Demonstrasi mahasiswa Papua di UGM
menuntut penentuan nasib sendiri bagi
bangsa Papua. Foto: BT.
|
Fani
membangunkanku. Sepertinya aku terlambat ke sekolah. Dengan segera aku
bersiap kemballi berangkat ke sekolah. Setelah sarapan, bergegas aku ke
jalan besar. Istriku hanya tersenyum kecil mengantarku pergi ke sekolah
sampai di pintu rumah dengan senyuman.
Di jalan besar, kendaraan ramai. Aku tidak berjalan kaki seperti biasa. Aku berhenti di sisi kanan jalan, menunggu taksi. Sebentar kemudian, datang taksi kuning dari arah Wonorejo, daerah yang kini populer hanya karena menjadi penghasil jeruk yang manisnya telah terkenal bahkan sampai ke ibukota, Jayapura. Aku naiki taksi itu.
"Philip.... Heii.. ko kenal saya ka tidak?" tanya sopir itu.
Saya bingung. Saya tidak mengenal dia.
"Philip, ini Ignatius ini, ko pu teman angkatan dulu baru."
"Oh iya... Ah, bagimana kabar, Ignas... ko bawa taksi kha? Sory kawan sa tidak kenal ko tadi. Habis ko pu rambut dan jenggot juga panjang jadi," kataku padanya.
Tidak
kusangka, aku bertemu seorang teman angkatan ketika bersekolah di Adhi
Luhur. Kami sekelas. Saya tahu, dia adalah anak paling kaco di kelas kami. Selalu mengganggu kami, terutama yang perempuan. Tetapi ia tetap adalah temanku sekelas. 7 tahun tak bertemu, saya menemukannya secara kebetulan di atas taksi.
"Kawan, ini taksi ko punya ka?" tanyaku.
"Bukan nogei.. itu kaka lakilaki punya. Saya bawa dia pu mobil cari uang saja, habis tinggal di rumah juga tidak ada pekerjaan jadi."
"Oo... baru kawan lalu itu tidak kuliah? Saya dengar kawan kuliah di Universitas Negeri Papua baro."
"Iya, betul. Saya sempat kuliah di Unipa. Tapi Cuma sampai di semester 7. Saya keluar. Akh, nogei, ceritanya panjangkalo sa cerita sekarang. Nanti kalau ada waktu baru sa cerita nogei."
Saya hanya mengangguk, memberinya secarik kertas berisi alamat rumahku. Kemudian saya beritahu dia bahwa sayasaat ini mengajar di SMAP YPPK Adhi Luhur sebagai tenaga guru honorer untuk pelajaran bahasa Inggris.
Ia
hanya mengangguk mengiyakan. Sampai di depan Adhi Luhur, ia
menghentikan taksi. Aku memberinya uang sepuluh ribu. Ignas hanya
tersenyum padaku. Ia tidak menerima tawaranku.
"Kawan.. jang ko bayar sudah. Bikin malu saja." Ia kemudian tertawa.
Ia
kembali menancap gas. Taksi melaju. Ia kembali melambaikan tangannya
dari kejauhan. Saya hanya melihat taksinya itu menghilang di balik
keramaian pagi kota kecil di bibir pantai teluk Cenderawasih ini.
Aku
memasuki sekolah. Setelah mengisi daftar hadir guru di meja piket, aku
bergegas ke kantor. Hery kelihatan di kantor sendirian, sedang asyik
membaca sesuatu. Aku menghampirinya.
Ia meletakkan koran yang ia baca dan menarik nafas panjang, dan tanpa kata, ia menyodori aku koran itu. Saya membacanya. Ada berita yang menarik. Mereka mengeposkan sebuah berita berjudul; Otsus Gagal, UP4B Bukan Solusi: Segera Gelar Refrendum.
Penulisnya
berusaha mengungkapkan realita akan bobroknya sistem pelaksanaan Otsus
di Papua. Ia berusaha mengungkapkan sisi-sisi negatif yang muncul akibat
kurang seriusnya pemerintah pusat dan daerah melaksanakan Otsus.
Di
antaranya, ia menyebut budaya kerja, atau etos kerja rakyat Papua
menurun. Kemudian masyarakat jadi tergantung kepada pemerintah, dengan
banyaknya uang Otsus yang diberi kepada mereka dalam bentuk uang.
