Buku Ironi Papua di antara buku Bakti Pamongpraja Papua dan
Belanda
di Irian Jaya, Amtenar Di Masa Penuh Gejolak, 1945-1962
(Jubi/dam)
|
Jayapura
— Pamongpraja atau
jaman Belanda disebut ambtenar terkadang dilupakan atas jerih payahnya selama mengabdi
sebagai pelayan rakyat mulai dari daerah terpencil hingga masuk ke perkotaan.
Bahkan tidak sedikit para amtenar jaman Belanda mampu menghubungkan
pengembangan antropologi di Papua Barat dengan ilmu-ilmu pemerintahan yang
diajarkan di universitas-universitas di Negeri Belanda.
Tak
heran kalau ada beberapa amtenar yang pernah menjadi Gubernur Nederlands Nieuw
Guinea sangat terkenal sebagai pakar antropolog yaitu, Prof Dr Jan Van Baal.
Antropolog Jan Van Baal dianggap sebagai tokoh pembaharu ilmu antropologi
dengan teorinya tentang modernisasi yang keliru (erring acculturation)
dalam sebuah perencanaan pembangunan di negara-negara berkembang.
Begitupula
dengan buku tentang pengalaman para pamongpraja Papua yang dihimpun dalam buku
berjudul Bakti Pamong Praja Papua, Di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke
Indonesia, penerbit Kompas, Jakarta Oktober 2008.
Dr
Leontine E Visser menyebut buku ini adalah kumpulan sejarah keperintahan dari
pamongpraja orang Papua yang mulai tugas pada era 1950-1962 di Nederlands Nieuw
Guinea dan pensiun pada masa pemerintahan Indonesia di jaman modern.
Buku
ini juga menggambarkan pengalaman pamongpraja Papua dalam melaksanakan tugas
pemerintahan di jaman United Nations Temporary Executive Authority(UNTEA).
Kemudian mereka dikirim ke Jawa untuk ikut pendidikan kepemerintahan negara
Indonesia kemudian mereka bertugas di Irian Jaya/Papua sampai mereka pensiun
sebagai Pembantu Gubernur Wilayah I dan Wilayah II, Walikota Jayapura dan
Bupati.
Salah
satu buku terbaru berjudul Ironi Papua yang ditulis oleh Alex Rumaseb, salah
seorang pamongpraja Papua yang mengawali kariernya sebagai Camat atau Kepala
Distrik Kurima, Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya sekitar 1970 an setelah
menyelesaikan kuliah di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri(APDN) di Kampung
Yoka, Kota Jayapura.
Buku
ini mungkin bisa disebut sebagai kesaksian seorang Pamongpraja Papua yang mulai
bekerja di era Orde Baru hingga pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Ketua
Bappeda Provinsi Papua. Alex Rumaseb termasuk pamongpraja adik kelas alumni
APDN Irian Jaya dari pamongpraja Papua lainnya seperti Michael Manufandu,
mantan Dubes Kolombia, mendiang JRG Djopari, mantan Dubes PNG dan Eduard
Fonataba mantan Bupati Sarmi.
Buku
berjudul Ironi Papua ini oleh penulisnya mengangkat tiga soal yang
menjadi kendala dalam pembangunan di Papua. Pertama kita sedang bekerja dengan
data-data yang tidak akurat, sehingga keputusan dan kebijakan yang diambil bagi
Papua juga tidak akurat karena menggunakan data yang tidak akurat tadi. Data
yang tak akurat menyangkut data penduduk yang berbeda antara instansi, misalnya
BPS, KPU, Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja, Dinas Kesehatan juga Biro
Pemerintahan dan Pemerintahan Desa.
Kedua
dalam mencari solusi bagi hambatan pembangunan di Papua semua orang yang
memberikan masukan benar dan bagus, tapi benar dan bagus itu tidak bisa
dipersatukan menjadi satu kekuatan, malah dalam koordinasi masing-masing
mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri. “Atau lazim disebut ego sektoral
masih kuat,”tutur Alex Rumaseb yang pernah menjadi Sekda Kabupaten Paniai.
Bahkan yang benar bagus itu sering bertentangan antara satu dengan lainnya.
Ketiga, yang disebut kapasitas versus mutasi. PNS yang berkompeten dan mampu
sering tidak ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan kemampuannya (the right
man on the right place/job), karena mutasi itu ada pada pimpinan
politik,sehingga keputusan mutasi sarat dengan muatan politik.
Dalam
bab pertama penulis mengangkat tema tentang UU Otsus yang buram alias KJ kurang
jelas. Menurutnya tidak pernah ada kejelasan tentang grand design Otsus Papua.
Kebijakan yang muncul setelah Otsus justru membuat jalan pencapaian Otsus
semakin jauh. Selanjutnya Pemerintah di Jakarta membentuk Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang diklaim sebagai upaya pendekatan
kesejahteraan bagi penyelesaian persoalan Papua. Jika benar demikian, mengapa
Kepala UP4B seorang jenderal? Bahkan Rumaseb heran karena setiap ada persoalan
di Papua, mengapa pemerintah mengapa Menkopolkam, Kapolri, Badan Intelejen
Negara(BIN) yang dikirm ke Papua? Mengapa bukan Menkokesra, Mendikbud atau
Menkes?
Persoalan
ini bagi Rumaseb jelas menandakan ketidakseirusan pemerintah dalam menciptakan
kesejahteraan “Kesesatan pikir ini muncul di semua elemen di tingkat
pemerintahan. Belum ada upaya serius menciptakan kesejahteraan di Papua.
Bahkan
kewenangan yang mengatur tentang Papua justru menimbulkan masalah baru terkait
perebutan kewenangan.”Saling lempar tanggungjawab,”tulis Rumaseb. Pembentukan
Peraturan Pemerintah(PP) sebagai tindak lanjut UU Otsus sangat lambat. Selain
itu, Perdasus dan perdasi penting juga gagal dibuat. Jakarta menunjuk Papua
karena tak becus memanfaatkan kelimpahan kewenangan, Papua balik menunjukan
Jakarta karena tak serius menerbitkan aturan pelaksanaan.
Di
Jakarta tidak bisa ditemukan pemerintah pusat. Ketika masalah Papua muncul,
tidak jelas pembagian kewenangan antara UP4B,Kemendagri, Desk Papua di
Menkopolhukam, staf Khusus Felix wanggai atau utusan khsus Farid Husain.
Lebih
parah lagi seluruh lembaga ini tidak saling sapa dan duduk bersama
mendiskusikan persoalan di Papua.”Ujung-ujungnya aparat keamanan juga yang
dikirim ke Papua.” Bukan hanya itu saja yang ditulis Rumaseb tetapi kata “orang
asli Papua” akan selalu menimbulkan persoalan. Padahal tindakan afirmative ras
melanesi justru bertentangan dengan semangat kewarganegaraan yang seharusnya
menjadi dasar pembentukan negara modern.
Kesaksian
dari seorang Pamongpraja Papua ini jelas mengungkapkan kalau selama 10 tahun
Otsus Papua berjalan tak memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan
yang signifikan. Indeks pembangunan Manusia(IPM) tetap berada pada peringkat
bawah.
Temuan
Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) tentang penyelenggaraan dana Otsus sebesar Rp 380
milyard tidak pernah diusut tuntas. Ironinya dana Otsus tetap saja disalurkan.
Di tingkat pemerintah pusat tidak ada keseriusan menelisik dana Otsus.
Salah
satu kritikan Rumaseb terhadap Otsus yang dinikmati oleh pejabat dan bukan
rakyat sehingga ada sebuah sindiran terhadap pejabat orang Papua dengan
singkatan “6B” yang artinya bos, bar, bir, bon dan bui. Artinya menuntut
jabatan untuk jadi bos, hanya demi uang, setelah punya uang masuk bar, cari
minuman bir untuk mabuk cari perempuan untuk kencan bor, uang habis tinggalkan
utang bon dan terakhir masuk penjara, bui.(Jubi/Dominggus A Mampioper)
Sumber
: http://tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar