Dalam
waktu dekat ini, Presiden SBY berencana kembali menaikkan harga BBM.
Supaya terkesan kenaikan harga BBM ini “tak terhindarkan”, berbagai
alasan pun diajukan.
Sayangnya,
media massa di Indonesia tidak kritis. Mereka lebih banyak bertindak
sebagai “jubir” pemerintah ketimbang menyampaikan informasi yang sehat
kepada rakyat.
Karena itu,
supaya masyarakat punya perspektif lain mengenai kenaikan harga BBM,
berikut kami tuliskan beberapa fakta untuk menyingkap kebohongan di
balik alasan pemerintah menaikkan harga BBM.
Pemerintah menyatakan: subsidi BBM telah menyebabkan defisit APBN
Kenyataannya:
- Subdidi BBM di APBN 2013 hanya Rp Rp193,8 triliun atau sekitar 12% dari total APBN. Faktanya, anggaran untuk membiayai aparatus negara mencapai 79% dari APBN. Itu sudah mencakup anggaran untuk membayar gaji pegawai yang mencapai Rp 241,1 triliun.
- Setiap tahun APBN juga dibebani oleh pembayaran cicilan utang dan bunganya. Untuk tahun 2012, porsi pembayaran utang mencapai Rp113,2 triliun. Pada APBN 2013, anggaran pembayaran utang mencapai 21% atau Rp 241 triliun. Padahal, sebagian besar utang itu tidak pernah dinikmati oleh rakyat.
- Pemborosan anggaran sebetulnya banyak dilakukan oleh pejabat negara. Lihat saja, misalnya, gaji Presiden SBY yang mencapai US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun (tertinggi ketiga di dunia). Kemudian anggaran perjalanan dinas para pejabat negara Rp 21 trilun.
- Biaya pidato SBY untuk merespon HUT Kemerdekaan sebesar Rp 1,2 milyar; anggaran untuk parkiran kendaraan roda dua di Istana mencapai Rp12,3 miliar, anggaran untuk 12 staf kepresidenan senilai Rp 27,5 miliar (tahun 2012), dan lain-lain. (Sumber: FITRA)
- Presiden SBY menghabiskan Rp 839 juta hanya untuk urusan bajunya. Sementara anggaran furniture Istana Negara mencapai Rp 42 miliar setiap tahunnya. Untuk penyusunan pidatonya saja, Presiden SBY pun harus menggerus dana APBN sebesar Rp1,9 milyar. Sedangkan untuk kebutuhan pengamanan pribadi, presiden SBY juga menyedot anggaran APBN sebesar Rp52 milyar. (Sumber: FITRA)
- Setiap tahunnya pemerintahan SBY memboroskan anggaran sebesar Rp 300 trilyun. Sebagian besar pemborosan itu terkait pembiayaan gaya hidup pejabat, seperti pembiayaan baju seragam, biaya makan dan minum perjalanan dinas, dan fasilitas kebutuhan pejabat. (Sumber: FITRA)
- Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), selama tujuh tahun kepemimpinan Presiden SBY, sedikitnya Rp 103 triliun uang negara disalahgunakan atau dikorupsi. (Sumber: FITRA).
- Tingkat kebocoran APBN masih sangat tinggi. Menurut FITRA, tiap tahun kebocoran APBN mencapai 30%. Artinya, jika total APBN mencapai Rp 1600 triliun, berarti ada Rp 320-an triliun uang negara yang menguap tidak jelas.
- Menurut FITRA, penyebab utama defisit APBN adalah penurunan target penerimaan pajak sebesar Rp 53,6 triliun. FITRA memperkirakan penurunan pajak tersebut berperan 66 persen terhadap defisit APBN. Sementara subsidi BBM hanya berkontribusi 20% terhadap defisit.
- Ketika subsidi BBM terus meningkat, penerimaan negara dari sektor migas juga meningkat. Pada tahun 2005, penerimaan migas baru mencapai Rp 138,9 triliun. Lalu, pada tahun 2010 penerimaan menjadi Rp 220 triliun. Tahun 2012 lalu, penerimaan migas mencapai 265,94 Triliun.
- Menurut Ahmad Erani Yustika, ekonom dari INDEF, selama kurun 2005 hingga 2010, persentase subsidi energi terhadap penerimaan migas baru mencapai 64% (minyak sebesar 44% dan listrik 20%). Persentase yang sangat tinggi tercatat pada 2005 yang mencapai 75,2% dan 2008 sebesar 77,2%.
Pemerintah
menyatakan: subsidi BBM salah sasaran dan hanya dinikmati oleh
segelintir kaum kaya. Menurut pemerintah, sekitar 70% subsidi BBM justru
dinikmati kaum kaya.
Bantahannya:
- Hasil kajian KEN menyatakan, subsidi BBM hanya dinikmati 12 persen masyarakat miskin (29 juta jiwa) dan 28 persen masyarakat rentan (70 juta jiwa). 60 persen subsidi BBM dinikmati kalangan mampu dan kaya (150 juta jiwa). Pertanyaannya: benarkah kalangan mampu dan kaya di Indonesia mencapai 150 juta jiwa? Apa ukuran KEN menyebut 150 juta jiwa Indonesia itu kaya dan mampu.
- Kajian dan penelitian ECONIT justru menemukan fakta berbeda. Menurut ECONIT, 65% BBM bersubsidi dinikmati oleh keluarga berpendapatan 4 USD (Dollar AS) ke bawah. Sementara sisanya dinikmati oleh keluarga berpendapatan 4 USD ke atas.
- Penelitian Fraksi PDI Perjuangan di DPR juga menemukan kesimpulan berbeda. Menurutnya, BBM bersubsidi dikonsumsi oleh sebanyak 64 persen kendaraan bermotor dan mobil sebanyak 36 persen. Kita tahu, motor bukan lagi barang mewah di Indonesia. Sudah begitu, banyak rakyat miskin menggantungkan hidup dari profesi sebagai tukang ojek.
- Selain itu, konsumen BBM bersubsidi bukan hanya sektor transportasi. Dalam Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu, antara lain, disebutkan: pengguna BBM bersubsidi juga meliputi nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil, usaha pertanian kecil dengan luas maksimal 2 hektar, usaha mikro (UMKM), dan pelayanan umum seperti krematorium. Artinya, jika BBM dinaikkan, sektor usaha kecil ini akan ambruk.
Indonesia
adalah negara yang kaya sumber energi. Kita punya cadangan minyak, gas,
dan batubara yang melimpah. Lantas, kenapa negara ini seakan mengalami
krisis energi?
- Produksi minyak mentah siap jual (lifting) nasional terus menurun. Sebelum SBY berkuasa pada tahun 2004, lifting minyak masih berkisar 1,4 juta barel perhari. Namun, pada akhir 2011 lalu, produksi minyak Indonesia hanya 905.000 barel perhari. Bahkan, pada tahun 2012 ini, produksi minyak cuma berkisar 890.000 barel perhari.
- Penyebab turunnya produksi minyak mentah Indonesia adalah produksi minyak Indonesia mengandalkan sumur-sumur tua dan keengganan pemerintah untuk melakukan investasi untuk eksplorasi minyak. Pemerintah beralasan, berinvestasi dalam eksplorasi minyak itu beresiko. Kata SKK Migas, Rudi Rubiandini, biaya eksplorasi minyak per sumur bisa mencapai Rp 1 triliun tetapi belum tentu dapat minyak alias dry hole. Pada kenyataannya, kendati beresiko, perusahaan asing justru berlomba-lomba melakukan investasi dalam eksplorasi minyak dan menikmati untung. Lagipula, potensi dry hole dalam eksplorasi bisa diminimalisir dengan pengembangan teknologi dan riset.
