Ekskalasi pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua terus
meningkat 10 tahun belakangan ini, hampir seluruhnya dilakukan oleh
penyelenggara negara, yakni, aparat TNI dan Polri terhadap penduduk asli
Papua.
“Ini baik yang bersifat sistematis maupun struktural, karena itu
cukup menjadi dasar orang Papua menuntut hak menentukan nasib sendiri,”
kata Direktur Eksekutif LP3BH, Yan Christian Warinussy, dalam siaran
pers yang dikirim kepada redaksi suarapapua.com, Minggu (19/5/2013).
Menurut Warinussy, hal itu sangat sejalan dengan ketentuan hukum
dalam pasal 3 dari Deklarasi Perseerikatan Bangsa (PBB) tentang Hak dari
Bangsa Pribumi (Indigenous Peoples), serta Undang Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Kovenan Internasional
tentang hak Hak Sipil dan Politik maupun Hak-hak Sosial dan Budaya.
“Tindakan pelanggaran HAM yang bersifat sistematis dalam bentuk
tindakan yang menggunakan kekerasan bersenjata api dan mengakibatkan
jatuh korban di masyarakat adat/sipil Papua selama ini, terakhir dalam
kasus penembakan terhadap warga sipil di Aimas, Sorong, Timika dan
Biak.”
“Ini adalah bentuk-bentuk tindakan yang semestianya dapat dihindari
dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sosial,” kata Warinussy, yang
juga pengacara senior di Papua Barat.
Warinussy juga menyoroti tindakan aparat keamanan yang terus
membatasi ruang gerak dan demorkasi di tanah Papua dengan melarang aksi
demo yang dilakukan warga Papua.
“Aturan hukum Indonesia menjamin kebebasan berekspresi dan
menyampaikan pendapat, jika ada larangan dari aparat keamanan, ini juga
termasuk pelanggaran HAM berat,” katanya.
Dikatakan, soal hak menentukan nasib sendiri, barang tentu dapat
ditempuh dengan upaya-upaya diplomasi politik yang santun, elegan dan
tidak bersifat provokasi dan secara holistik integral bersama diantara
Orang Papua sebagai sebuah gerakan politik, dan bukan atas dasar
kepentingan organisasi atau ativis kelompok perjuangan tertentu saja.
“Langkah politik dan tuntutan atas pelanggaran HAM yang sistematis
dan struktural tersebut dapat dilakukan dengan mengikuti saran dari
Sekretaris jenderal PBB Ban Ki Mon dalam bulan September 2011 di
Auckland, Selandia Baru.”
“Dimana Sekjen PBB kala itu mengatakan bahwa dalam penyelesaian
persoalan di Papua mengenai masalah pelanggaran HAM harus di bawa dan
dibicarakan di Dewan HAM PBB, sedangkan soal hak politik dalam penentuan
nasib sendiri dapat dibawa untuk dibahas pada Komisi Dekolonisasi yang
ada di bawah Majelis Umum PBB (General Assembly of United Nation),”
tutupnya.