Tapol Papua, Filep Karma dan putrinya, Audryne Karma. Foto: Dok Audryne Karma |
"Besok
Bapa mau pergi kibarkan bendera dan mau orasi sedikit di Lapangan
Trikora Abepura, kam dua jaga diri, kalau Bapa dapat tangkap dari polisi
tidak usah kuatir, tidak usah lihat Bapa di kantor polisi. Tinggal
dirumah saja dan pergi sekolah seperti biasa. Tuhan Yesus jaga kita
semua," Itulah kata-kata terakhir Bapa sebelum dia ditangkap.
Nama saya Audryne Karma,
putri sulung dari Filep Karma, seorang tahanan politik asal Papua. Bapa
saya merupakan alumnus Universitas Sebelas Maret di Solo. Dia menikah
dengan Mama, seorang Melayu-Jawa pada 1986. Mereka memiliki dua anak,
saya dan adik, Andrefina Karma.
Pada tahun 1998 Bapa
saya memulai advokasi untuk kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia
dengan cara damai. Tanggal 2 Juli, dia memimpin demonstrasi
pro-kemerdekaan Papua Barat dan menaikkan bendera Bintang Kejora di
tempat asal kami, Biak, Papua.
Selama 3 hari bendera
dikibarkan dan Bapa melakukan orasi. Tanggal 6 Juli militer Indonesia
mengambil alih dan melakukan tindakan kekerasan, lebih dari 100
demonstran dibunuh dan beberapa hilang sampai saat ini.
Bapa saya ditembak di
kedua kakinya saat dia sedang berdoa ditempat kejadian. Pemerintah
Indonesia gagal melakukan investigasi secara mendalam dan bertanggung
jawab atas insiden 15 tahun lalu di Pulau Biak. Bapa saya divonis
pengadilan 6 tahun penjara, namun 2 tahun kemudian dia dibebaskan
setelah Gus Dur jadi presiden pada tahun 2000.
1 Desember 2004, Bapa
dan beberapa teman melakukan aksi damai untuk memperingati hari
kemerdekaan Papua, Bintang Kejora kembali dinaikkan di lapangan Trikora,
Abepura, Jayapura. Polisi merespon dengan memukul orang-orang yang
datang serta mengeluarkan tembakan. Sekitar 4 orang terluka, termasuk
Bapa. Atas kasus ini, dia dijatuhi hukuman penjara 15 tahun atas tuduhan
"makar."
Kasus Bapa mendapat
perhatian besar dari sejumlah organisasi hak asasi manusia, nasional
maupun internasional. Dia dianggap sebagai aktivis pembela hak asasi
manusia dari Papua dan berusaha menyuarakan hati nurani orang papua,
yang sering mengalami perlakuan diskriminasi, rasialisme dan
penganiayaan.
Pada September 2011,
sebuah kelompok kerja PBB, UN Working Group on Arbitary Dentention,
mengadili kasus Bapa dan memutuskan dia tidak mendapatkan fair trial serta dinyatakan sebagai tahanan politik. Mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk segera dan tanpa syarat membebaskan Bapa.
Namun, pemerintah
menyangkal keberadaan tahanan politik di Indonesia hingga saat ini.
Masalah Bapa dibahas lagi dalam sidang Universal Periodic Review PBB di
Geneva pada Mei 2012. Belasan negara meminta tahanan politik di
Indonesia dibebaskan, sekali lagi pemerintah menolak adanya tahanan
politik.
Selama berada di penjara
Abepura, Jayapura, Bapa beberapa kali mengalami masalah kesehatan,
mulai dari berat badannya yang turun dari 60 kilogram menjadi 49
kilogram akibat sanitasi dan gizi yang buruk di penjara, mengalami sakit
prostat cukup berat, serta radang kronis pada usus besar.
Kami tidak punya banyak
uang untuk biaya pengobatan dia, pemerintah juga tidak dapat menjamin
biaya pengobatannya, namun beberapa simpatisan individu dan organisasi
internasional banyak memberi bantuan sehingga dapat menutupi seluruh
pembiayaan.
Sebagai anak dari Filep
Karma, saya sedih dan kecewa terhadap pemerintah karena hukuman berat
yang diberikan kepada Bapa. Ini memberikan pukulan psikis untuk kami
sekeluarga. Kini ada lebih dari 70 tahanan politik di Papua.
Mereka menyuarakan
aspirasi politik dengan damai, tanpa kekerasan termasuk Bapa. Sebagai
warga negara Indonesia yang bebas mengeluarkan pendapat, saya mohon Anda
menuntut pemerintah SBY segera dan tanpa syarat membebaskan semua
tahanan politik Papua.