Pages

Pages

Minggu, 25 Agustus 2013

Kesaksian Seorang Pamongpraja Papua Di Era Otsus


Buku Ironi Papua di antara buku Bakti Pamongpraja Papua dan Belanda

di Irian Jaya, Amtenar Di Masa Penuh Gejolak, 1945-1962 (Jubi/dam)


Jayapura — Pamongpraja atau jaman Belanda disebut ambtenar terkadang dilupakan atas jerih payahnya selama mengabdi sebagai pelayan rakyat mulai dari daerah terpencil hingga masuk ke perkotaan. Bahkan tidak sedikit para amtenar jaman Belanda mampu menghubungkan pengembangan antropologi di Papua Barat dengan ilmu-ilmu pemerintahan yang diajarkan di universitas-universitas di Negeri Belanda.

Tak heran kalau ada beberapa amtenar yang pernah menjadi Gubernur Nederlands Nieuw Guinea sangat terkenal sebagai pakar antropolog yaitu, Prof Dr Jan Van Baal. Antropolog Jan Van Baal dianggap sebagai tokoh pembaharu ilmu antropologi  dengan teorinya tentang modernisasi yang keliru (erring acculturation) dalam sebuah perencanaan pembangunan di negara-negara berkembang.

Begitupula dengan buku tentang pengalaman para pamongpraja Papua yang dihimpun dalam buku berjudul Bakti Pamong Praja Papua, Di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia, penerbit Kompas, Jakarta Oktober 2008.

Dr Leontine E Visser menyebut buku ini adalah kumpulan sejarah keperintahan dari pamongpraja orang Papua yang mulai tugas pada era 1950-1962 di Nederlands Nieuw Guinea dan pensiun pada masa pemerintahan Indonesia di jaman modern.

Buku ini juga menggambarkan pengalaman pamongpraja Papua dalam melaksanakan tugas pemerintahan di jaman United Nations Temporary Executive Authority(UNTEA). Kemudian mereka dikirim ke Jawa untuk ikut pendidikan kepemerintahan negara Indonesia kemudian mereka bertugas di Irian Jaya/Papua sampai mereka pensiun sebagai Pembantu Gubernur Wilayah I dan Wilayah II, Walikota Jayapura dan Bupati.

Salah satu buku terbaru berjudul Ironi Papua yang ditulis oleh Alex Rumaseb, salah seorang pamongpraja Papua yang mengawali kariernya sebagai Camat atau Kepala Distrik Kurima, Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya  sekitar 1970 an setelah menyelesaikan kuliah di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri(APDN) di Kampung Yoka, Kota Jayapura.

Buku ini mungkin bisa disebut sebagai kesaksian seorang Pamongpraja Papua yang mulai bekerja di era Orde Baru hingga pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Ketua Bappeda Provinsi Papua. Alex Rumaseb termasuk pamongpraja adik kelas alumni APDN Irian Jaya dari pamongpraja Papua lainnya seperti Michael Manufandu, mantan Dubes  Kolombia, mendiang JRG Djopari, mantan Dubes PNG dan Eduard Fonataba mantan Bupati Sarmi.

Buku berjudul Ironi Papua ini oleh penulisnya mengangkat  tiga soal yang menjadi kendala dalam pembangunan di Papua. Pertama kita sedang bekerja dengan data-data yang tidak akurat, sehingga keputusan dan kebijakan yang diambil bagi Papua juga tidak akurat karena menggunakan data yang tidak akurat tadi. Data yang tak akurat menyangkut data penduduk yang berbeda antara instansi, misalnya BPS, KPU, Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja, Dinas Kesehatan juga Biro Pemerintahan dan Pemerintahan Desa.

