Peta Negara Indonesia |
Oleh : Ernest
Pugiye
Realitas
kegagalan misi di Indonesia itu semakin marak terjadi secara gencar.
Esensi misi
masih semakin tidak dihayati oleh setiap orang. Setiap orang hanya lebih memilih
hal-hal profan dan sekularistik daripada menghayati misi Sang Pengada sesuai
konteksnya dalam hidup bersama sebagai umat Sang Pengada. Sehingga setiap
umat-Nya ini terus-menerus mengalami kehilangan tujuan hidup secara sejati.
Hal ini
justru melahirkan pemandegkan harapan
dan penghayatan iman mereka akan adanya Pengada secara radikal dalam dunia
praksis. Pertanyaannya adalah kenapa setiap umat Sang Pengada ini mau mengalami
kehilangan harapan dan iman untuk hidup sebagai umat-Nya?
Fundamentalisme
Dalam
proyek misi di Indonesia, setiap kita menjalankan utusan-Nya sesuai dengan
teologi fundamental dari Barat. Dalam arti sederhana, kita lebih memilih,
berpegang teguh dan tetap menggunakan teologi klasik, yang pernah digagas
secara mendalam, sistematis dan bertalian oleh para teologi Barat pada beberapa
abat yang lalu.
Konsep
mereka tentang seluruh realitas, Allah Tritunggal itulah yang dijalankan tanpa
kerangka acuan lokal oleh kita dalam setiap dimensi kehidupan sekarang dan di
sini. Nampak jelas, kita dengan teologi fundamentalnya mengabaikan teologi
kontemporer (teologi sekarang dan di sini).
Umat
beriman dengan berbagai pengalaman harian sesuai dengan budaya dan dunia
setempat kini masih tidak pernah diperhintungkan lagi sebagai kekuatan rahmat
dalam proyek misi-Nya.
Hal yang
tidak pernah dibantahkan bahwa sejarah, kebudayaan, bahasa dan pengalaman
harian setempat itu masih dapat dianggap sebagai penghalang, kuno dan tidak
memberi nuansa hidup sebagai umat Allah di tengah dunia.
Hal ini
melahirkan pemandangan yang buruk bagi umat-Nya secara mendalam. Salah satu
sisi mereka tentunya memiliki Allah dari budaya dan tempatnya sendiri.
Keberadaan-Nya itu dihayati oleh mereka dalam hidup doa dan kerja. Ini memang
merupakan realitas yang berada sejauh mereka berada sebagai berada secara
sejati.
Dan di
sini lain, Allah dan Kerajaan-Nya itu telah datang dari langit, dari dunia luar
sana bagi mereka. Ada kesadaran bersama bahwa Allah dan misi-Nya itu dibawa
datang oleh para teolog dan misiolog Barat. Ini berita gila-gilaan dalam hidup
meng-Gerejani.
Sampai
kini, mereka masih mencari Allah langit, yang berada di singgasana, atau di
Barat (Allah trasenden) yang diwartakan Gereja sendiri. Malahan mereka
seringkali melupakan diri dan keluarganya hanya demi mencari arti dan makna
teologi klasik tersebut.
Wajah
misi yang sedemikian ini mengakibatkan kehilangan KEHIDUPAN bagi Gereja-Nya
di Indonesia. Hilangnya Kehidupan itu dapat ditemukan secara konkret dalam
sebuah komunitas sebagai umat Allah. Karena letak kegagalannya berakar dalam
sebuah komonitas. Ketika misi-Nya diwartakan, maka umat Tuhan yang notabenenya
adalah wujud komunitas Allah secara konkret itu semakin nampak hancur secara
berkeping-keping.
Kita
lihat saja komunitas Gereja di Papua ini. Kekerasan dan konflik terus terjadi.
Eksploitasi hutan, ketidakadilan pembangunan, kemiskinan, pelayanan Gereja yang
tidak kontekstual, korup, kolusi dan nepotisme yang semakin meraja rela dan
pelanggaran hak hidup dan hak milik yang burujung pada kematian secara konyol.
Selain
itu, umat Tuhan di Gereja Papua juga semakin kosong dan absen dalam hidup
menggereja dari hari ke hari. Realitas keburukan dan keterpecahan hidup seperti
ini menjadi gamabaran umum bagi wajah Gereja di Indonesia.
Jadi,
kita tidak heran hanya apabila umat Tuhan kehilangan iman dan harapan untuk
hidup sebagai komunitas Allah di tengah dunia.
Sekularisme
Selain
fundamentalis teologi, sekularisme juga merupakan akar dari kegagalan misi di
Indonesia. Setiap umat Allah baik para pemimpin Gereja, pemerintah maumpun para
pemimpin Adat dan umatnya hanya selalu berorientasi untuk mencari sandang,
pangan dan papan. Oleh karena sekularisme, maka tempat-tempat sakral kini masih
dieksploitasi dengan inventasi, proyek dan infrastruktur dan perusahaan illegal
dan berbagai program ex lainnya.
Misalnya
MIFEE di Merauke, Kelapa Sawit Di Wami dan Arso, Perusahaan PT. Freeport yang
merusak hutan dan manusia asli Papua karena didukung oleh para pemimpin Gereja
bersama para colonialnya. Nampaknya, Gereja dengan kekuatan teologi klasinya
semakin menghancurkan berbagai nilai kehidupan dan kearifan lokal (local
genius), yang dihayati oleh setiap Gereja setempat sebagai nilai sakral.
Hal ini
justru melahirkan ketergantungan kepada para pemimpin Gereja dan pemerintah,
tetapi juga membunuh martabat manusia sebagai makhluk beriman dan kerja. Bahkan
Gereja sendiri pun tetap terus kehilangan cita dan masa depan yang cerah.
Akibatnya,
relasi harmonis antara umat beragama itu semakin menjadi merosot. Setiap umat
Allah seringkali menganggap sesama sebagai ancaman bagi dirinya sendiri.
Tegasnya, esensi hubungan (relasi kasih) antara sesama, dengan
lingkungan setempat dan dengan Allah menjadi putus secara total.
Mereka tidak pernah lagi menganggap diri, sesama dan realitas dunianya sebagai
sedarah dan saudara. Semua realitasnya itu saling membunuh dan dibunuh secara
terus-menerus. Tapi anehnya, semua kesalahan itu terus dialamatkan kepada
Allah.
Saya
pikir, Gereja harus bermisi dari realitas dunia setempat. Segala kekayaan ilmu
pengetahun, teologi dan nilai filsafat serta pengalaman mereka dari setiap
budaya dan lingkungan setempat mesti diperhitungkan dalam mewartakan misi
Allah. Karena Allah itu pribadi yang universal, yang mengungkapkan diri-Nya
dalam segala realitas dunia setempat. "Allah berada di sini".
Dan Allah
yang sedemikian itulah yang mengutus kita dalam diri putra-Nya untuk mewartakan
kabar gembira dan cinta kasih kepada semua bangsa di Indonesia.
Bahkan, Ia dalam diri Kristus telah dan sedang
mengutus kita untuk menjadi alat-Nya bagi dunia ini. Ini penting demi
keselamatan semua orang dan kemuliaan Allah di sana dan sini.
Ernest
Pugiye Adalah Mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura-Papua
Sumber : www.majalahselangkah.com