Ismail Asso : Ketua
Umum Forum Komunikasi
Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT)
|
Bagaimana format ideal weltanschauung
yang dituangkan secara konstitusional sebagai suatu konsesus nasional
bersama membangun kebangsaan Papua? Apa bentuk Negara Papua Merdeka? Dan
bagaimana bentuk operasional idealisme kebangsaan nasional (nation state) para pemimpin gerakan Papua Merdeka? Pertanyaan inti ini sangat penting harus dijelaskan misalnya seputar apa sesungguhnya weltanschauung dari gerakan Papua merdeka? Kalangan awam Papua apalagi masyarakat urban tidak tahu tentang idealism para pemimpin soal weltanschauung Papua merdeka dalam kemajemukan rakyat dewasa ini.
Ideology
suatu gerakan, apalagi urusan mendirikan Negara, sosialisasi soal ini
penting dan mendasar agar bisa dimengerti, kalau tidak boleh bilang,
bisa didukung semua pihak. Karena orang tanya; Apa konsep Negara Papua
merdeka? Mengingat itu dan kenyataan, adakah Negara didunia yang
masyarakatnya exclusive tertutup selain Negara komunis yang telah runtuh? Semua Negara modern menjamin kebebasan, keterbukaan, (inclusivisme) warganya berdaulat dalam arti demokratis dan menghargai hak asasi manusia beragam ras-agama.
Kalau
begitu bentuk Negara diidealkan para pemimpin pejuang Papua seperti
apa? Banyak bentuk tapi Negara baru berdaulat bukan berideologi komunis
dan monarki otoriter (kerajaan) lebih memilih republic. Bentuk ini
menjamin keterbukaan-kebebasan. Kedaulatan Negara ditangan rakyat.
Republic (re-kembali, public-masyarakat umum, rakyat). Sejak revolusi politik Laicisme Prancis (liberty = kebebasan, humanity = kemanusiaan, egalirity =
persamaan, dunia Eropa, Afrika, Asia dan Amerika, ada dua bentuk Negara
dominant didunia ini, monarky dan republic dengan berbagai variasinya.
Selain penting untuk kesepamahaman-keseragaman persepsi soal ini
tujuannya gerakan tidak sporadis partial tapi konprehenshif tuntas sekaligus agar didukung dan dimengerti semua pihak.
Stigma OPM
Kesan selama ini bicara Papua Merdeka identik selalu dengan OPM. Tapi mendengar kata tiga huruf ini persepsi orang ada dua. Pertama, kelomppok pendukung. Bagi mereka mendengar kata ini mulia, herois, suci dan mati karenanya mau. Kelompok kedua, OPM harus dimusnahkan. Pelaku hukumnya selain harus ditangkap, disiksa, dipenjara. Bicara Papua merdeka adalah subversive maka pelaku, pengikut yang terlibat gerakan ini harus dibunuh mati aparat keamanan NKRI, TNI/POLRI.
Apa sebenarnya OPM itu? Apakah OPM hanya stigma militer konsumsi politik elit Negara ataukah ada yang lebih mendasar (substansial) dari itu sehingga wajib diketahui karena bicara hajat hidup (survival)
orang banyak? Jika hanya stigma berarti dengan sendirinya ideology ini
mulia tapi kalau sebaliknya maka harus dihapus karena itu harus
ditinggalkan karena pada dirinya OPM negative. Tapi jika OPM maksudnya
memperjuangkan hajat hidup orang banyak maka positive.
Disini penting dipertanyakan ulang agar kita tahu relevansi
kata ini bagi kemajemukan dan perubahan konteks Papua kekinian untuk
kedepan agar kekeliruaan persepsi orang yang terlanjur benar atau salah
kaprah atas tiga huruf ini bisa diluruskan. OPM akronim;
dari Organisasi Papua Merdeka, adalah suatu ideology gerakan pembebasan
wilayah Papua dari politik integrasi NKRI atau politik aneksasi
Soekarno tahun 1963 melalui PEPERA disaksikan UNTEA dibawah PBB.
OPM
adalah ideology kemerdekaan bangsa Papua sebutan konvesional (umum)
diluar masyarakat Papua lebih sebagai stigma negative daripada memahami
idealisme ini sebagai alat (sarana) positive bertujuan memuliakan harkat
dan martabat kemanusiaan sejati kebangsaan Papua. Tapi apa wadah resmi
gerakan OPM bertujuan mendirikan Negara? Dalam arti organisasi khusus
sebagai alat perjuangan untuk mendirikan negara Papua Merdeka berdaulat
penuh. Selama ini banyak pihak belum tahu. Hal itu tidak saja tidak
diketahui orang diluar Papua tapi rakyat Papua sendiri.
Melalui
Kongres Rakyat Papua ke-II tahun 2000, lahir tokoh sentral anak
Sentani, Ondofolo Theys Hiyo Eluay. Dikelilingi sejumlah tokoh
intelektual bergelar doctor teologi dan organisator seperti Yorys
Raweyai (Pemuda Pancasila). Rakyat menaruh harapan besar pada mereka.
Masyarakat Wamena turun gunung jalan kaki berkilo-kilo 5 hari untuk
menghadiri kongres. Theys mengajukan diri sebagai ketua PDP (Presedium
Dewan Papua) dalam konres tersebut dan terpilih. PDP dinahkodai almarhum
Theys Hiyo Eluay cukup berarti. Sejak martirnya tokoh ini, PDP mati
total terkubur bersama sang martir Theys.
Kini
parktis PDP tanpa aktifitas berarti. Misalnya untuk konsolidasi organ
faksi-faksi internal OPM. Ada TPN dihutan lebih sebagai gerakan “tribalisme”
daripada suatu gerakan modern yang siap dengan pendekatan perjuangan
profesional. Hanya anak-anak muda bergerak dipinggiran kota sebagai
gerakan anti tesis mengisi kekosongan pasca PDP dan TPN dihutan, lebih
sebagai gerakan prustasi daripada gerakan siap, terencana, padu dan
professional baik secara teoritis maupun dalam aksi. Demikian internal
faksi organ perjuangan soal ini penting diketahui rakyat Papua untuk
dibenahi kedepan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa weltanschauung
(wawasan) semua faksi OPM yang mendasari para pemimpin, pejuang
gerakan, bertujuan mendirikan Negara Papua Merdeka? Tanpa filsafat tak
mungkin ada gerakan padu, tapi gerakan tanpa pemahaman nation state benar dan tepat, gerakan selalu kacau tak terarah. Sebagai akibatnya gerakan selain lemah, tidak padu, tapi juga sporadic
partial dalam aksi-aksinya. OPM hanya sebutan umum, kalau begitu apa
wadah resmi sebagai alat pemersatu banyak faksi perjuangan Papua
Merdeka?
Jika
ada tapi dalam banyak faksi, maka rekomendasi saya disini segera bentuk
wadah formal refresentatif gabungan semua organ. Tanpa wadah formal
indikasinya gerakan perjuangan seperti itu biasanya muncul banyak faksi.
Claimm elit pemimpin faksi sebagai gerakan paling absah, paling
berjuang dan lain sebagainya semacam itu. Sebagai akibatnya gerakan
tidak maju-maju, korban rakyat terus berjatuhan tapi perpaduan gerakan
perjuangan rapuh dan akibatnya berlarut-larut tanpa hasil.
Pihak luar anggap gerakan seperti itu sebagai gerakan kesukuan (tribalisme) bukan gerakan kebangsaan (nation state),
bahkan ada yang anggap hanya protes biasa bukan bertujuan mendirikan
negara adalah salah satu ciri gerakan pembebasan Papua Barat sedang
terjadi kita saksikan bersama. Sejak dulu hingga kini, mungkin sampai
nanti, OPM terus akan begitu terus, apabila tidak pernah ada kejelasan,
apa konsep atau filsafat (weltanschauung), gerakan Papua merdeka.
Apa
yang dimaksudkan disini selain tidak jelas bagaimana bentuk operasional
konsep Negara Papua merdeka bagi para pejuang OPM dikalangan Gereja,
teolog islam dan Kristen. Tapi juga penting diketahui public untuk
dimengerti bagaimana bentuk operasional Negara Papua merdeka itu kelak
merdeka. Apakah berbentuk republic kesatuan, seperti NKRI yang dipinjam
dari filsafat Ernes Renan yang oleh Soekarno bukunya dibaca menjadi
idealism kelak NKRI diproklamirkan meliputi Sabang-Merauke. Atau
berbentuk negara serikat ala Thomas Jefferson seperti Amerika ataukah
ada bentuk yang lain?
Kesan
selama ini bicara urusan satu ini (baca Papua M) yang giat hanya
kalangan teolog Gereja. Teolog islam misalnya pemimpin Ormas tak nampak
terlibat jauh dalam soal perjuangan penegakan martabat kemanusiaan
paling suci dan bernilai mulia disisi Tuhan ini. Ormas keagamaan satu
ini, bagi mereka OPM sesuatu yang haram. Apakah karena tidak diikutkan
sebagai bagian dari, atau dengan inisiatif sendiri tidak ambil bagian
dalam proses itu, mereka tidak tertarik. Kesan akhirnya gerakan OPM
bukan sebagai OPM tapi sebagai gerakan sectarian, kelompok cultur, keagamaan tertentu tanpa pelibatan lain.
Adakah didunia ini ada bentuk Negara teologi selain Negara islam yang terbelakang dan gagal karena tidak seragam seperti Sudan, Pakistan, Iran dan Arab Saudi yang masing-masing clieme
diri sebagai Negara islam paling absah berdasar syari’at islam, tapi
menampilkan wajah syari’ah berbeda malah lebih banyak menakutkan
akhirnya dianggap -tuduhan Barat -melanggar HAM dan tidak demokratis?
Vatikan di Italia tempat dimana Paus berdiam membawahi Keuskupan dunia
diatur dari sana, ternyata lebih sebagai organisasi keagamaan bukan
organisasi kenegaraan.
Jika
demikian apa idealism konsep ketatanegaraan penggiat gerakan Papua
merdeka dari kalangan teolog bagi masa depan Papua hendak dimerdekakan?
Apakah bagi mereka Papua Merdeka, berarti mengharuskan mereka mengusir
seluruh penduduk warga pendudukan sebagai orang non Papua dan islam?
Hanya agama tertentu tanpa agama lain, dan jenis manusia tertentu tanpa
manusia etnis lain. Agama dan jenis manusia lain tidak ada tempat, dalam
arti tidak boleh ada, dalam Negara yang akan dibentuk oleh dominasi
pejuang kelompok seragam agama tertentu?
Jika
jawabannya tidak, tapi untuk semua, sebagaimana anti Apatheid di Afrika
Selatan ada Syeik Yusuf Al-Makassari dari Sulawesi Selatan, Mahatma
Gandhi dari India bersama Mandela dan Uskup Tutu atau perjuangan
kemerdekaan Indonesia dan Timor Leste banyak pejuang keturunan Arab.
Sebagai bagian dari etnis dan unit msayarakat satu dan sama bernama
Papua kelak merdeka atau hendak diperjuangkan. Namun berdasarkan
pengalaman, pengamatan dan penyaksian perjuangan soal ini, konsepsi,
soal weltanschauung Papua Merdeka bagi kebanyakan penggiatnya menunjukkan bukti dan fakta lain.
Kenyataan
aksi lapangan diperlihatkan gerakan perjuangan Papua selama ini warga
sesama sipil, etnis dan agama tertentu dikorbankan, seakan mereka
melarang atau menghambat atau mungkin karena begitu, mereka jarang
tertarik, tidak ikut serta sehingga jangan boleh ada disini dan jangan
terlibat. Pergerakan OPM jadinya hanya milik dan tanggungjawab etnis
tertentu tanpa usaha melibatkan semua bahwa itu tanggungjawab holistic
kemanusiaan manusia sejagad siapapun dan agama apapun manusia.
Kembali
ke soal OPM, mendengar kata ini orang tertentu kata ini heroistik,
membanggakan sebagai penegakan rasa keadilan dan kemanusiaan diri. Namun
bagi yang lain kata ini mengerikan. Selain harus dimusnahkan, bagi
pelaku terlibat hukumanya penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, akhirnya
tembak mati. Terlibat OPM menuju pintu mengerikan, ditembak mati,
bicara Papua merdeka hukumnya haram, pelaku terlibat gerakan ini
melewati satu pintu dibunuh mati aparat keamanan NKRI, TNI/POLRI.
