Hari Kebebasan Pers Dunia, 3 Mei 2013 awal bulan ini, mari
menohok pengabdian sahabat jurnalis di Papua. Glamaur kebebasan pers
akhir akhir ini merebak dimana mana, bahkan aturan legal bagi dunia
peliputan berita sudah banyak di keluarkan negara demi satu tujuan,
perlindungan dan terlebih lagi kebebasan bagi pers itu mutlak.
Kenyataannya justru miris dengan nasib wartawan yang bertugas du pulau
paling timur Indonesia, Papua dan Papua Barat.
Sedih, merinding, kecewa campur penyesalan seketika
nasib kesejahteraan pers disini mengerikan. Meliput di medan yang luas,
saranan transportasi yang minim, gaji mereka pun tak sesuai prosedur
gaji yang ditetapkan oleh Undang undang. Jasa yang tak bisa di
sepelekan, jatuh bangun, bertempur via udara hanya mengirim sebuah
tulisan kepada dunia tentang peristiwa peristiwa Papua.
Jubi Papua,
3/5 merilis secara jelas kondisi kesejahteraan jurnalis Papua yang di
sampaikan Aliansi Jurnalis Independen, AJI Jayapura. Pada peryaan atau
evaluasi di hari kebebasan pers sedunia berikut kutipan dari Papua;
Jujur saja. Upah layak jurnalis di Indonesia sangat rendah, termasuk di Papua. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura, Papua, mengeluarkan upah layak 2011 bagi jurnalis di daerah itu sebesar Rp 6,4 juta per bulan. Tapi kenyataannya, upah layak yang diterima jurnalis di Papua berada jauh di bawah angka itu. Malah ada yang hanya bermodalkan kartu pers, alias tak digaji. Sehingga si jurnalis mencari “upahnya” sendiri dengan meminta dari narasumber atau pihak lain.
Pendapatan pejuang berita ini hanya
berasal dari pemilik media tersebut. Gaji yang kurang memadai karena
kondisi pemilik media yang kecil modalnya bahkan tak luput dari acuhnya
pemilik media untuk memperhatikan kesejahteraan.
Tak adanya standar upah jurnalis, membuat
perusahaan media sering menggunakan patokan upah minimum regional (UMR)
sebagai dasar menggaji karyawannya. Bahkan ada yang jauh di bawah UMR.
Padahal memakai standar UMR saja, jelas tak memadai. Ini dikarenakan
standar UMR jauh memenuhi kebutuhan minimal orang yang bekerja sebagai
jurnalis. Adanya standar penggajian yang jelas, kiranya cukup logis
karena besarnya tanggungjawab profesi jurnalis.
Tingkat kesejahteraan pemilik media sangat jauh
berbeda dengan jurnalis atau karyawannya. Para pemilik media seakan tak
peduli kesejahteraan karyawan atau jurnalisnya, termasuk peningkatan
kapasitasnya. Belum lagi ada perusahaan media yang sebenarnya tak
memiliki modal cukup sebagai perusahaan media, tapi “nekad” ikut terjun
dalam bisnis media.
Sehingga tak jarang untuk menambah penghasilan
perusahaan media, jurnalis harus berperan ganda menjadi pencari iklan.
Hubungan baik dengan narasumber dan iming-iming citra yang baik
digunakan umpan untuk mengail iklan. Walau sejumlah media melarang keras
para jurnalisnya mencari iklan. Tapi tak sedikit pula memanfaatkan
jurnalisnya memburu iklan.
Apa yang disampaikan diatas merupakan wujud dari
keprihatinan kita bersama dalam menata masa depan pejuang berita untuk
meneggak hak upah, hak dalam kebebasan berita dan peliputan. Apa yang
dialami wartawan merupakan luka bagi Papua. Demi Papua mereka (insan
pers) tetap eksis sampai sekarang.
Luka Bagi Papua
Corong bagi kebebasan demokrasi, ikut menyampaikan
pesan Papua Damai, terlibat dalam penegakan HAM, partisipasi pada
pembangunan Papua yang diselenggarakan oleh otsus, bahkan nyaris
mengangkat isu isu pelanggaran lingkungan hidup, korupsi dan masih
banyak lagi. Semuanya demi Papua.
Tulisan soal pers perlu diangkat kembali dari
sebelumnya bagaimana nasib pers di bumi Papua. Kadang menghadapi
kekerasan aparat negara, penghilangan nyawa bahkan intimidasi oleh oknum
oknum perusahaan raksasa di Papua membuat idelaisme jurnalis dalam
mewujudkan kebebasan pers kian sirna. Belum lagi, benturan gaji yang
menjadi akomodasi peliputan berita tak memadai, oh sungguh tragis.
Berikut tulisan sebelumnya tentang pers di Papua yang sudah di angkat disini:
Media kian hari makin tumpul saja moncongnya bila
praktik pembiaran terus terjadi. Nyawa di moncong senjata, gaji tak
layak, represifitas yang kuat, bahkan dominasi orang orang yang terus
menindas kebebasan pers kian berkembang dan menjadi ancaman tersendiri.
Pemukulan, penganiayaan, teror, adalah makanan sehari hari kawan kawan
di ufuk timur indonesia.
Sudah sering dilarang masuk areal perusahaan, di
tuduh sebagai pendukung organisasi papua merdeka, gaji juga tak sesuai
dengan daya hidup Papua yang tinggi, berita yang mereka liput terus
mendapat teror sana sini, mau berlindung pun kemana karena pusat
perlindungan dan kontrol publik semuanya ada di pusat ibu kota negara,
kasian sekali.
Permasalahan tersebut kemudian menimbulkan
keterpecahan di tubuh jurnalis. Mereka ini lalu mengelompokkan diri
dengan sebutan, wartawan plat merah, wartawan plat kuning dan plat
hitam. Lagi, wartawan 86 sebutan kepada yang mendapat amplop dari
perusahaan tertentu untuk tutup mulut dan masih banyak lagi.
Keterbatasan yang dimiliki di daerah terpencil pun
menuai persepsi negatif, semacam baku jual informasi, entah kepada
tentara maupun polisi bahkan kepada OPM bukan hal asing. Tetapi semuanya
dilakukan demi keterbukaan informasi yang berimbang, terpercaya dan
akurat. Beda kalau ada sempalan wartawan yang ngaku ngaku diri, justru
tambah mencoreng nama baik dan kinerja pers hari ini, masa lalu dan akan
datang.
Permasalahannya adalah ada apa dibalik Politik
privatisasi media yang kian menyengsarakan ini. Dewan Pers telah
menghadirkan Standar Perusahaan Pers yang bertujuan membuat standarisasi
badan hukum atau perusahaan pers, sebagai pemilik dan pengelola
penerbitan media cetak. Butir 5 Standar Perusahaan Pers versi Dewan Pers
menyebutkan, perusahaan pers harus memiliki modal dasar paling sedikit
Rp 50 juta, jumlah modal dasar yang sama dengan yang diatur
Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Sebagai seorang yang sering dekat dengan jurnalis
Papua, kondisi mereka yang kian keropos semacam itu menggoreskan hati.
Idiom kebebasan pers, kemerdekaan pers, independensi pers atau
keberpihakan media pada rakyat, sungguh hanya menjadi slogan sampai
kiamat bila keresahan yang dihadapi kaum peliput berita tak kunjung
diselesaikan. Selamat hari kebebasan pers sedunia untuk rekan rekan di
Papua. Demi Papua, kalian tetap kokoh ditengah keterbatasan. MERDEKA!
Sumber : www.umaginews.com
Sumber : www.umaginews.com