Sementara di satu sisi, penulis itu juga menjelaskan bagaimana orang
Papua hanya menjadi perantara uang Otsus. Ia menggambarkan dinamika
jalannya Otsus, yakni pertama dari pemerintah pusat. Setelah menalami
penyusutan sedikit, sampai ke masyarakat. Namun, karena kurangnya
pengetahuan masyarakat, bagaimana layaknya uang sebesar yang mereka
terima itu digunakan, maka sebentar kemudian, uang tersebut mereka bawa
ke kios.
Di
kios kios milik pendatang itulah, mereka membelanjakan seluruh
kebutuhan dan keinginan mereka. Artinya, secara tidak langsung, orang
Papua menjadi perantara uang Otsus dari pemerintah kepada pendatang di
Papua, yakni para pedagang. Kreativitas untuk melipatgandakan uang yang
kita punyai hari ini, agar berlipatganda di hari mendatang tidak ada.
Penulis
itu menjelaskan, di satu sisi, pemerintahan daerah di zaman Otsus
menjadi muka uang. Semua mengenal kata korupsi dalam pemerintahan
mereka. "Mereka berkuasa pada zaman ini, tidak semata-mata untuk
membangun rakyatnya, tetapi untuk memeperkaya diri," tulisnya antara
lain dalam tulisannya itu.
Katanya
lagi, UP4B bukan sebuah solusi yang pas. selesaikan dulu dan tuntuaskan
dulu jalannya Otsus, baru berpikir tentang UP4B. Jangan kita
diombang-ambingkan dalam berbagai kebijakan yang membingungkan itu,
tegasnya.
Mataku cepat-cepat ke akhir tulisan, mencari nama penulisnya. Socratez , "Ooo,
pendeta itu lagi," pikirku dalam hati. Ia direktur Persekutuan
Gereja-Gereja Babtis di tanah Papua, penulis buku, dan seorang pembela
hak-hak asasi orang Papua. Saya kenal dia melalui tulisan-tulisannya dan
buku bukunya. Bertatap muka? Hm, belum pernah.
Longceng
berbunyi. Aku segera menyiapkan buku untuk masuk ke kelas XII IPS. Aku
mengajar 2 jam. Setelah lonceng pergantian jam, aku mendapat jam
mengajar di kelas X. Setelah itu istirahat.
Di
waktu istirahat, aku membeli gorengan dengan uang seribu di kantin
sekolah. Kulihat Hengky, seorang anak Oksibil sedang duduk sendirian di
koridor sekolah.
"Hengki, ko kemari dulu."
"Kenapa pak guru?"
"Akh, tarada.. ko pigi beli gorengan sudah, baru bawa datang kesini. Kita akan makan bersama."
"Iyo pak guru."
Ia berlari keci menuju kantin. Sesaat kemudian, ia kembali dengan gorengan di tangannya.
"Hengki, kenapa gorengannya banyak. Ko mencuri ka?" Memang yang dibawa di dalam plastik oleh Hengky banyak.Padahal, hanya Rp1.000 yang kuberi.
"Ah, tarada pak guru. Tadi tu ada teman lihat sa pu gorengan cuma pake seribu itu yang, da kasi tambahan uang dua ribu untuk beli gorengan lagi."
"Pak guru. Saya mau minta maaf sebelumnya. Saya ingin tanya sama pak guru tentang Pepera 1969 itu pak guru," kata Hengki.
"Kenapa jadi?"
"Akh, pak guru. Di Oksibil sana, di saya pu kampung itu, dulu, bapa saya yang su meninggal sekarang ini biasa bilang, kalau ia dengan ayahnya sempat disiksa tentara Nasional Indonesia. Mereka tuduh saya pu Bapa dengan orang-orang di situ sebagai separatis, karena mereka ada simpan bendera Bintang Kejora. Padahal, saya pu bapa bilang waktu itu, justru bendera Bintang Kejora itulah bendera saya."
Saya hanya mengangguk-angguk.
"Trus, saya juga mau tanya, mengapa harus ada Bintang Kejora? Mengapa orang Papua biasa demo untuk Papua merdeka? Mengapa TNI dulu begitu kejam sekali?" tanyanya padaku.
