Ratusan warga
setelah mengibarkan bendera Bintang Kejora
di atas tower air di Baik, 2-6 Juli 1998 silam. Foto: Ist
|
Tanggal
2 Juli 2013
lalu, pukul 03.00 pagi, mata saya masih terbuka di depan komputer yang
terhubung jaringan internet. Saya membaca berita-berita di berbagai
media
online yang menulis soal peristiwa 1 Juli di tanah Papua.
Pada 1 Juli, 2 moment
sejarah dirayakan di tanah Papua. Pertama, HUT Bhayangkara. Kedua, HUT
Proklamasi
Kemerdekaan Papua Barat. Perayaan dua peristiwa diwarnai penembakan mati
seorang
gadis usia 12 tahun di Lani Jaya.
Media-media lokal di
Papua dan media nasional meliput dua peritistiwa ini, termasuk
penembakan gadis
malang ini. Saya terus serius membaca berita-berita ini, termasuk berita
lainnya.
***
Tepat
pukul 04.00 ada
pesan di inbox facebook saya.
Seorang sahabat di Biak mengirimkan
pesan untuk menanyakan kabar saya. "Pagi
kawan, apa kabar? Lama tra jumpa, sejak ketemu terakhir di Jogja,"
begitu
isi pesan perempuan Biak itu. Kami bercerita banyak tentang pengalaman
bersama
teman-teman di Asrama Mahasiswa Papua, Kamasan 1 di
Yogyakarta 5 tahun silam.
Singkat cerita, chating
yang awalnya hanya saling
menanyakan kabar, seketika, beralih ke ingatan masa lalu. Masa ketika ia
SMA di
Biak pada Juli 1998. Ia bercerita bagaimana ia sebagai seorang pelajar
ketika itu
harus membatalkan ke sekolah pada tanggal, 2 Juli 1998.
Ia bercerita, pagi
itu, kira-kira pukul 06.30 waktu Biak, ia
pergi ke sekolah. Tetapi, dalam perjalanan, ia melihat ratusan orang
menari dan
menyanyi lagu-lagu Papua di bawah tower air tinggi 35 meter.
"Saat itu sa tra tau ada
apa. Sa penasaran dan pergi ke dekat tower. Mama, sa lihat ada Bintang
Kejora
berkibar di atas. Saat itu, sa heran-heran," kata sahabat itu berkisah.
Insos
(perempuan: Bahasa
Biak) itu bercerita jika saat itu ia
melihat orang-orang tua mengikat kain Bintang
Kejora di tangan mereka. "Saya lihat ada beberapa teman saya laki-laki.
Saya tidak
jadi ke sekolah. Sa tinggal dengan orang-orang tua. Saat itu, sudah
mulai agak
siang. Lebih banyak orang datang."
Sebagai anak
perempuan yang baru usia SMA, ketakutan dia saat rombongan Bupati datang
tampaknya
masih ia simpan baik-baik dalam ingatan.
"Ae, kawan saat bupati
Biak bersama komandan TNI AD, AL. AU dan Kapolres turun berikan arahan
kepada
orang-orang untuk bubar. Sa su mulai takut. Tapi, orang-orang tua malas
tau. Sa
ingat, Pak Yopy Karma saat itu membacakan
tuntutan untuk Merdeka atas nama Papua Barat. Sa lihat di spanduk ada
tulisan, Saatnya West Papua lepas dari NKRI".
Ia bercerita, tidak
rasa kalau seharian itu ia hanya makan satu potong keladi rebus. "Saat
itu sa
menikmati lagu-lagu Papua. Dong bawa gitar dan tifa. Macam-macam lagu
dan
tarian dong bawakan. Waktu itu sudah sore, su mau gelap. Sa temukan sapu
bapa
ada di situ juga. Sa pergi dekati bapa. Bapa kaget lihat saya di situ,
apalagi sa masih pake seragam. Trus, bapak antar
sa
pulang. Saat kami pulang ke rumah su gelap. Saya tinggalkan tempat itu
bersama
bapak saya"
Setelah mengantarkan
Insos ke rumah, ayah kembali ke tower. "Malam itu sa capek. Tapi, sa
masih
ingat kalau sa susah tidur. Sa pikir sapu bapa dan orang-orang itu. Sa
tertidur
jam 12 malam. Trus, pagi-pagi sa ke sekolah begini, tempat itu orang
sudah
padat. Sa lihat kayak orang bertambah. Sa pulang sekolah juga masih ada
dan
gabung dengan dorang. Trus sa pulang sore itu, tanggal 3 Juli," katanya
mengingat.
Singkat cerita, Insos
mengatakan, tanggal 4 masyarakat
masih mempertahankan berkibarnya Bintang Kejora di atas Tower.
Tanggal 5
Juli pagi, kata dia, ia bersama dua adiknya diantar ayahnya pergi ke
kampung
menggunakan speedboad. Tetapi, usai
mengantar, Ayahnya kembali ke kota segera.
"Setelah bapa antar
kami ia kembali ke kota bergabung di bawah Tower. Mulai saat itu bapa
belum
kembali hingga saat ini. Saya telah mencari di mana-mana. Bapa hilang,
tetapi
peristiwanya sa ingat. Akan sa kastau ke sa pu anak, 'kam pu tete hilang
tanggal 6 Juli 1998 di bawah tower air, yang di
atasnya berkibar Bintang Fajar'," kata
Insos itu.
Setelah mengatakan
demikian, tanpa ada kata salam, facebook-nya
off. Cerita kami terputus.
Saya
titip pesan permohonan maafku di inbox.
Saya telah bertanya banyak dan mungkin ini membuat dia mengingat kisah
pedih di
masa lalu. Karena ternyata, ayah tercintanya telah hilang dalam
peristiwa itu.
***
Peristiwa "Biak
Berdarah" baru terjadi 6 Juli 1998 (dini
hari). Saat itu, ratusan warga sipil tak bersenjata bertahan di tower.
Mereka dikepung
aparat. Data Elsam Papua berdasarkan informasi saksi, pagi itu sekitar
pukul
05.00 waktu Biak, Komandan
TNI AL Biak, memberikan perintah untuk membubarkan massa.
Atas perintah ini, TNI
mulai memblokade semua lokasi Tower. Pembubaran paksa massa dilakukan
aparat. Hal
ini membuat bentrok antara warga sipil dan aparat keamanan.
Mereka menembaki warga. Warga sipil di Kelurahan Pnas, Kelurahan
Aupnor dan Kelurahan Saramom, Biak kota digiring ke Pelabuhan laut Biak.
Mereka
dianiaya di sana. Terjadi penangkapan sana sini, penganiayaan, dan
penyiksaan.
Korban-korban ketika itu
diangkut dengan
truk-truk Brimob, juga sebuah mobil container
ke rumah sakit umum daerah (RSUD) dan Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL)
Biak. Sekitar
6 korban meninggal yang diangkut ke RSAL Biak pada saat itu, hingga kini
jenazah mereka belum kembali ke tangan keluarga.
"Agus
Sada dipukul dengan balok 5x5 dan dihukum berjalan dengan dada. Martinus
Ronsumbre dipukul dengan kopor senjata, Elly Ansek ditempak di perutnya.
Masa
yang digiring ke halaman pelabuhan itu dibuang ke dalam truk-truk aparat
dan
diambil ke kantor polisi. Di kantor polisi kami dibagi menjadi dua
bagian yaitu
kelompok yang terlibat langsung dan kelompok yang tidak terlibat
langsung,"
kata saksi seperti dikutip Elsham.
Dikatakan,
pemilik
toko orang-orang pendatang yang
sempat memberi air minum pada masyarakat pada waktu itu turut disiksa
aparat
keamanan seperti toko Sami-sami.
Rumah masyarakat pada
waktu itu ditembak, pengebrekan dari rumah-ke rumah. Penyiksaan masal
pun
dilakukan aparat kepada masyarakat yang keluar dari rumah mereka.
Tindakan
aparat pada waktu tidak saja di lokasi Tower tetapi tindakan aparat
meluas
sampai ke pedesan. Masyarakat tidak dapat bebas berpergian.
Akhinya diketahui, dari
peristiwa ini, tercatat
menelan 230 korban. Meninggal dunia 8 orang; 3 orang hilang; korban luka
berat
yang dievakuasi ke Makassar 4 orang dan hilang; 33 orang ditahan
sewenang-wenang dan 150 orang mengalami penyiksaan; serta 32 mayat
misterius.
Salah satu tokoh yang
ditahan ketika itu Filep
Karma yang kini menjadi
tahan politik
Papua pertama setelah reformasi.
Beberapa waktu setelah
peristiwa itu,
ditemukan puluhan mayat di perarian (pesisir pantai) Biak. Tidak ada
yang
melakukan penyelidikan atas mayat-mayat itu. Semua orang dalam trauma
dan
ketakutan.
Aparat menyatakan mayat-
mayat tersebut
adalah korban bencana Tsunami di Aitape, Papua New Guinea yang terjadi
pada
tanggal 17 Juli 1998. Diketahui, mayat- mayat itu ada yang badannya
dibungkusi dengan pakaian pramuka dan kostum
partai Golkar.
***
Bagi
Insos di Biak itu dan
orang Papua, Peristiwa 15 tahun (6 Juli 1998)
teramat
sulit untuk dilenyapkan. Ia terus tumbuh menjadi ingatan kekejaman yang tumbuh subur dalam diam. Ia bertumbuh dalam
ingatan-ingatan yang terus terwarisi. Ia telah menjadi sejarah, minimal
dalam
ingatan perempuan itu.
Dalam
ingatan
itu, tentu sejarah bukan sekedar merupakan bilangan tahun, waktu dan
rangkaian
kejadian. Sejarah pada 6 Juli 1998 di Biak mengandung catatan-catatan
yang
berpotensi menafsirkan masa kini
dan masa depan.
Menurut
Benjamin dalam Gusri, "Ketika orang
berhadapan dengan sesuatau masa kini, secara spontan ia akan menggunaka
ingatannya lebih daripada pikiran atau pengetahuannya".
Sejarah
berpotensi dalam membahasakan masa lalu, sekaligus merupakan sarana yang
dapat
menghubungkan dimensi masa lalu, kini dan masa datang. Ingatanlah yang
membuat
diri kita mengerti bahwa ide keselamatan masa kini sudah terkandung
dalam masa
lalu mereka dan keselamatan masa lalu mereka mesti diwujudkan dalam masa
kini.
"Kelupaan
menuntun
ke pembuangan. Ingatan mempercepat keselamatan," J. Moltmann.
Sementara, Erich Kastner mengatakan, "Siapa lupa akan apa yang indah,
dia
akan jadi jahat. Siapa lupa akan apa yang jelek, dia akan jadi bodoh."
Terima
kasih atas
ingatanmu, walau telah 15 tahun. Salut atas janjimu, "Sa akan kastau
ke sa pu anak-anak, kam pu tete
hilang tanggal 6 Juli 1998 di bawah tower air, yang
di atasnya berkibar Bintang Fajar". (MS)