Pages

Pages

Jumat, 19 Juli 2013

PEPERA 1969 TIDAK DEMOKRATIS DAN CACAT HUKUM INTERNASIONAL

Nesta Gimbal.foto Facebook
Sejarah Kemerdekaan dan Rekayasa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Tahun 1969 di Papua Barat yang penuh dengan, kelicikan, kebohongan, refresif dan tidak demokratis alias cacat demi hukum Internasional.

Sejak bangsa Papua di integrasikan ke Indonesia, wilayah Papua Barat di klaim sebagai wilayah integral bangsa Indonesia, Atas nama bangsa Indonesia maklumat Tiga Tuntutan Rakyat (TRIKORA) dikumandangkan, sikap propokasi Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno sebagai funding fathersnya bangsa Indonesia mendesak serangan invansi militer Indonesia ke Papua Barat dan secara ilegal wilayah Papua Barat dicaplok ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1963.

Jika dicermati secara seksama proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 sangat tidak relevan dengan perjanjian The New York Agreement dan The Roma Agreement tentang One Men One Vote (satu orang satu suara) tetapi diubah menjadi one delegation one vote (satu perwakilan satu suara), dari presentasi 800.000 ribuh Jiwa penduduk Papua saat itu yang mempunyai hak memilih dibatasi, di tunjuk menjadi 1025 orang di paksa untuk memilih bergabung dengan NKRI dibawa ancaman dan refresifitas militer, otomatis PEPERA 1969 Cacat demi hukum Internasional, Hak politik sebuah bangsa Papua di kebiri demi kepentingan ekonomi global, dasar logikanya bahwa; ketegangan konflik Papua dan pemerintah Indonesia tidak dapat berakhir sebelum status legalitas PEPERA 1969 di tinjau ulang, sebagai landasan bentuk formulasi penyelesaian persoalan, maka hak self determination bagi bangsa Papua Barat merupakan solusi tepat.

Mengapa demikian ?, bahwa, sebelum proses rekayasa PEPERA 1969, bangsa Papua Barat secara de vacto telah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 01 Desember 1961 secara berdaulat, selanjutnya Dewan Guinea Raad (Nieuw Guinea Raad) sebagai badan legislatif menyusun dan menetapkan simbol-simbol kenegaraan sebagai berikut dengan Nama Negara: Papua Barat, Lambang Negara: Mambruk, Semboyan Negara: One People-One Soul, Bendera Negara: Bintang Kejora, Lagu Kebangsaan: Hai Tanah-Ku Papua, Mata Uang: Golden ditetapkan melalui resolusi PBB 1415, selanjutnya manifesto politik dideklrasikan dan disiarkan langsung melalui radio Belanda dan Australia ke seluruh penjuru dunia.

Penjajahan Terstruktur, Terus menerus, Sistematis dan Sengaja.

Tetapi kini di depan mata kita sendiri, proses penjajahan secara massif dan terstruktur masih membelenggu dalam kolektifitas hidup rakyat Papua Barat, awal rezim NKRI fasis orde lama dan orde baru tumbang 1998, lahirlah fasis reformasi di Indonesia, kebijakan rezim NKRI dibawa pimpinan Presiden B.J Habibie belum juga mau meminta maaf kepada bangsa Papua Barat akibat dosa-dosa kejahatan pendahulunya, tetapi di balik nihat jahatnya berhasil menginabobohkan rakyat Papua dalam forom Dialog dengan jalan mereduksi Undang-undang Neoliberal No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua.

Guna tetap menjalankan proses penjajahan di Papua Barat, pemerintah Indonesia memaksakan kehendaknya dengan jalan melegalkan program Undang-undang Otonomi Khusus, membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai boneka kecil SBY, menciptakan Pemekaran Wilayah untuk tujuan transmigrasi, meciptahkan UU-UP4B sebagai kepanjangan Otsus, membentuk program KB, mengirim para WTS-WTS imigran gelap yang terinfeksi virus mematikan HIV/AIDS secara bertahap, pengiriman Militer Non-organik dalam jumlah besar, membangun pos-pos liar TNI-PLRI di seluruh pelosok ruas jalan kampung dan desa.

Bayangkan, pemerintah Indonesia tidak saja menjalankan praktek penjajahan secara politik tetapi kedaulatan ekonomi rakyat Papua Barat disedot secara habis-habisan melalui keberadaan tambang - tambang asing seperti PT.Freeport McMorran, British Petrolium (BP), LNG-Tangguh, Proyek MIFEE, serta beberapa perusahaan-perusahaan kecil, yang secara sistematis melakukan eksplorasi dan kejahatan masif terhadap lingkungan sekitar. Praktek-praktek penjajahan ini melampahui batas-batas kewajaran hidup sebagai sebuah bangsa yang pernah berdaulat dan merdeka.

Gugatan Politik Untuk SBY-Boediono.

Rakyat Papua Barat, tidak percaya dengan demokrasi yang di anut pemerintahan di bawah hegemoni rezim Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Susilo Bangbang Yudhoyono – Boediono presiden republik Indonesia, tinggal massa waktu tiga tahun lagi akan mengahkiri massa jabatannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2013, sejak awal terpilih 2004, kepemimpinan SBY-Boediono berjanji untuk mentuntaskan persoalan kemiskinan, kesehatan. Pendidikan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi di dalam negerinya dan secara khusus memprioritas masalah Papua terkait penjajahan secara struktural, kejahatan HAM dan penentuan nasib sendiri (self determination) bagi bangsa Papua Barat dengan tuntas, menyeluruh dan konfrehensif.

Kenyataannya sampai saat ini, penjajahan itu semakin tak ada pangkalnya, kenyataan tersebut membuktikan kebohongan politik yang di perankan seorang presiden SBY-Boediono terhadap rakyatnya sendiri bangsa Indonesia dan mengkhianati bangsa Papua sebagai bangsa yang telah merdeka, kebijakan politik dalam negeri tidak terlepas dengan kebijakan terhadap nasib dan penderitaan bangsa Papua Barat. Kini menjadi tanggung jawab politik bagi seorang presiden SBY untuk memutuskan pilihan terbaik bagi bangsa Papua Barat untuk menentukan nasibsinya sendiri melalui mekanisme Referendum. Demokrasi untuk Indonesia adalah laksanakan Referendum untuk Bangsa Papua Barat.

Dengan demikian, sebagai bangsa berdaulat yang di tundukan dibawa sistem garis penindasan, melatarbelakangi persoalan mendasar diatas, dengan dasar realita kondisi yang kami rasakan, berdiri teguh dengan keyakinan politik kami yang terparti untuk bersatu mengakhiri penindasan, Maka apabila usul di tolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh separatis dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: Lawan!

Sumber : www.facebook.com/nesta.gimbal/posts/520155764732403#!/nesta.gimbal/posts/517959531618693