- Indonesia sebetulnya masih punya cadangan minyak. Menurut Kurtubi, cadangan minyak kita masih berkisar 50 miliar hingga 80 miliar barel. Namun, potensi cadangan terbukti (proved reserve) hanya sekitar 3,4 milyar barel. Seharusnya, kata Kurtubi, Indonesia sanggup memproduksi minyak 1,5 juta barrel per hari. Akan tetapi, karena tata kelola migas yang salah, maka kemampuan kita hanya 890.000 barel per hari.
- Produksi minyak Indonesia sebagian besar dikuasai oleh produksi asing. Data Kementerian ESDM tahun 2009 menyebutkan, pertamina hanya hanya memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Data ini tidak berbeda jauh dengan temuan Indonesian Resource Studies (IRESS), bahwa Pertamina memproduksi hanya 15 persen dan 85 persen diproduksi oleh asing.
- Tata kelola migas saat ini, yang masih mengacu pada UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, sangat merugikan negara. Akibat UU migas yang sangat liberal itu, sebagian besar kekayaan migas Indonesia jatuh ke tangan korporasi asing. Sudah begitu, hasil produksinya pun dijual dengan harga murah ke luar negeri seperti dalam kasus gas (kasus LNG Tangguh).
- Selain itu, akibat tata kelola migas yang tidak benar, Indonesia juga dibebani oleh biaya cost recovery yang terus meningkat tiap tahunnya. Bayangkan, pemerintah setiap tahun harus membayar sekitar Rp 120 triliun hanya untuk cost recovery.
- Seharusnya, ketika harga minyak dan gas dunia naik, seharusnya perusahaan atau kontraktor migas di Indonesia menikmati rejeki nomplok berupa “windfall profit”. Sayangnya, pemerintah Indonesia belum berani memberlakukan windfall profit tax kepada korporasi atau kontraktor asing tersebut.
Belakangan
banyak pihak yang menuding, ada kepentingan asing di balik kenaikan
harga BBM ini. Terutama untuk meliberalkan sektor hilir migas Indonesia.
- Sejak tahun 2008, Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) sudah “mengejar-ngejar” pemerintah Indonesia agar memastikan penghapusan subsidi BBM. Lalu, pada 1 November 2010, Sekjend OECD Angel Gurria menemui sejumlah Pejabat Tinggi Indonesia, termasuk Wapres Boediono dan Menkeu Agus Martowardoyo. Di situ, OECD berusaha menyakinkan pemerintah Indonesia agar segera menghapus subsidi BBM dan listrik hingga 2014.
- Dalam forum G-20 di Pittsburgh (2009) dan Gyeongju (2010), proposal penghapusan subdisi BBM makin gencar disuarakan. Di Pittsburgh, G20 memaksa negara anggotanya, termasuk Indonesia, segera menghapus subsidi BBM secara bertahap. Di Gyeongju, Korea Selatan, Pemerintah Indonesia menjanjikan akan melaksanakan penghapusan subdisi energi, khususnya BBM dan TDL, dimulai pada tahun 2011.
- Pada saat yang bersama, desakan serupa juga gencar dilakukan oleh lembaga seperti IMF, Bank Dunia, USAID dan ADB. Lembaga-lembaga tersebut memaksa pemerintah Indonesia segera menghapus subsidi energi paling lambat tahun 2014. Dengan demikian, terkait rencana penghapusan subsidi energi ini (BBM dan TDL), pemerintah Indonesia sudah dikejar jadwal.
- Kenaikan harga BBM ini merupakan desakan dari lembaga dan negara asing untuk mempercepat liberalisasi sektor hilir migas di Indonesia. Target dari penghapusan subsidi BBM adalah membuat harga jual BBM di Indonesia sesuai dengan harga pasar atau harga keekonomian. Menurut Menko Perekonomian Hatta Radjasa, harga keekonomian BBM di Indonesia seharusnya Rp 10 ribu. Nantinya, kalau harga jual BBM sudah mengacu ke harga pasar, pemain asing (SPBU asing) bisa turut bermain dalam bisnis penjualan BBM di Indonesa.
- Sejak tahun 2005 lalu, tiga perusahaan asing sudah menyiapkan kesiapannya untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di berbagai wilayah di Indonesia. Ketiganya adalah Shell (milik Inggris dan Belanda), Petronas (Malaysia), dan Total (Prancis). Pada tahun 2006, Dirjen Migas ESDM sudah mencatat, setidaknya 25% perusahaan swasta (lokal dan asing) sudah mendapat ijin prinsip ataupun ijin usaha untuk terlibat bisnis BBM.
- Dua pemain asing utama, Shell dan Petronas, berencana membangun ratusan SPBU untuk menyambut potensi bisnis BBM itu: Shell berencana membangun 400 SPBU dan Petronas akan membangun 500 SPBU. Sejumlah perusahaan swasta lokal juga sudah merintis usaha yang sama.
- Pada kenyataannya, menurut Institute For Global Justice (IGJ), sebanyak 176 negara di dunia masih memberikan subsidi energi. Diantara negara itu: Amerika Serikat sebesar $502 billion, China sebesar $279 billion, dan Russia sebesar $116 billion. Subsidi BBM di negara maju ini terkait erat dengan kebijakan industri dan perdagangan mereka.
- Negara-negara kaya energi lainnya berhasil membuat harga jual BBM mereka sangat rendah: Venezuela (0,08 USD/Rp.774), Mesir (0,09 USD/Rp.871), Saudi Arabia (0,10 USD/Rp 968), Qatar (0,12 USD/Rp 1,161), Bahrain (0,15 USD/Rp 1,452), Libya (0,15 USD/Rp 1,452), Turkmenistan (0,17 USD/Rp 1,645), Kuwait (0,17 USD/Rp 1,645), Aljazair (0,17 USD/Rp 1,645), dan Iran (0,21 USD/Rp 2,032).
Pemerintah
mengklaim, kenaikan harga BBM akan menguntungkan rakyat. Sayangnya,
pemerintah tidak bisa menjelaskan argumentasi itu lebih jauh. Pada
kenyatannya, kenaikan harga BBM justru akan menyengsarakan rakyat.
- Kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang, termasuk kebutuhan pokok. Selanjut, kenaikan harga barang ini akan memicu kenaikan biaya hidup lainnya, seperti sewa kontrakan.
- Kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan tarif angkutan umum dan alat transportasi lainnya. Akibatnya, pengeluaran rakyat untuk urusan transportasi akan meningkat, seperti ongkos bepergian, transportasi berangkat ke tempat kerja, dan ongkos transportasi anak bersekolah.
- Kenaikan harga BBM juga memukul produktivitas nasional. Kalau daya beli rakyat menurun, hal itu berarti penurunan permintaan dalam pasar dalam negeri. Kondisi ini akan merugikan produksi dalam negeri, terutama usaha menengah dan kecil, yang sangat bergantung pada pasar internal.
- Kenaikan harga BBM akan membebani industri berupa kenaikan biaya produksi. Tentu saja, untuk mengimbanginya, pengusaha akan melakukan efisiensi. Pilihannya: mereka akan memangkas kesejahteraan buruh atau mengurangi jumlah pekerja. Dengan demikian, kenaikan harga BBM akan memicu penurunan kesejahteraan dan gelombang PHK.
- Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya mencapai 99,9% dari keseluruhan pelaku usaha di Indonesia, akan terkena dampak kenaikan harga BBM. Ketua Kadin Jabar Bidang UMKM dan kemitraan, Iwan Gunawan, memperkirakan pengeluaran UMKM untuk pembelian BBM akan naik 20%. Belum lagi pengaruh kenaikan harga BBM terhadap biaya bahan baku dan lain-lain. Padahal, sebelumnya UMKM sudah disusahkan oleh kenaikan biaya Tarif Dasar Listrik (TDL).
Pemerintah
berdalih, dampak kenaikan harga BBM bisa ditekan dengan pemberian dana
bantuan langsung kepada rakyat miskin. Benarkah?
- Kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang dan biaya hidup rakyat. Artinya, daya beli rakyat akan merosot. Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) memperkirakan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan daya beli buruh akan menurun hingga 30 persen.
- Data menunjukkan tenaga kerja yang betul-betul dianggap bekerja penuh (minimal 35 jam/minggu) hanya sekitar 70%, sedangkan sisanya adalah setengah penganggur dan penganggur terbuka. Lebih dramatis lagi, mereka yang dianggap bekerja penuh ternyata 65% bekerja di sektor informal dan hanya 35% bekerja di sektor formal (BPS, 2011). Artinya, mereka ini sangat rentan terkena dampak kenaikan harga BBM dan merosot tingkat kesejahteraannya.
- Dana kompensasi BBM—berapa pun besarannya–tidak akan bisa mengatasi kemiskinan. Alasannya sederhana: kenaikan harga BBM berdampak luas pada perekonomian nasional, yang memukul ekonomi rakyat dari berbagai segi (efisiensi industri, kenaikan harga barang, dan kenaikan biaya hidup). Menurut pengamat ekonomi Yanuar Rizky, dampak kenaikan harga BBM itu menggerus daya beli 90% rakyat Indonesia. Sementara dana kompensasi BBM, yang dirancang dengan anggaran terbatas dan sasaran yang terbatas pula, hanya menjangkau sebagian kecil dari mereka yang terkena dampak kenaikan harga BBM.
- Kenyataan juga menunjukkan, bahwa pada awal 2006 (setahun setelah kenaikan harga BBM) jumlah orang miskin melonjak menjadi 39,05 juta (17,75%). Artinya, program BLT saat itu tidak berhasil menekan dampak kenaikan harga BBM.
- BLT tidak membuat rakyat produktif dan mandiri. Artinya, sekalipun rakyat diberi BLT, tidak ada peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan. Sebab, mereka tetap tidak punya pekerjaan dan tidak punya akses terhadap alat produksi.
- Sasaran penerima BLT ini sangat sedikit dan tidak menjangkau seluruh rakyat yang terkena dampak kenaikan harga BBM. Pada tahun 2005, ketika SBY menaikkan harga BBM dua kali, jumlah penerima BLT hanya 19,1 juta keluarga. Untuk program BLSM tahun 2013 ini, jumlah sasaran keluarga malah menurun, yakni hanya 15,5 juta keluarga.
- Sebagian besar dana bantuan atau kompensasi BBM ini dapat melalui pinjaman luar negeri dengan bunga tinggi. Dengan demikian, program ini tidak lebih sebagai strategi kapital untuk mendorong permintaan dengan utang-konsumsi.
- Lebih jauh lagi, program BLT hanya melahirkan klientalisme. Masalahnya, seperti dalam kasus pemilu 2009, BLT dijadikan alat kampanye politik dan dibagikan menjelang hari pemilihan.
Menurut
Menteri ESDM, kenaikan harga BBM adalah keinginan masyarakat. Menteri
dari Partai Demokrat ini mengklaim menerima masukan dari banyak kelompok
masyarakat.
Faktanya:
- Menteri ESDM Jero Wacik tida bisa menunjukkan kelompok masyarakat yang mana yang menginginkan kenaikan harga BBM. Selain itu, Jero Wacik juga tidak bisa membuktikan bahwa aspirasi kelompok masyarakat dimaksud mewakili kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
- Sejak isu kenaikan harga BBM muncul, hampir setiap hari terjadi aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Sebaliknya, kita belum pernah menyaksikan adanya aksi demonstrasi mendukung kenaikan harga BBM.
- Mekanisme terbaik untuk menentukan apakah rakyat setuju atau tidak dengan kenaikan harga BBM adalah referendum. Kita menantang SBY dan kroninya untuk menggelar referendum guna membuktikan apakah rakyat setuju atau menolak kenaikan harga BBM.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20130501/45-fakta-kebohongan-sby-di-balik-kenaikan-harga-bbm.html#ixzz2WpIGCkTu
Sumber : www.malanesia.com