Nasionalisme Papua
Konsepsi
mempengaruhi persepsi umum. Sejauhmana konsep gerakan Papua merdeka
didukung masyarakat internasional sebagai sebuah gerakan kesukuan atau
kebangsaan? Mengetahui ini urgensinya bagaimana konsepsi para ideolog
menyadari, nilai positif, bahwa pluralitas masyarakat Papua beserta
dinamika penduduknya adalah rahmat bagi kekuatan identitas kebangsaan
Papua. Sebagai bangsa kemajemukan alat nasionalisme kebangsaan dalam
proses demokrasi. Karena itu kemajemukan adalah kekuatan nasionalisme
dalam pluralitas rakyat Papua.
Kemajemukan
kenyataan alami yang wajar dalam dinamika sosial masyarakat manapun
dunia. Demikian dengan rakyat Papua sebagai prasyarat utama dan terutama
sebagai bangsa demokratis, metropolis, modern yang diidealkan
bangsa-bangsa modern dewasa ini. Dengan adanya berbagai karakteristik
sosial dan dinamika budaya Papua sebagai rahmat dan prasyarat utama
Nasionalisme kebangsaan Papua.
Persoalannya
adalah bagaimana merubah paradigma berfikir, persepsi internal rakyat
Papua bahwa pluralitas (kemajemukan) bukan saja alami, tapi juga
tercipta bernilai positif. Pandangan ini berarti mau memandang
keseluruhan rakyat Papua, tanpa mempermasalahkan etnik, keturunan,
marga, rambut, warna kulit, agama, bahasa sebagaimana keseluruhan nyata
ada di Papua adalah satu kesatuan bangsa Papua. Demikian harusnya
konsepsi nasionalisme Papua terwujud.
Papua sebagai bangsa sudah memenuhi syarat dengan infrasructur sosial beragam latarbelakang. Realiatas demikian sarana terwujudnya fatsun politik demokratis dan modern. Dinamika yang ada dalam masyarkat Papua sebagai dasar utama dan terutama (par exelence)
sebagai sebuah bangsa kelak terbentuk. Pluralistas sebagai alat inovasi
peradaban estetik maha unik, dari semua keindahan, karena menyangkut
manusia dan disini letak seni keunikannya. Pluralisme selain alami
sebagai sarana penting aktualisasi nilai-nilai demokrasi modern dalam
pengertian sesungguhnya yang ideal.
Semua
sebagai khasanah kekayaan sekaligus keunikan berharga. Tinggal
bagaimana mendorongnya agar usaha independensi Papua sebagai sebuah
bangsa berdaulat dapat terwujud didukung semua element Papua adalah
tugas dan tanggungjawab seluruh komponent komunitas Papua tanpa kecuali.
Darimanapun asal usul keturunanya, etnisnya, warna kulitnya, bahasa
ibunya dan agamanya tetap satu orang Papua.
Papua Dan Tribalisme
Berbeda
dari optimisme ini yang berpandangan sebaliknya, menganggap jika
terbentuk suatu regime berkuasa tentu berpotensi polarisasi rakyat Papua
secara dikhotomis. Demikian asumsi pesimistik bahwa bukan sebagai
kekuatan nasionalisme Papua; sebaliknya polarisasi akhirnya
diskriminasi; jadi, persepsi negatif, bahwa pluralisme masyarakat Papua
adalah sektarianisme, tribalisme, dan primordialime akhirnya disintegrasi nasional Papua. Karena itu pembentukan nation Papua independent suatu hal muspra.
Mereka
yang berpandangan begitu mempertahankan Papua bagian tak terpisahkan
dari NKRI, suatu hal tragis. Penindasan, perampokan, perbudakan,
pembunuhan, pembodohan yang kesemuanya itu pelucutan martabat manusia
atas manusia, sedang terjadi didepan mata. Ulama islam Papua diam,
seakan tidak ada pesan agama islam soal ini. Untuk refleksi sekaligus
kejujuran nurani kita semua, saya perlu kutip, Syafi’i Ma’arif, Mantan
ketua Muhammadiyah, seorang sejarawan, pemikir terkemuka Indonesia
judul: “Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia Perspektif Islam”.