Saya memahami
kegundahan hatinya. Bukan hanya dia, banyak orang Papua juga sering
melontarkan pertanyaan serupa. Ini mungkin akibat kurang pemahaman akan
sejarah. Yah, bagaimana mau memahami sejarah sendiri bila yang diajari
sejah Sekolah Dasar adalah sejarah Jawa, Candi dan kerajaan, yang sama
sekali jauh bahkan di imaji anak Papua? Mungkin ini yang disebut usaha
Meng-indonesia-kan orang Papua, seperti disebutkan beberapa penulis asal
tanah Papua dalam tulisan mereka.
Dulu, sebelum
Reformasi bergulir, pendidikan di Papua dipakai Indonesia sebagai sarana
Meng-indonesia-kan orang Papua. Anak Papua dididik untuk menjadi Papua
(dan ini semakin menguatkan pendapat banyak orang, bahwa sebenarnya
Papua bukan bagian dari Indonesia, sehingga perlu ada upaya
meng-indonesia-kan orang Papua dari RI).
Dalam buku
pendidikan sejarah, dari SD hingga SMA, yang ada hanya pelaksanaan
PEPERA tahun 1969, dan kegembiraan orang Papua bergabung dengan
Indonesia. Tentang bagaimana Frans Kaisepo, Marten Indey berusaha agar
Papua menjadi bagian RI, dan diberi gelar Pahlawan Nasional RI.
Jangan tanya
lagi, lagu kebangsaan RI, Indonesia Raya sudah sejak SD diajari. Aku
ingat kata seorang anak didikku di kelas X. Ia berkisah, untuk pelajaran
Kesenian pada ujian, ia dan teman-temannya diminta menyanyikan sebuah
lagu pilihan bertema semangat kebangsaan Indonesia, dengan lagu wajib,
Indonesia Raya, lagu kebangsaan Indonesia. UUD 1945, Pancasila, arti
warna Merah dan Putih untuk bendera negara, semua kami pelajari, katanya
berkisah, diiyakan teman-temannya sekelas. Aku hanya diam ketika itu,
tak mampu berkata-kata.
Mengenai
Mengapa harus lagi berbau Nasionalisme Indonesia, mengapa Indonesia Raya
menajdi lagu wajib, ini jadi renungan tersendiri bagiku.
Saya memahami
mereka, anak didikku. Mereka, oleh system pendidikan seperti itu, dibuat
buta akan sejarah bangsa Papuanya sendiri. Aku kemudian bertanya, Siapa
yang menemukan pulau Papua, dan tidak ada seorang pun yang menjawab.
Juga ketika kutanya, Pernakah terengar oleh kamu, bahwa Papua pernah
mendeklarasikan diri membentuk negara sendiri seperti bangsa Indonesia
yang merdeka, mereka tampak ragu-ragu menyahut. Juga ketika kutanya,
apakah mereka mengenal tokoh-tokoh Papua, missal; Zeth Rumkorem, Eliaser
Bonay, Feri Fermenas Awom, Dr. Thomas Wanggai, Dortheys Hiyo Eluay,
mereka tidak tahu siapa mereka. Ini terbalik bila kutanya, Siapa Ir.
Soekarno? Atau, siapa Drs. Moh. Hatta? Atau Sayuti Melik, yang katanya
sejarah, adalah orang yang mengetik naskah proklamasi RI.
Sayang. Ketika itu lonceng masuk berbunyi.
"Hengki, saya akan kasih tahu gambarannya nanti. Ko juga bisa tanya sama guru Sejarah to. Tapi trapapa. Sekarang ko pigi masuk kelas sana sudah,"
Aku pun segera mempersiapkan diri untuk megajar di kelas berikutnya. Saya berencana untuk mengobrol lagi dengan Hengki, muridku dari Oksibil itu. Tetapi di istirahat kedua, kami guru-guru sibuk. Kami menerima gaji. Rp600.000 per bulan. Akh, semua pantas disyukuri, bukan?
Akhirnya, sampai pulang, beberapa pertanyaan Hengki itu belum sempat aku jawab. Pulang sekolah, Hengki menantiku di depan sekolah.
Pak guru, kita pulang sama-sama sudah. Rumahnya di Kodim. Berarti kami sejalur. Inilah kesempatannya aku menjawab rentetan pertanyaannya. Aku
menuruti saja kemauannya. Sambil jalan, mulailah kujelaskan apa yang
aku ketahui tentang pertanyaannya itu padaku tadi pagi ketika istirahat pertama.
Topilus B. Tebai, mahasiswa Papua, kuliah di Yogyakarta.
Sumber : www.majalahselangkah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar