West Papua Freedom Flotilla” yang
berangkat sejak 21 Juli 2013, mereka katanya akan melakukan “Setting
Sail” yang pada September 2013 akan melakukan “West Papua Border
Crossing” dengan rute pelayaran yaitu Merauke, Sorong, Biak, Jayapura,
Ambon, Banda Maluku, Kai, Aru, Tual, Alor, Pantar, Solor, Labuhan Bajho,
Ende, Flores, Sumba, Kupang, Rote dan Timor. Sebelum berangkat, konon
mereka melakukan sebuah upacara sacral di Blanch Cup Mound Spring,
Australia Selatan yang dihadiri tetua Aborigin Arubunna, Kevin Buzzacot
dan beberapa aktivis Papua yang berbasis di Melbourne, Australia.
Maksud dari pelayaran tersebut adalah dalam rangka
mempersatukan sejarah dan rakyat suatu daratan yang dahulu secara
geografis serta budaya bersatu serta menggugah perhatian atas perjuangan
kemerdekaan rakyat Papua untuk terlepas dari Indonesia atau dengan kata
lain memang ada agenda setting untuk menginternasionalisasi masalah
Papua dalam rangka melepaskan Papua dari Indonesia. Walaupun diancam
akan ditangkap oleh aparat keamanan Indonesia jika mendarat di Papua,
para aktivis ini diperkirakan juga telah siap untuk ditangkap aparat
keamanan Indonesia, sehingga diperkirakan mereka akan membuat video atau
foto-foto saat penangkapan, yang selanjutnya kemungkinan
didesiminasikan atau disebarkan oleh mereka melalui sosial media ataupun
media internasional.
Sampai tanggal 11 September 2013, rencana
kedatangan Kapal Freedom Flotilla yang dimuat di abc.net.au yang
berjudul “Freedom Flotilla Approaches Indonesia’s Marine Border”. Dalam
tulisan tersebut, Lizzy Brown, salah satu penumpang Kapal Freedom
Flotilla menyatakan, aparat keamanan Indonesia telah dilatih oleh
pasukan Australia, untuk melakukan teror terhadap masyarakat Papua
Barat. Kedatangan rombongan Kapal Freedom Flotilla bertujuan untuk
membawa kedamaian dan merenungkan gerakan anti terorisme di Papua.
Sementara itu, diperoleh informasi rombongan Freedom Flotilla yang
semula terdiri dari 3 kapal saat ini hanya tinggal Yacht Pog dengan
membawa 6 orang yang akan melanjutkan perjalanan dari Thursday Island,
langsung menuju Merauke dan tidak melalui Daru, PNG. Ke-6 penumpang yang
ada di kapal tersebut yaitu, Amos Wanggai, mantan pengungsi Papua,
seorang aktivis berkebangsaan New Zealand, seorang mantan pengungsi
Kenya dan 3 orang warga kebangsaan Australia. Sehari sebelumnya, melalui
Pogcast yang berasal dari Kapal Freedom Flotilla, Amos Wanggai membaca
tuntutan Freedom Flotilla untuk membebaskan Presiden Forkorus
Yaboisembut dan Perdana Menteri Edison Waromi serta semua tahanan
politik yang disampaikan kepada Presiden SBY melalui TNI-AL Merauke.
Beragam Modus `Memerdekakan` Papua, Berhasilkah?
Sebelumnya, beragam modus kegiatan dalam rangka menginternasionalisasikan masalah Papua juga diduga dilakukan oleh simpatisan dan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), seperti misalnya mereka mempersoalkan penangkapan empat orang aktivis Dewan Adat Papua (DAP) di Sorong, Papua Barat saat melakukan ibadah syukur dalam rangka mendukung kedatangan kapal Freedom Flotilla. Upaya mereka sejauh ini juga mendapatkan respons dari kalangan aktivis dan media massa di Australia melalui publikasi cybermedia untuk mendiskreditkan pemerintah Indonesia. Wartawan Australia atas nama “NC” telah membuat berita berjudul “Freedom Flotilla brings the change freedom Flotilla” di sebuah situs berita yang terkenal di Australia dan aaktivis Amnesty Internasional berinisial “J” juga menghubungi sejumlah aktivis Papua antara lain AS salah satu ketua organisasi adat di Kota Sorong, MH salah seorang mahasiswa dari Pegunungan Tengah, YGG, AM dan SK dari organisasi adat di Kota Sorong yang intensif berhubungan dengan “NC” dan “J”.
Sebelumnya, beragam modus kegiatan dalam rangka menginternasionalisasikan masalah Papua juga diduga dilakukan oleh simpatisan dan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), seperti misalnya mereka mempersoalkan penangkapan empat orang aktivis Dewan Adat Papua (DAP) di Sorong, Papua Barat saat melakukan ibadah syukur dalam rangka mendukung kedatangan kapal Freedom Flotilla. Upaya mereka sejauh ini juga mendapatkan respons dari kalangan aktivis dan media massa di Australia melalui publikasi cybermedia untuk mendiskreditkan pemerintah Indonesia. Wartawan Australia atas nama “NC” telah membuat berita berjudul “Freedom Flotilla brings the change freedom Flotilla” di sebuah situs berita yang terkenal di Australia dan aaktivis Amnesty Internasional berinisial “J” juga menghubungi sejumlah aktivis Papua antara lain AS salah satu ketua organisasi adat di Kota Sorong, MH salah seorang mahasiswa dari Pegunungan Tengah, YGG, AM dan SK dari organisasi adat di Kota Sorong yang intensif berhubungan dengan “NC” dan “J”.
Kemudian, pada 15 Agustus 2013 telah dibuka kantor
baru Free West Papua Campaign (FWPC) di Kota Den Haag, Belanda, dimana
pembukaan kantor tersebut bertepatan dengan ulang tahun ke-51 dari
Perjanjian New York antara Belanda dan Indonesia, dimana kendali wilayah
New Nugini Belanda itu diserahkan. Menyambut pembukaan kantor FWPC
tersebut, Parlemen Nasional Papua Barat (PNWP) selaku lembaga politik
perjuangan bangsa Papua telah menyerukan untuk menyambut pembukaan
kantor tersebut melalui kegiatan parade budaya Melanesia yang dimediasi
oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Dalam perspektif
kepentingan terkait hubungan internasional, sebenarnya pembukaan kantor
FWPC di Kota Den Haag, Belanda sangat kecil pengaruhnya di tingkat
internasional, karena acara semacam tersebut sudah mudah dipahami oleh
masyarakat Belanda pada umumnya dan masyarakat Eropa Barat pada
khususnya akan memandang masalah tersebut sebagai kegiatan yang bersifat
“low politics”, apalagi masyarakat Eropa kurang interest untuk
memperhatikan dinamika politik suatu negara apalagi hanya sebuah
organisasi yang kurang dikenal mereka, sebab masyarakat Eropa sendiri
masih was-was dengan perkembangan ekonomi global yang belum memihak
kepada mereka. Oleh karena itu, adalah sangat wajar jika kemudian
aktivis Papua yang berada di luar negeri terus melakukan propaganda
untuk mendapatkan perhatian dunia internasional, karena masih banyak
negara yang tidak mengetahui tentang Papua Barat.
Sebelum di Den
Haag, Belanda, upaya internasionalisasi masalah Papua juga pernah
terjadi dengan ditandai peluncuran International Parliament for West
Papua (IPWP) di Canberra, Australia pada 28 Februari 2012, walaupun
beberapa negara besar seperti Inggris dan Belanda ketika menyikapi
masalah ini tetap menyatakan, negara-negara tersebut kurang interest
dengan perkembangan Papua, karena masalah Papua adalah masalah internal
Indonesia serta mereka berkomitmen mendukung sepenuhnya kedaulatan NKRI
yang didalamnya secara sah termasuk Papua.
Pertanyaan besarnya
adalah apakah masyarakat Papua akan terpengaruh oleh manuver mereka?
Tampaknya tidak, karena kalau kita memperhatikan tayangan film
dokumenter di sebuah TV swasta bernama “Insight Papua” akan mendapatkan
gambaran bagaimana kondisi di Papua sangat maju dan modern dibawah
Indonesia. Papua yang digambarkan selama ini sebagai daerah yang tidak
aman, terbelakang dan menyeramkan, ternyata tidak ada. Melalui film
tersebut kita melihat kondisi perbatasan RI-PNG di Distrik Sota yaitu
sebuah daerah terletak di sebelah Timur Kota Merauke, ternyata sangat
kondusif dan masyarakatnya sangat “humble”.
Sebagai bukti
kemajuan Papua, dalam film dokumenter Insight Papua berjudul “Batas
Ujung Timur” tersebut selain menggambarkan potensi pariwisata, kearifan
lokal setempat juga rasa aman dan nyaman masyarakat hidup di Papua.
Sekali lagi, mungkin aktivis Papua yang masih bernafsu untuk
menginternasionalisasikan masalah Papua perlu berfikir ulang, karena
tidak menutup kemungkinan mereka akan hanya dicap sebagai pembohong oleh
masyarakat Papua, masyarakat Indonesia ataupun masyarakat asing yang
pernah menyaksikan kemajuan di Papua. Perdana Menteri Kepualauan
Solomon, Gordon Darcy Lilo sebagai salah satu saksinya, bagaimana Papua
maju, berkembang dan aman dibawah Indonesia. (Masdarsada/kw)
*)
Masdarsada adalah pengamat masalah Papua. Pernah tinggal di Papua dan
Ambon. Saat ini senior di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi.
Anda
juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas
atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social
media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar