STEKMEN POLITIK BANGSA PAPUA BARAT
Bangsa Papua
Barat adalah satu bangsa Rumpun Melanesia yang sangat berbeda dengan
bangsa Indonesia rumpun Melayu, secara
Etnologi maupun Genealogi, bahkan juga dipandang dari segi adat
budaya/tradisi.
Sebab Hubungan antara tanah Papua Barat atau West Nieuw Guinea dengan
negara-negara di Pasifik Selatan adalah satu Rumpun Melanesia yang tidak
dapat
dipisahkan atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena
sebelum
wilayah Papua Barat dicaplok oleh NKRI, Papua Barat selalu menjadi
perhatian
oleh negara-negara di Pasifik Selatan pada saat Belanda Menduduki
wilayah ini. Ketika Papua masih dibawah
kekuasaan Belanda,
hubungan antara tanah Papua atau Nederlands Nieuw Guinea dengan
negara-negara
di Pasifik Selatan selalu menjadi perhatian. Bahkan delegasi dari
Nederlands
Nieuw Guinea yang dipimpin Markus W Kaiseipo telah tiga kali mengikuti
Konfrensi Negara-negara di Pasifik Selatan. Berbeda setelah Papua
menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) sudah 50 Tahun
lebih hubungan dengan
negara-negara Pasifik Selatan terputus, nyaris tak pernah berhubungan.
Kalau
pun ada hubungan diplomatik hanya sekadar basa-basi untuk menghalau
pengaruh
Papua Merdeka di kalangan negara-negara Pasifik terutama di negara
serumpun Melanesia Spearhead Group (MSG).
Negara-negara ini mulai
memprakarsai pertemuan di Canbera yang berlanjut dengan Perjanjian
Canberra
atau Canberra Verdag, 1947. Pasal-pasal pembentukan Pasifik Selatan
sesuai perjanjian
Canberra pada 6 Februari 1947 adalah, Mendirikan Komisi Pasifik
Selatan(
South Pasific Commision), Geografis, daerah –daerahnya meliputi
kepulauan yang
belum berpemerintahan sendiri di Pasifik Selatan, yang letaknya mulai
dari
garis Khatulisitiwa, Nederlands Nieuw Guinea( Papua dan Papua Barat
sekarang),
kemudian dimasukan Guam, dan kepulauan lainnya yang menjadi perwalian
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ada di wilayah Pemerintahan Amerika
Serikat.
Komisi memilih Noumea Ibukota
Kaledonia Baru jajahan Perancis sebagai tempat bermarkasnya Komisi
Pasifik
Selatan. Pendirian Komisi Pasifik Selatan, 1947 ini berlangsung saat
negara-negara di Pasifik Selatan belum merdeka masih dijajah
negara-negara
Belanda, Inggris dan Perancis serta Australia. Sejak itu wilayah di
kawasan
Pasifik Selatan terus melakukan pertemuan guna membicarakan masa depan
Pasifik
Selatan.
Sejak pertama kali delegasi
Nederlands Nieuw Guinea terus mengikuti konferensi Komisi Pasifik
Selatan. Konfrensi-konfrensi di Komisi Pasifik Selatan antara lain :
Konfrensi
Pertama, 1950 di Kota Suva, ibukota Fiji, wilayah jajahan Inggris.
Konfrensi
Kedua, 1953 di Kota Noumea, Kaledonia Baru, wilayah jajahan Perancis.
Konferensi Ketiga, 1956 di Suva Ibukota Fiji. Konferensi keempat, 1959
di
Rabaul, Papua New Guinea. Konferensi ke lima, 1962 di Pago-pago Ibukota
Samoa
Timur, wilayah jajahan Amerika Serikat.
Melanesian Spearhead Group (MSG)
dibentuk berdasarkan “Agreed Principles of Cooperation Among Independent
States of Melanesia”
yang ditandatangani di Port Vila pada 14 Maret 1988. MSG beranggotakan
Fiji, Front de liberation nationale kanak et
socialiste (FLNKS) Kaledonia Baru, Papua Nugini, Solomon Islands, dan
Vanuatu.
Konferensi ke enam,
1965, direncanakan di Hollandia, Nederlands Niuw Guinea tetapi
dibatalkan
karena wilayah ini masuk ke delam wilayah NKRI. 1 Mei 1963. Sejak itu
hubungan
Provinsi Irian Barat dengan Komisi Pasifik Selatan terputus. Bahkan
beberapa
pemuda yang ikut belajar di Fakultas Kedokteran dan Telekomunikasi di
Papua New
Guniea (PNG) tak pernah kembali dan tetap di sana sebagai warga negara
di PNG. Usai
Perang Dunia Kedua, prakarsa untuk membangun negara-negara kecil yang
belum
merdeka di Pasifik Selatan mengemuka. Terutama negara-negara yang
menguasai
kawasan itu seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda ,
Selandia Baru
dan Australia.
Berbeda setelah Bangsa Papua Barat di Aneksasi oleh NKRI
Pendekatan HAM (human security) di Papua menitik beratkan pada
politik dan
penahanan wilayah untuk keutuhan NKRI. dan sistem hukum dan penegakan
hukum
menjadi ancaman terhadap HAM dan sistem
demokrasi di Indonesia, sebagaimana tercantum di dalam Deklarasi
Universal
Hak Asasi Manusia 1948 yang telah diratifikasi
oleh Indonesia yakni
tentang Hak individu (Hak hidup, pengakuan
kesetaraan di mata hukum, hak perlindungan dari diskriminasi berbasis
ras,
jenis kelamin, etnis, kelompok dan agama). Hak legal (Akses
terhadap perlindungan hukum, hak untuk mendapatkan proses hukum yang
legal, sah
dan netral). Hak kebebasan sipil (Kebebasan
berpikir, berpendapat dan menjalankan ibadah agama/kepercayaan) sama
sekali
tidak diberlakukan bagi rakyat Papua. Indonesia tidak menghormati (to
respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect)
hak asasi manusia di Papua termasuk melalui kebijakan di sektor keamanan
dan
implementasinya.
Sebagai Negara
demokrasi, Indonesia telah mengakui HAM warga negaranya didalam UUD’45,
UU
No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM.
Selain itu ada ratifikasi instrumen
internasional, seperti Undang Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang
Pengesahan Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or
Regarding
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan
Martabat Manusia) dan Ratifikasi terhadap Konvenan Hak- hak Sipil dan
Politik,
menjadi UU No. 12 Tahun 2005. Walaupun demikian, tak ada satupun dari
berbagai
intrumen ini yang berlaku efektif, baik dari sisi penegakan maupun
penerapannya. Kita
semua sedang mengikuti situasi yang melanda hak hidup rakyat Papua di
atas
tanah Papua, dimana hak politik perjuangan bangsa Papua disumbat oleh
kekerasan
Negara melalui TNI/Polri. Berdasarkan hal tersebut diatas kami rakyat
papua
barat menyatakan sikap sebagai berikut:
1. 1. Kami Bangsa Papua Barat
membutukan dukugan penuh saudara-sadari
Melanesia untuk mengembalikan status
wilayah Papua barat sebagai kenggotan Resmi dalam Forum Melanesia Spearhead
Group (MSG) dan Mendukung Sikap Negara-Negara
Rumpun Melanesia
untuk Menjadikan Papua Barat Anggota Melanesian Spearhead Groups (MSG).
2. 2. Kami
mendesak kepada Negara-negara Melanesia meninjau kembali Perjanjian Canberra
atau Canberra Verdag, 1947. Pasal-pasal pembentukan Pasifik Selatan
sesuai perjanjian
Canberra pada 6 Februari 1947 adalah, Mendirikan Komisi Pasifik
Selatan(
South Pasific Commision), Geografis, daerah –daerahnya meliputi
kepulauan yang
belum berpemerintahan sendiri di Pasifik Selatan,
3.
3. West
Papua Zona pengawasan Hak Asasi Manusia dan Mendesak UN segera
Intervensi
4.
4. Mendesak
kepada pelopor Khusus PBB dan jurnais internasional segera turun ke
Papua Barat
5. 5. Mendesak
memita kepada semua pihak yang berkopoten segera membuka Ruang demokrasi
seluas-luasnya, hentikan kekerasan di papua barat dan Memberikan
Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua
SSumber : www.papuapost.com