Pendahuluan makalahnya dengan rasa syukur karena terbebas dari
penjajahan politik dan militer tapi masih terjajah secara ekonomi dan
budaya. Dia nyatakan itu setelah lewat beberapa hari perayaan HUT NKRI.
Saya kutip:
“Kita
baru saja merayakan Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI ke 50,
setelah kita hidup dalam suasana penjajahan dan penindasan oleh berbagai
kekuasaan asing dalam kurun waktu yang cukup lama”. Lebih lanjut Ma’arif angkat masalah substansial tentang identitas : “proses
brain-washing atas kebudayaan suatu bangsa yang tidak memiliki
sendi-sendi jati diri yang tangguh. Padahal, bangsa yang benar-benar
merdeka adalah bangsa yang berdaulat lahir batin, kedalam dan keluar. Indonesia
secara militer dan politik telah merdeka 100%, sementara dibidang
ekonomi dan budaya kita berada dalam tahap ujian yang cukup berat”.
Itu
terjadi ada dalam Negara Indonesia, bagaimana dengan nasib bangsa Papua
yang belum Merdeka? Negara merdeka berdaulat penuh seperti Indonesia
masih begitu. Bagaimana dengan nasib bangsa Papua yang belum berdaulat
secara politik, ekonomi dan budaya? Coba simak berikut yang dia kutip
tulisan Mostafa Rejai judul : ‘Nasionalism, East and West’ dari buku : ‘Ideologies and modern politics’, dalam Reo M Cristenson dkk, lengkapnya sbb :
“Sistem
penjajahan adalah system eksploitatif dan destruktif. Rakyat terjajah
diperlakukan sebagai sub-human, bukan sebagai manusia penuh. Alangkah
keji dan kejamnya system serupa itu. Kolonialisme pada stadium ketiga;
nasionalisme ekspansive. Pada stadium ini suatu bangsa melakukan
aneksasi atau penaklukan terhadap negeri atau negeri-negeri lain.
Imprealisme menampakkan berbagai bentuk : politik, ekonomi, dan
cultural, dengan watak utamanya dominasi dan eksploitasi oleh suatu
bangsa atas bangsa lain”.
Kita
sulit membayangkan tapi semua yang dipaparkan Syafi’i kutipan diatas
cukup mewakili kenyataan Papua sesungguhnya. Malah Papua lebih gawat
dari paparan kutipan tulisan Ma’arif. Mengingat Papua sepenuhnya secara
politik, militer, ekonomi dan budaya belum merdeka. Bagaimana Ma’arif
bisa membayangkan jika dia tidak pernah menjadi orang Papua. Kalau kita
mengkontraskan tulisan syafi’i antara Indonesia dengan bangsa Papua,
maka Papua sesungguhnya sudah diambang kehancuran menuju proses
genosida. Saya kutip agak panjang agar menjadi refleksi kita.
Tapi mengapa? Malah sebaliknya menganggap lebih baik mengintegrasikan diri didalam nation
yang telah ada, serta menerima kedholiman sebagai jalan terbaik dari
pilihan lain (memuliakan kemanusiaan manusia Papua) yang dichotomi oleh
akibat polarisasi dalam kemajemukan yang beresiko, diskriminatif dan
otoriter mayoritas regime. Demikian pandangan sementara yang pesimistik.
Asumsi
ini bisa dibenarkan bahwa masyarakat Papua yang tersebar Pegunungan
Tengah disatu pihak dan Pesisir-Pulau dilain pihak dan urban selalu ada
ruang, nuansa distingtif, dalam budaya, bahasa tapi juga persepsi
kebangsaan. Demikian paradigma pendekatan perjuangan Papua Merdeka.
TPN/OPM violence dan PDP/DAP disubdience
adalah fakta yang tidak saja memperkuat asumsi pihak lain adanya faksi
yang menimbulkan ketidakmampuan Papua menentukan nasib sendiri. Itu
logika pesimisme realitas tak terbantahkan bahwa Papua belum mampu,
terlepas dari aneksasi Indonesia. Karena itu mereka tidak mendukung
malah menghambat.
Pluralisme
adalah natural kemanusiaan, yang senantiasa ada dimana-mana berdimensi
univerasal. Pluralitas keniscayaan manusia dimana, dan pada masyarakat
bagaimanapun. Pluralisme harus, karena itu ada, tidak bagaimana, tapi
itulah realitas kemanusiaan yang manusiawi selalu. Papua ditambah dengan
anasir-anasir baru dalam proses idealisme sebagai satu kesatuan bangsa
terbentuk oleh aneka warna kebudayaan yang masuk menyatu dalam budaya
papua.
Akulturasi
dan inkulturasi akibat urbanisasi tentu dengan sendirinya tercipta
peradaban baru Papua. Adaptasi terus menerus oleh transformasi
nilai-nilai baru positif, adat dan kebudayaan Papua tetap dipertahankan.
Memelihara dan mempertahankan nilai-nilai lama baik dan menggambil baru
lebih baik adalah suatu keharusan bagi kita. Nasionalisme Papua, dengan
demikian secara harmonis akan tercipta pada masa-masa kedepan ini.
Karena
itu optimisme selalu harus dimiliki orang Papua tanpa menganggap hal
itu sebagai negatif. Sebab apa yang dinamakan demokrasi dalam pengertian
universal akar-akarnya sudah ada dalam budaya kita, budaya Papua,
secara keseluruhan (Ismail Asso, Nasionalisme Papua, 2006). Tidak
satupun, budaya kita, budaya Papua mengajarkan diskriminasi antar sesama
manusia.
Bahaya Dikhotomi
Dikhotomisasi
yang berpotensi polarisasi yang berakibat disintegrasi internal Papua
harus diarahkan pada persepsi potisif adalah usaha senantiasa dan terus
menerus sebagaimana pengertian demokrasi difahami dewasa ini. Bahaya
benturan kebudayaan dalam pembentukan nasionalisme Papua yang demokratis
dalam era kedepan ini harus dikelola baik. Karena secara kasat mata
terkesan menyatu dalam permukaannya namun tidak demikian yang berkembang
dibawah kesadaran yang tidak teramati.
Demikian
itu mengawatirkan akibat negative-nya menimbulkan polarisasi, tidak
saja pada tataran interaksi sosial masyarakat bawah/awam namun demikian
dapat terjadi pada level elit intelectual. Padahal idealnya, sebagai
kelompok elit terdidik dasar-dasar gerakan perjuangan selalu merujuk
pada konteks sosial budaya Papua, guna membangkitkan nasionalisme Papua,
tanpa terjebak pada simbol-simbol sektarian. Para elit intelectual
sebagai konseptor seharusnya tidak, karena itu memang jangan, terjebak
pada polarisasi yang terkesan sektarianme antara sesama warga Papua.
Egosentrisme
elit intelectual terkemuka Papua yang diikuti dan teramati, sejauh yang
nampak kesan demikian ada, tidak menutup kemungkinan tidak ada harus
benar-benar tidak boleh ada, karena memang tidak baik ada, yang memang
ada itu. Sektarianisme bermula dari egosentriisme pemahaman dan
pandangan serba mutlak; mutlak kebenaran, mutlak pemahaman, mutlak
kebaikan, tanpa ada ruang dialektika. Karena itu selalu dogmatis,
tertutup, tanpa ada redefinisi atau reintrepretasi nilai-nilai doktrin
sesuai kontek sosial kecuali selalu harus mutlak benar sendiri.
Demikian itu dapat terjerumus pada thrus cliem,
diri sendiri yang paling benar. Kebenaran diborong sendiri, seakan
orang lain tidak punya kebenaran. Pandangan menyangkut Papua Merdeka
bila yang ada model pandangan begini, sekalipun memang yang ada
demikian, maka bukan tidak mungkin kita hanya menunggu waktu, semua
kekayaan Papua habis, dikuras, dirampok asing internasional.
Perjuangan
hanya tinggal perjuangan, tidak ada yang tersisa. Lalu dimana peran dan
tanggungjawab kita? Sebagai Intelektual, Pendeta, Pastor, Ulama dan
Cendikiawan Papua? Agar kekayaan alam Papua yang kaya raya ada tersisa
sedikit demi anak cucu nanti? Mengapa membiarkan diri terus mati
dibunuh, HIV/AIDS, tidak ada lagi generasi muda usia produktif tersisa?
Tidak sadarkah kita orang Papua hanya menunggu mati menuju genosida
(kepunahan) abadi?
Sektarianisme akibat egosentrisme, biasanya bermula dari anggapan subyektif, benar mutlak sendiri, trush cliem
seperti itu menimbulkan disintegrasi antar sesama komunitas Papua
kedalam, (internal Papua), pada akhirnya menjadi tidak produktif dalam
kondisi Papua harus berjuang memebaskan diri. Kedepan kesediaan tokoh
membuka diri memikirkan masa depan Papua mutlak perlu disini urgensinya
tema ini diangkat disini.
Primordialisme
Adalah
alami, kodrati, bahwa manusia adalah pribadi otonom, sejak lahir, kita
mengenal mulai dari Ibu-ayah, kerabat dekat, orang sekampung dan
seterusnya sebagai sesama warga negara. Semua itu alami apa yang
dinamakan primordialisme. Melalui lingkungan, interaksi sosial pribadi
otonom menjadi terabaikan sejak kita berinteraksi dengan nasionalisme,
namun primordialisme selalu dan selamanya mengingatkan kita pada akar
dimana melaluinya kita ada. Masa tertentu kita rindu, begitu tiba-tiba
menghadapi masalah, untuk kembali mengadukan kepada orang yang paling
terdekat.
Ketika
merantau, jauh dari kampung halaman, kita rindu ingin pulang kampung,
ingin berkumpul dengan orang terkasih. Maka yang demikian itu adalah
unsur primordialisme positif alami. Namun yang negatif adalah primordial
kesukuan, egosentrisme, menganggap diri, suku dan kelompok sukunya yang
hebat, dan karena itu tidak mau menerima sesuatu kebenaran kalau
sumbernya bukan dari kebenaran kelompoknya.
Nasionalisme
Papua harus dikontruksi dari nilai-nilai budaya Papua sendiri. Guna
memupuk persatuan dan kesatuan bangsa, sebagai Bangsa Papua, bertanah
air tanah Papua. Bangunan yang kita sebut sebagai Nasionalisme papua
adalah rasa solidaritas antar sesama anak bangsa Papua yang majemuk dari
masyarakat pegunungan, lereng, lembah, pesisir, pulau, pendatang dll.
Keunikan
alami primordial hanyalah faktor kebetulan, tanpa pernah kita
merencanakanya dalam arti untuk kita menjadi berbeda secara dikhotomis
negatif. Semua adalah hukum alam, semua begitu saja adanya, mengalir,
dan kita hanya mendapati itu baru setelah bertemu dengan yang lain,
akhirnya, kita mendapati diri, lalu mengindentifikasi diri sebagai Si
Ismail Asso, karena mengetahui primordial diri otonom dan pada saat sama
memiliki potensi ingin mengenal yang lain. Manusia sepenuhnya pribadi
social butuh orang lain. Mengenal, mencari tahu, mulai dari tanda,
simbol, sampai belum usai habis usia. Primordialisme adalah hal yang
sifatnya alami ada dengan indentifikasi sebagai nama, agama, marga
ini-itu.
Primordialisme
adalah sesuatu keunikan pribadi yang sudah ada dalam diri ketika
tiba-tiba mendapati diri ada, hadir dimuka manusia lain, baik kerabat,
saudara dekat-jauh maupun orang baru. Ada aspek melekat dalam diri
manusia ingin mengenal. Akhirnya mengerti siapa saya, maupun dengan
sesama yang secara bersama mendiami suatu wilayah dalam hal ini Papua.
Nasionalime Papua adalah rasa kesatuan dan persatuan akar-akarnya digali
dari aspek kesukuan yang bersifat primordial positif.
*Disini saya hanya memberikan inspirasi positive atau negative terserah orang menilainya. ‘Qulil haq walaw kana muran’ (Artinya : “Katakalah olehmu soal kebenaran walaw itu pahit akibatnya”. Al-Hadits).
*Ismail Asso : Ketua
Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua adalah
kelahiran Walesi Wamena pernah belajar di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin
Ciseeng Parung Bogor dan Mantan Qori Nasional utusan Propinsi Papua
(Irian Jaya) tahun 1988 di Bandar Lampung Sumatera
Sumber : www.suarapapuamerdeka.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar