Pares L Wenda, Sekertaris Baptis of Voices
(Foto: doc pribadi)
|
Oleh: Pares L.Wenda*
Kekerasan Negara berbanding terbalik dengan misi perdamaian, cinta
kasih dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dikampanyekan
gereja baptis di Lanny Jaya, Papua.
Tanggal 28 Oktober 1956 adalah hari dan tahun pertama ABMS (Association
Baptist Mission Society) di bawah pimpinan Norm Draper, Ian Gruber
dan Melzer dan beberapa orang Pribumi Indonesia terutama dari Kalimantan
menginjakan kaki di Tiom melalaui jalan darat setelah mereka mendarat
dengan pesawat di Danau Ano’gom Yenggenak di Bokondini sekarang
masuk kabupaten Mamberamo Tengah.
Danau ini dalam berbagai tulisan expenditor maupun tulisan tentang
misi pelayanan gereja (terutama gereja-gereja tua seperti Kingmi,
Katolik, GKI di Tanah Papua dan Baptis yang melakukan explorasi pertama
di wilayah pegunungan Papua) lebih dikenal dengan sebutan “Archbold lake=Danau
Archbold) diambil dari nama seorang expenditor Ricard Archbold.
Sejak itu daerah Beam-Kwiyawagi khususnya wilayah Lanny Jaya menjadi
wilayah Pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua hingga saat
ini. Hanya ada satu gereja GKI di Kota Tiom. Tidak ada denominasi dan
agama lain di wilayah ini.
Meskipun daerah ini juga ada orang Muslim pendatang yang berdagang
dan PNS/anggota TNI/POLRI tetapi jumlah mereka sangat terbatas. Sejak
gereja, hadir, gereja tidak pernah melakukan kekerasan terhadap umat
Tuhan di wilayah ini, apalagi memprofokasi orang untuk berperang, hal
itu tidak pernah. Tetapi peristiwa bersejarah dimana gereja Baptis
mencatat sebagai sejarah perjalanan 50 tahun gereja Baptis Papua di
wilayah ini, orang mati karena mempertahankan Injil Yesus Kristus di
Magi (sekarang Distrik Makki) pada tahun 1966 dan di Kampung Guneri
tempat di mana Nona Arlince Tabuni (12) ditembak mati oleh aparat TNI
yang diduga dilakukan Kopasus.
Gereja Guneri disitulah tempat dimana ayah Arlince Tabuni melayani
sebagai Gembala Sidang hingga sekarang. Cahaya Injil membuat orang Papua
di wilayah ini ditobatkan, lantaran jauh sebelum Injil itu nenek moyang
mereka sudah menubuatkan bahwa suatu saat orang kulit putih akan datang
membawah kabar “NABELAN KABELAN=kabar hidup kekal” dan menurut nubuatan
itulah mereka menerima Injil sebagai pembaharu hidup mereka yang
sebelumnya mereka tinggal dalam suasana kelam (tidak ada harapan akan
masa depan).
Setelah misi Baptis melalui ABMS sudah mulai membuka akses dan
isolasi wilayah ini, kemudian Belanda membuka Pos Pelayanan Pemerintah
pada awal tahun 1960-an di Tiom. Dalam Pelayanan Pos Pemerintah Belanda
ini tidak pernah ada kekersan Negara terutama dari aparat pemerintahan
Belanda yang bertugas waktu itu. Pemerintah Belanda atas nama keutuhan
wilayah colonial Belanda tidak pernah membunuh atau melakukan kekerasan
lainnya kepada penduduk setempat.
Kekerasan Negara baru terlihat pada era Pemerintah Indonesia di Lanny
Jaya. Setelah Belanda pergi, otomatis pemerintah Indonesia masuk.
Masyarakat Papua di Balim tidak menerima hasil Pepera 1969.
Mereka mulai melakukan perlawanan bersenjata dengan aparat pemerintah
Indonesia. Perang atau konfrontasi terbuka antara aparat pemerintah
Indonesia (TNI/POLRI) dan masyarakat Papua di Pegunungan Tengah pecah.
Puncaknya terjadi pada tahun 1977 dan 1978. Di Lanny Jaya menjadi pusat
pelarian masyarakat Papua di lembah Baliem dan sekitarnya.
Masyarakat Lanny Jaya pada waktu itu juga melakukan perlawanan
melawan aparat Pemerintah Indonesia. Banyak orang Papua di wilayah ini
yang terbunuh. Kisah tragis yang masih diceritakan oleh orang Lanny Jaya
adalah peristiwa di mana orang Lanny Jaya dibariskan di satu deretan
panjang sekitar 5 sampai 10 orang lalu menancapkan besi panas di dada
mereka menembus setiap orang dan mematikan mereka.
Dilapangan Bola Volly dibelakang Kantor Mendikbut Lama, di hadapan
rumah Kios Bapak Solihin (asal Makasar). Jenaza mereka dikubur secara
masal di samping kediaman kepala distrik lama tidak jauh dari tempat
dimana mereka dieksekusi.
Inilah cerita yang selalu diangkat kepada kami, anak-anak Lani ketika
melewati daerah itu oleh orang-orang tua. Sayang saat ini Bupati Lanny
Jaya sedang menimbun daerah itu. Dan hilang sudah tanda sejarah kelam
kekerasan Negara di wilayah Lanny Jaya. Peristiwa yang sama banyak
terjadi di beberapa kampung di Lanny Jaya bahkan di wilayah pegunungan
tengah Papua pada tahun 1977.
Salah satu yang diceritakan orang tua penulis adalah pembunuhan
terhadap dua keluarga kami oleh aparat Indonesia di Kwiyawage yaitu
paman Yaliwakom Wenda dan saudara perempuannya Yaliwakwe Wenda. Mereka
mengunjungi keluarga di Tiom sebelum pecah perang pada tahun 1977,
setelah masa kunjungan habis dan Susana perang sudah mulai redah, kedua
keluarag bersaudara, suami dari Yaliwakwe dan keluarga lainnya pulang ke
Ilaga.
Mereka melalui rute Kwiyawagi ke Ilaha, Karena mereka lahir dan besar
di Ilaga (sekarang Ibu Kota Kabupaten Puncak Papua). Pada saat di
daerah Kwiyawage, Yaliwakom Wenda ditembak mati. Posisi Yaliwakwe sudah
lebih dulu agak jauh jaraknya bersama suaminya dan anaknya yang masih
kecil bersama kelaurga lainnya.
Tiba-tiba terdengar sebuah bunyi tembakan (dor-dor-dor). Ketika
Yalikwakwe menoleh ke balakang, saudara laki-lakinya sambil berteriak
saya ditembak dan terjatuh ke tanah. Yaliwakwe mengatakan kepada
suaminya, saya tidak bisa pergi bersama kalian.
Lihatlah saudaraku ditembak mati oleh mereka (Aparat TNI), saya tidak
bisa meninggalkannya. Saya harus menyerahkan diri untuk ditembak juga
oleh mereka. Setelah mengatakan itu, ia serahkan anaknya kepada suaminya
dan mendesak mereka lari dan pulang ke kampung halaman di Ilaga.
Yaliwakom segera mendatangi mayat saudara laki-lakinya, bersungkur
dan merebahkan diri pada saudaranya yang bersimba darah sambil
menangisinya. Sementara itu, satu peluruh yang ditembak oleh aparat
Indonesia menembus dadanya dan ia pun jatuh ditubuh saudara yang sudah
mati bersimba darah dan mati bersamanya.
Hingga hari ini keluarga tidak pernah tahu dimana mayat mereka
dimakamkan. Inilah kisah cerita yang disampaikan suami kepada keluarga,
kisah yang terjadi 36 tahun yang lalu (1977-2013).
Kedua, keluarga penulis ini ditembak oleh aparat Indonesia yang
diterjunkan waktu itu, menurut cerita orang tua adalah kesatuan Patimura
dari Ambon dan kesatuan Hasanudin dari Makasar. Mereka ditembak tanpa
asalan yang jelas. Mungkin hanya karena mereka dicurigai dan kebetulan
mereka dalah orang Papua.
Pembunuhan tanpa alasan yang jelas, dalam suasana damai kembali
terjadi pada 1 Juli 2013 di Guneri Kabupaten Lanny Jaya terhadap Nona
Arlince Tabuni (12 tahun).
Penembakan diduga dilakukan oleh satuan Maleo Kopasus. Pembunuhan ini
tidak bisa dibenarkan. Mengapa? Pertama keadaan saat itu tidak dalam
kondisi perang. Penembakan yang dilakukan adalah anak usia 12 Tahun. Ia
ditembak tanpa alasan yang jelas.
UU TNI No.34 Thn 2004 Pasal 17 jelaskan mengamanatkan bahwa
penggunaan kekuatan TNI berdasarkan perintah Presiden.Tanggung jawab
penggunaan kekuatan TNI berada ditangan panglima TNI diatur pada pasal
19 UU TNI N0.34/2004.
Menjadi pertanyaan bahwa apakah penembakan Arlince Tabuni adalah
perintah Presiden atau Panglima TNI. Sementara situasi 1 Juli 2013
situasi Indonesia secara nasional tidak dalam bahaya, situasi Papua
berada dalam susana perayaan hari Bayangkara.
Kalau memang tidak ada lalu penembakan dilakukan atas perintah siapa?
Kalau dalam situasi kontak senjata antara pihak TPN dan aparat TNI
mungkin dibenarkan dalam melindungi diri, tetapi kondisi riil saat itu
dari keterengan para saksi tidak ada musuh yang mengganggu rakyat
ataupun TNI dan Polri yang bertugas.
Pelayanan Gerejawi yang membawah pesan perdamaian dinodai oleh
kekerasan Negara secara sistematis terhadapat masyarakat sipil di Lanny
Jaya mengindikasikan bahwa Negara tidak bisa dipercaya lagi, dan mampu
memberikan kenyamanan kepada warga negaranya.
Pada hal amanat UU 34/2004 TNI sebagai pertahanan Negara sekaligus
melindungi warganya. Tetapi mungkinkan orang Papua di Lanny Jaya bukan
dari warga Negara Indonesia.
Klaim Indonesia terhadap Papua adalah bagian dari Indonesia, hari
demi hari kepercayaannya sudah mulai luntur. Semoga gereja terus
menyuarakan penderitaan orang Papua dan lebih khusus terhadapa pelayanan
gereja di Lanny Jaya.
*Pares Wenda adalah Sekertaris Baptis Voices of Papua di
Jayapura, Papua