Pages

Pages

Sabtu, 20 Juli 2013

Peran Gereja dan Kekerasan Negara: Refleksi Atas Penembakan Arlince Tabuni di Lanny Jaya


Pares L Wenda, Sekertaris Baptis of Voices
 (Foto: doc pribadi)
Oleh: Pares L.Wenda*

Kekerasan Negara berbanding terbalik dengan misi perdamaian, cinta kasih dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dikampanyekan gereja baptis di Lanny Jaya, Papua.
Tanggal 28 Oktober 1956 adalah hari dan tahun pertama ABMS (Association Baptist Mission Society) di bawah pimpinan Norm Draper, Ian Gruber dan Melzer dan beberapa orang Pribumi Indonesia terutama dari Kalimantan menginjakan kaki di Tiom melalaui jalan darat setelah mereka mendarat dengan pesawat di Danau Ano’gom Yenggenak di Bokondini sekarang masuk kabupaten Mamberamo Tengah.

Danau ini dalam berbagai tulisan expenditor maupun tulisan tentang misi pelayanan gereja (terutama gereja-gereja tua seperti Kingmi, Katolik, GKI di Tanah Papua dan Baptis yang melakukan explorasi pertama di wilayah pegunungan Papua) lebih dikenal dengan sebutan “Archbold  lake=Danau Archbold) diambil dari nama seorang expenditor Ricard Archbold.
Sejak itu daerah Beam-Kwiyawagi khususnya wilayah Lanny Jaya menjadi wilayah Pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua hingga saat ini. Hanya ada satu gereja GKI di Kota Tiom. Tidak ada denominasi dan agama lain di wilayah ini.

Meskipun daerah ini juga ada orang Muslim pendatang yang berdagang dan PNS/anggota TNI/POLRI tetapi jumlah mereka sangat terbatas. Sejak gereja, hadir, gereja tidak pernah melakukan kekerasan terhadap umat Tuhan di wilayah ini, apalagi memprofokasi orang untuk berperang, hal itu tidak pernah. Tetapi peristiwa bersejarah dimana gereja Baptis mencatat sebagai sejarah perjalanan 50 tahun gereja Baptis Papua di wilayah ini, orang mati karena mempertahankan Injil Yesus Kristus di Magi (sekarang Distrik Makki) pada tahun 1966 dan di Kampung Guneri tempat di mana Nona Arlince Tabuni (12) ditembak mati oleh aparat TNI yang diduga dilakukan Kopasus.

Gereja Guneri disitulah tempat dimana ayah Arlince Tabuni melayani sebagai Gembala Sidang hingga sekarang. Cahaya Injil membuat orang Papua di wilayah ini ditobatkan, lantaran jauh sebelum Injil itu nenek moyang mereka sudah menubuatkan bahwa suatu saat orang kulit putih akan datang membawah kabar “NABELAN KABELAN=kabar hidup kekal” dan menurut nubuatan itulah mereka menerima Injil sebagai pembaharu hidup mereka yang sebelumnya mereka tinggal dalam suasana kelam (tidak ada harapan akan masa depan).

Setelah misi Baptis melalui ABMS sudah mulai membuka akses dan isolasi wilayah ini, kemudian Belanda membuka Pos Pelayanan Pemerintah pada awal tahun 1960-an di Tiom. Dalam Pelayanan Pos Pemerintah Belanda ini tidak pernah ada kekersan Negara terutama dari aparat pemerintahan Belanda yang bertugas waktu itu. Pemerintah Belanda atas nama keutuhan wilayah colonial Belanda tidak pernah membunuh atau melakukan kekerasan lainnya kepada penduduk setempat.

Kekerasan Negara baru terlihat pada era Pemerintah Indonesia di Lanny Jaya. Setelah Belanda pergi, otomatis pemerintah Indonesia masuk. Masyarakat Papua di Balim tidak menerima hasil Pepera 1969.

Mereka mulai melakukan perlawanan bersenjata dengan aparat pemerintah Indonesia. Perang atau konfrontasi terbuka antara aparat pemerintah Indonesia (TNI/POLRI) dan masyarakat Papua di Pegunungan Tengah pecah. Puncaknya terjadi pada tahun 1977 dan 1978. Di Lanny Jaya menjadi pusat pelarian masyarakat Papua di lembah Baliem dan sekitarnya.

Masyarakat Lanny Jaya pada waktu itu juga melakukan perlawanan melawan aparat Pemerintah Indonesia. Banyak orang Papua di wilayah ini yang terbunuh. Kisah tragis yang masih diceritakan oleh orang Lanny Jaya adalah peristiwa di mana orang Lanny Jaya dibariskan di satu deretan panjang sekitar 5 sampai 10 orang lalu menancapkan besi panas di dada mereka menembus setiap orang dan mematikan mereka.

Dilapangan Bola Volly dibelakang Kantor Mendikbut Lama, di hadapan rumah Kios Bapak Solihin (asal Makasar). Jenaza mereka dikubur secara masal di samping kediaman kepala distrik lama tidak jauh dari tempat dimana mereka dieksekusi.

