Kondisi nyata bagi mama-mama Papua yang setiap
harinya berjualan di bawah terik matahari. ini adalah
salah satu contoh pasar seluruh pasar di Papua. foto: AE/MS
|
Jayapura, -- Arus transmigrasi dari luar terus membludak
masuk ke Papua tanpa ada pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi.
Hal ini mengancam tingkat populasi antara orang asli Papua (OAP) dan pendatang
terbilang jauh berbeda atau secara matematis dihitung 30% OAP dibanding 70%
pendatang. Dalam keadaan seperti itu, usaha kecil dan menengah dikuasai pula
oleh para pendatang, sementara OAP sendiri hanya bisa gigit jari atau selalu
menjadi konsumen setia.
Berangkat
dari situasi ini, mahasiswa Nabire yang berdomisili di asrama Nabire
Padangbulan Jayapura menggelar diskusi internal terhadap lajunya transmigrasi
melalui berbagai jalur ke Papua yang berdampak buruk pada generasi Papua
mendatang. Begitupun dalam dunia usaha dikuasai para pendatang. Di pasar
misalnya, mama-mama Papua harus berjualan di bawah terik matahari, sementara
los-los pasar dikuasai para pendatang. Pemerintah pun seakan tidak peduli
dengan situasi seperti ini, seharusnya di era Otonomi Khusus (Otsus), los-los
pasar dikuasai orang asli Papua. Jika tidak, minimal pemerintah menata para
penjual disetarakan antara pendatang dan mama-mama Papua dalam los-los pasar.
Diskusi
ini digelar oleh beberapa penghuni diantaranya Amandus, Yosep Mahuse, Hengky
Yeimo, Yahya Iyai, Yunus Madai, dan Hans Magai, Senin (29/07/2013) pukul 20.00.
Dalam
kesempatan itu, Amandus mengawali pembicaraan dan berkata, dengan lajunya
transmigrasi ke Papua membuat orang Papua tersingkirkan dari posisi terpenting,
entah posisi birokrasi maupun wirausaha.
Hanya
sedikit menguntungkan OAP, karena sekarang ada Undang-undang Otsus. Kalau
tidak orang non Papua yang kuasai posisi terpenting. Jumlah kita orang Papua
berapa, tidak sebanyak non Papua. Satu kekhawatiran kita sekarang adalah 20
tahun ke depan nanti orang Papua seperti apa.
Kondisi
hari ini, jika kita lihat pemerintah Indonesia membuka lowongan Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS) besar-besaran di Papua terlihat ada unsur kesengajaan. Hal
ini agar mengambil alih posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Sementara pada
posisi wirausaha sudah lama mereka
kuasai. Salah satu buktinya sekarang banyak perguruan tinggi swasta yang
dirikan adalah orang non Papua ini terbukti kalau PNS hanya dibuka bagi orang
Papua. Secara tidak langsung kita sedang diarahkan kepada satu kondisi yang
pada waktu mendatang terjadi konflik horizontal antara orang Papua sendiri.
Situasi ini mulai terlihat, bahkan di beberapa kabupaten terjadi. Tutur Yosep
Mahuse memperkuat pernyataan sebelumnya.
Sementara
itu, Hengky Yeimo mengkhawatirkan kondisi saat ini. Kata dia, apabila non
pendatang itu membuat satu perhimpunan non pendatang tentu mereka akan kuasai
semua lini dan orang Papua akan termarginalkan di atas tanahnya sendiri.
Kita
orang Papua jauh kalah bandingnya dengan orang Non Papua yang terus berdatangan
ke Papua. Anggapan mereka saat ini Papua adalah kebun bagi mereka yang
mendatangkan segalanya bagi mereka.
Dari
diskusi yang hangat itu, Yahya mengambil kesimpulan bahwa Orang Papua stop lagi
membeda-bedakan orang Papua pantai dan orang Papua gunung, sebab kita adalah
satu orang Papua pemilik tanah ini. Kita harus bersatu dan jeli melihat hal ini
dan menyadarkan saudara-saudara kita yang sedang dalam kebingungan, karena kita
sama-sama sedang dijajah. Kita semua khawatir, kita minoritas di tanah kita
kemudian konflik terus terjadi. Satu solusi adalah bersatu, sebab jumlah orang
Asli Papua tidak seberapa hanya satu juta.
Selain
hal-hal yang sudah dibicarakan dalam diskusi, pemerintah juga diminta agar
membatasi masuknya transigrasi gelap ke Papua, karena OAP semakin menjadi
minoritas dan penonton di atas tanahnya sendiri. (HAY/MS)
Sumber : www.majalahselangkah.com