Illustrasi Kemerdekaan Indonesia
dan Negara West Papua
|
Ini nyata,
tapi aneh. Orang Papua, sejak Papua dianeksasi RI, memperingati dua dari
berbeda sebagai hari kemerdekaan. Pertama, setiap tanggal 1 Desember, orang
Papua memperingati hari kemerdekaan bangsa Papua Barat. Kedua, orang Papua juga
memperingati 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan Indonesia.
1 Desember 1961
1 Desember
biasa diperingati oleh rakyat Papua sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua.
Tahun 1961, pada tanggal yang sama, di depan gedung New Guinea Raad (NGR), Sang Bintang Kejora berkibar, didampingi
bendera Belanda. Kemudian, lagu kebangsaan bangsa Papua, Hai Tanahku Papua,
dinyanyikan, mengiringi kibaran Sang Bintang Kejora.
Saat itu,
proklamasi kemerdekaan Papua tidak dibacakan, dengan maksud, saat Papua
diserahkan kekuasaannya penuh oleh Belanda-lah,
proklamasi kemerdekaan akan dibacakan. Sayang, tepat 18 hari setelah
kehadiran Negara Papua, di Alun-Alun Utara Yogyakarta, Ir. Soekarno, presiden
RI, membacakan Tiga Komando Rakyat, yang isinya: Gagalkan pembentukan negara
boneka Papua buatan Belanda kolonial; Kibarkan sang Merah Putih di seluruh
daratan Irian Barat; Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan
kedaulatan dan keutuhan wilayah RI.
Kemerdekaan
Papua yang lahir dari hasil perjuangan rakyat Papua, dianggap negara boneka
bikinan Belanda. Ini awal pelecehan derajat bangsa Papua oleh bangsa Indonesia.
Kemudian, oleh
RI, mulailah dilancarkan serangan-serangan militer. 15 Agustus, perjanjian New York Agreement dibikin. Tidak ada
delegasi Papua, sang pemilik masalah, dalam perundingan itu. Hasilnya,
Indonesia ditunjuk sebagai pihak yang mempersiapkan sebuah penentuan nasib
bangsa Papua, yang kita kenal saat ini, Penentuan Pendapat rakyat (Pepera).
Pepera untuk orang Papua dibuat tahun 1969. Yang penting dicatat, RI melanggar
kesepakatan, one man one vote; satu
orang satu suara, menjadi musyawarah, dimana dari kurang lebih 800.000 jiwa
orang Papua saat itu, hanya diwakili 1.025 orang.
Belakangan,
pelaku Pepera bersaksi, mereka diintimidasi, diteror, diancam akan dibunuh,
bila tidak memilih untuk bergabung dengan RI. Dengan paksaan, para pemilih
Pepera menyatakan ingin bergabung dengan RI. Akhirnya, sampai saat ini, RI
masih menjadi ayah tiri bangsa Papua.
17 Agustus 1945
Indonesia.
Sejak masa kebangkitan nasionalisme Indonesia (dimluai dengan didirikannya Boedi
Utomo, 1908), tak ada satu orang pun dari bangsa Papua yang ikut
berpartisipasi, berjuang bersama Ir. Soekarno, atau Moh. Hatta, untuk
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ketika para kaum muda, intelektual, mahasiswa dan
tokoh perjuangan kemerdekaan republik Indonesia menyatukan pandangan dalam
Kongres Pemuda Indonesia, baik yang pertama dan yang ke dua, tidak ada satu pun
perwakilan dari Papua yang menyatakan sikap, bahwa bangsa Papua ikut berjuang
bersama Indonesia, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
18 Agustus,
dalam sidang panitia persiapan kemerdekaan Indonesia, batas-batas wilayah teritorial RI dipatok.
Pulau Papua tidak masuk, tidak dimasukkan oleh satu pun peserta dalam sidang
itu, sebagai bagian dari teritori syah dari negara yang namanya Indonesia.
Teritori wilayah RI saat itu hanya dari Sabang sampai Ambon.
Lantas,
bagaimana dengan bangsa Papua saat itu?
Sejarah
mencatat beberapa gerakan Cargo di tanah Papua, yang berpusat di Biak, dan
daerah-daerah sekitarnya, yang inti gerakannya adalah menentang penjajahan
Belanda atas tanah Papua. Gerakan-gerakan ini ada sebelum Indonesia merdeka sebelum
1945- dan masih terus ada setelah RI lahir. Dalam perkembangannya, muncul beberapa partai partai politik Papua
Barat, dengan tujuan jelas; mencapai Papua Merdeka!
1 Desember dan 17 Agustus di Papua
Ketika saya
SD, yang saya tahu, 17 Agustus, saya mesti ikut upacara bendera Indonesia, bila
tidak ingin dapat pukul di sekolah. Diwajibkan! Saya ingat jelas, ketakutan yang
terlihat di wajah ibu-ibu di Bomopa saat 17-an. Tentara dengan senjata lengkap
ada di mana-mana, mama-mama takut dan tidak ke kebun, Bomopa mirip kota mati
saat 17-an, kecuali upacara yang berlangsung di depan rumah pak kepala Distrik,
di bawah arahan militer RI. Satu yang pasti: orang Papua tidak menjiwai 17
Agustus sebagai hari kemerdekaannya.
Ini juga
yang saya lihat saat SMP di Dogiyai. Bahkan rakyat Dogiyai saat 17-an, malah
duduk kumpul dan bicara Papua Merdeka. Saya ingat bagaimana saat 17-an, seorang
guru SMP menaikkan bendera Bintang Kejora. Polisi tangkap dia. Saya dengar,
mereka strum, siksa dia. Saya tidak tahu kelanjutannya.
Saya juga ingat
seorang anak SD menggambar bendera Bintang Kejora di dinding SD YPPK Moane,
sampai kisah ini mengingatkan saya saat
teman-teman SMP yang tidak ikut upacara, naik ke gunung Tetode, dan
putar radio keras-keras. Mereka tidak menjiwai dan sebenarnya tidak menerima,
walau itu secara terselubung, bahwa 17 Agustus merupakan hari kemerdekaannya.
Dari upacara
17-an setiap tahun di tempat saya tinggal, yang ikut upacara hanya para pejabat
pemerintahan Indonesia, anak sekolah, sebagian (biasanya juga karena paksaan
dari pihak sekolah untuk ikut upacara 17-an), lebihnya, para penerima hadiah atas
perlombaan yang diadakan, dan tentu saja, TNI dan Polri di tempat itu.
Yang menarik
lagi, setiap 17-an, jarang bendera Merah
Putih yang berkibar di depan rumah milik orang Papua. Sangat jarang. Ada apa
sebenarnya?
Bagaimana
dengan 1 Desember setiap tahun di Papua? Saya kira semua orang tahu. Rakyat
Papua, dari kecil hingga besar, tua, muda, ketika itu, saya lihat sendiri
kumpul di taman makam pahlawan, Taman Gizi Nabire, akhir tahun 2010. Ada apa
di sana? Bukan lain, di sana, ada perayaan hari kemerdekaan bangsa Papua; 1
Desember.
Yang luar
biasa, banyak anak anak sekolah ada di sana. 1 Desember itu sudah masuk pada
ujian akhir semester ganjil untuk para pelajar (SD-SMA). Saya ingat, bagaimana
beberapa teman saya rela meninggalkan ujiannya hanya untuk ikut acara peringatan
kemerdekaan Bangsa Papua. Saya pikir, mereka benar menjiwai, merasa memiliki,
dan dalam skala prioritas mereka, ikut HUT negara Papua lebih penting dari ikut
ujian akhir semester di sekolah. Sebuah realita yang tidak saya dapati dibuat
oleh anak Papua untuk ikut 17-an.
Aparat
keamanan, TNI, Polri, Brimob, biasa jadi teman setia perayaan 1 Desember.
Banyak demonstrasi terjadi, dan tak sedikit pula nyawa manusia Papua melayang,
hanya demi perayaan itu.
Pertanyaannya,
seberapa berhargakah perayaan 1 Desember itu bagi orang Papua, sehingga
hampir semua yang mereka punyai, bahkan nyawa mereka sekalipun, mereka korbankan?
Mengapa antusias rakyat Papua seperti ini tidak ada ketika 17-an? Saya kira, hanya
sejarah bangsa Papua yang mampu menjawab.
Topilus B. Tebai, mahasiswa Papua, kuliah di Yogyakarta.