Inilah cerita yang selalu diangkat kepada kami, anak-anak Lani ketika melewati daerah itu oleh orang-orang tua. Sayang saat ini Bupati Lanny Jaya sedang menimbun daerah itu. Dan hilang sudah tanda sejarah kelam kekerasan Negara di wilayah Lanny Jaya. Peristiwa yang sama banyak terjadi di beberapa kampung di Lanny Jaya bahkan di wilayah pegunungan tengah Papua pada tahun 1977.

Salah satu yang diceritakan orang tua penulis adalah pembunuhan terhadap dua keluarga kami oleh aparat Indonesia di Kwiyawage yaitu paman Yaliwakom Wenda dan saudara perempuannya Yaliwakwe Wenda. Mereka mengunjungi keluarga di Tiom sebelum pecah perang pada tahun 1977, setelah masa kunjungan habis dan Susana perang sudah mulai redah, kedua keluarag bersaudara, suami dari Yaliwakwe dan keluarga lainnya pulang ke Ilaga.

Mereka melalui rute Kwiyawagi ke Ilaha, Karena mereka lahir dan besar di Ilaga (sekarang Ibu Kota Kabupaten Puncak Papua). Pada saat di daerah Kwiyawage, Yaliwakom Wenda ditembak mati. Posisi Yaliwakwe sudah lebih dulu agak jauh jaraknya bersama suaminya dan anaknya yang masih kecil bersama kelaurga lainnya.

Tiba-tiba terdengar sebuah bunyi tembakan (dor-dor-dor). Ketika Yalikwakwe menoleh ke balakang, saudara laki-lakinya sambil berteriak saya ditembak dan terjatuh ke tanah. Yaliwakwe mengatakan kepada suaminya, saya tidak bisa pergi bersama kalian.

Lihatlah saudaraku ditembak mati oleh mereka (Aparat TNI), saya tidak bisa meninggalkannya. Saya harus menyerahkan diri untuk ditembak juga oleh mereka. Setelah mengatakan itu, ia serahkan anaknya kepada suaminya dan mendesak mereka lari dan pulang ke kampung halaman di Ilaga.

Yaliwakom segera mendatangi mayat saudara laki-lakinya, bersungkur dan merebahkan diri pada saudaranya yang bersimba darah sambil menangisinya. Sementara itu, satu peluruh yang ditembak oleh aparat Indonesia menembus dadanya dan ia pun jatuh ditubuh saudara yang sudah mati bersimba darah dan mati bersamanya.

Hingga hari ini keluarga tidak pernah tahu dimana mayat mereka dimakamkan. Inilah kisah cerita yang disampaikan suami kepada keluarga, kisah yang terjadi 36 tahun yang lalu (1977-2013).

Kedua, keluarga penulis ini ditembak oleh aparat Indonesia yang diterjunkan waktu itu, menurut cerita orang tua adalah kesatuan Patimura dari Ambon dan kesatuan Hasanudin dari Makasar. Mereka ditembak tanpa asalan yang jelas. Mungkin hanya karena mereka dicurigai dan kebetulan mereka dalah orang Papua.

Pembunuhan tanpa alasan yang jelas, dalam suasana damai kembali terjadi pada 1 Juli 2013 di Guneri Kabupaten Lanny Jaya terhadap Nona Arlince Tabuni (12 tahun).

Penembakan diduga dilakukan oleh satuan Maleo Kopasus. Pembunuhan ini tidak bisa dibenarkan. Mengapa? Pertama keadaan saat itu tidak dalam kondisi perang. Penembakan yang dilakukan adalah anak usia 12 Tahun. Ia ditembak tanpa alasan yang jelas.

UU TNI No.34 Thn 2004 Pasal 17 jelaskan mengamanatkan bahwa penggunaan kekuatan TNI berdasarkan perintah Presiden.Tanggung jawab penggunaan kekuatan TNI berada ditangan panglima TNI diatur pada pasal 19 UU TNI N0.34/2004.

Menjadi pertanyaan bahwa apakah penembakan Arlince Tabuni adalah perintah Presiden atau Panglima TNI. Sementara situasi 1 Juli 2013 situasi Indonesia secara nasional tidak dalam bahaya, situasi Papua berada dalam susana perayaan hari Bayangkara.

Kalau memang tidak ada lalu penembakan dilakukan atas perintah siapa? Kalau dalam situasi kontak senjata antara pihak TPN dan aparat TNI mungkin dibenarkan dalam melindungi diri, tetapi kondisi riil saat itu dari keterengan para saksi tidak ada musuh yang mengganggu rakyat ataupun TNI dan Polri yang bertugas.

Pelayanan Gerejawi yang membawah pesan perdamaian dinodai oleh kekerasan Negara secara sistematis terhadapat masyarakat sipil di Lanny Jaya mengindikasikan bahwa Negara tidak bisa dipercaya lagi, dan mampu memberikan kenyamanan kepada warga negaranya.

Pada hal amanat UU 34/2004 TNI sebagai pertahanan Negara sekaligus melindungi warganya. Tetapi mungkinkan orang Papua di Lanny Jaya bukan dari warga Negara Indonesia.

Klaim Indonesia terhadap Papua adalah bagian dari Indonesia, hari demi hari kepercayaannya sudah mulai luntur.  Semoga gereja terus menyuarakan penderitaan orang Papua dan lebih khusus terhadapa pelayanan gereja di Lanny Jaya.

*Pares Wenda adalah Sekertaris Baptis Voices of Papua di Jayapura, Papua

Sumber : www.suarapapua.com