Kedua dalam mencari solusi  bagi hambatan pembangunan di Papua semua orang yang memberikan masukan benar dan bagus, tapi benar dan bagus itu tidak bisa dipersatukan menjadi satu kekuatan, malah dalam koordinasi masing-masing mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri. “Atau lazim disebut ego sektoral masih kuat,”tutur Alex Rumaseb yang pernah menjadi Sekda Kabupaten Paniai. Bahkan yang benar bagus itu sering bertentangan antara satu dengan lainnya. Ketiga, yang disebut kapasitas versus mutasi. PNS yang berkompeten dan mampu sering tidak ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan kemampuannya (the right man on the right place/job), karena mutasi itu ada pada pimpinan politik,sehingga keputusan mutasi sarat dengan muatan politik.

Dalam bab pertama penulis mengangkat tema tentang UU Otsus yang buram alias KJ kurang jelas. Menurutnya tidak pernah ada kejelasan tentang grand design Otsus Papua. Kebijakan yang muncul setelah Otsus justru membuat jalan pencapaian Otsus semakin jauh. Selanjutnya Pemerintah di Jakarta membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang diklaim sebagai upaya pendekatan kesejahteraan bagi penyelesaian persoalan Papua. Jika benar demikian, mengapa Kepala UP4B seorang jenderal? Bahkan Rumaseb heran karena setiap ada persoalan di Papua, mengapa pemerintah mengapa Menkopolkam, Kapolri, Badan Intelejen Negara(BIN) yang dikirm ke Papua? Mengapa bukan Menkokesra, Mendikbud atau Menkes?

Persoalan ini bagi Rumaseb jelas menandakan ketidakseirusan pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan “Kesesatan pikir ini muncul di semua elemen di tingkat pemerintahan. Belum ada upaya serius menciptakan kesejahteraan di Papua.

Bahkan kewenangan yang mengatur tentang Papua justru menimbulkan masalah baru terkait perebutan kewenangan.”Saling lempar tanggungjawab,”tulis Rumaseb. Pembentukan Peraturan Pemerintah(PP) sebagai tindak lanjut UU Otsus sangat lambat. Selain itu, Perdasus dan perdasi penting juga gagal dibuat. Jakarta menunjuk Papua karena tak becus memanfaatkan kelimpahan kewenangan, Papua balik menunjukan Jakarta karena tak serius menerbitkan aturan pelaksanaan.

Di Jakarta tidak bisa ditemukan pemerintah pusat. Ketika masalah Papua muncul, tidak jelas pembagian kewenangan antara UP4B,Kemendagri, Desk Papua di Menkopolhukam, staf Khusus Felix wanggai atau utusan khsus Farid Husain.

Lebih parah lagi seluruh lembaga ini tidak saling sapa dan duduk bersama mendiskusikan persoalan di Papua.”Ujung-ujungnya aparat keamanan juga yang dikirim ke Papua.” Bukan hanya itu saja yang ditulis Rumaseb tetapi kata “orang asli Papua” akan selalu menimbulkan persoalan. Padahal tindakan afirmative ras melanesi justru bertentangan dengan semangat kewarganegaraan yang seharusnya menjadi dasar pembentukan negara modern.

Kesaksian dari seorang Pamongpraja Papua ini jelas mengungkapkan kalau selama 10 tahun Otsus Papua berjalan tak memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Indeks pembangunan Manusia(IPM) tetap berada pada peringkat bawah.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) tentang penyelenggaraan dana Otsus sebesar Rp 380 milyard tidak pernah diusut tuntas. Ironinya dana Otsus tetap saja disalurkan. Di tingkat pemerintah pusat tidak ada keseriusan menelisik dana Otsus.
Salah satu kritikan Rumaseb terhadap Otsus yang dinikmati oleh pejabat dan bukan rakyat sehingga ada sebuah sindiran terhadap pejabat orang Papua dengan singkatan “6B” yang artinya bos, bar, bir, bon dan bui. Artinya menuntut jabatan untuk jadi bos, hanya demi uang, setelah punya uang masuk bar, cari minuman bir untuk mabuk cari perempuan untuk kencan bor, uang habis tinggalkan utang bon dan terakhir masuk penjara, bui.(Jubi/Dominggus A Mampioper)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar