Ilusterasi Kekerasan Polisi Di West PApua |
Jayapura – Penyelidikan
terhadap laporan pelanggaran yang dilakukan polisi amat langka, dan
polisi sering membuat pengadu tunduk pada intimidasi dan pelecehan dalam
pemeriksaan.
T. Kumar, Direktur Adokasi Internasional Amnesty International AS
memberikan kesaksiannya tentang Akuntabilitas dan Dugaan Pelanggaran HAM
di Indonesia di hadapan Komisi HAM Parlemen AS. Sebagian kesaksiannya
itu, tentang Akuntabilitas dan Dugaan Pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh Polisi di Papua. Berikut bagian tentang Papua dari kesaksian yang
disampaiakan kemarin (Kamis, 23/5) waktu Washington DC.
“Amnesty International terus menerima laporan yang dapat dipercaya
mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi di Indonesia,
termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan penganiayaan,
penggunaan kekuatan dan senjata api yang tidak perlu dan berlebihan saat
melakukan penangkapan dan selama demonstrasi, dan kegagalan untuk
melindungi korban pelanggaran hak asasi manusia.
Penyelidikan terhadap laporan pelanggaran yang dilakukan polisi amat
langka, dan polisi sering membuat pengadu tunduk pada intimidasi dan
pelecehan dalam pemeriksaan. Mekanisme disiplin internal kepolisian saat
ini tidak memadai untuk menangani pelanggaran pidana yang merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan sering tidak diketahui oleh
masyarakat. Selanjutnya, badan pengawasan eksternal kepolisian tidak
memiliki wewenang yang memadai untuk membawa mereka yang bertanggung
jawab atas pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan.
Tujuh orang dilaporkan disiksa di Provinsi Papua pada Februari 2013
saat mereka diinterogasi oleh polisi tentang keberadaan dua aktivis
pro-kemerdekaan. Menurut sumber yang dapat dipercaya, polisi berpakaian
sipil secara sewenang-wenang menangkap Daniel Gobay dan dua pria lainnya
pada pagi hari, 15 Februari 2013 di Depapre, Provinsi Papua. Ketiga
orang itu pertama kali dipaksa merangkak sejauh 30 meter ke kantor
polisi sektor Depapre dan kemudian pindah ke kantor polisi distrik
Jayapura satu jam kemudian. Di sana mereka kemudian dipaksa untuk
push-up, ditendang di wajah, kepala dan punggung, dan dipukuli dengan
tongkat rotan. Polisi diduga menodongkan senjata ke kepala mereka, mulut
dan telinga. Mereka diinterogasi sampai larut malam dan berlanjut pagi
hari berikutnya.
Matan Klembiap dan tiga pria lain secara sewenang-wenang ditangkap
secara terpisah oleh polisi berpakaian preman pada pagi hari 15 Februari
di Depapre dan dibawa ke kantor polisi Jayapura kabupaten. Keempat
orang juga dipaksa untuk push-up dan ditendang dan dipukuli dengan
tongkat rotan dan balok kayu oleh petugas polisi. Salah seorang pria
telah bersaksi di video bahwa polisi memberinya kejutan listrik.
Pada 16 Februari, lima dari
orang-orang itu dibebaskan tanpa dakwaan, tapi Daniel Gobay dan Matan
Klembiap ditahan polisi. Mereka tahan dengan tuduhan
“kepemilikan senjata tajam”
berdasarkan Peraturan Darurat No 12/1951 dan saat ini sedang menunggu sidang.
Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi terhadap demonstran di Papua:
Pada tanggal 23 Oktober 2012, sekitar 300 orang berkumpul untuk
sebuah demonstrasi pro-kemerdekaan yang diselenggarakan oleh Komite
Nasional Papua Barat (KNPB)
di depan Universitas Negeri Papua di Manokwari, Provinsi Papua Barat.
Polisi Sektor Manokwari dan personil militer mencegah mereka untuk
melanjutkan sepanjang jalan. Menanggapi batu yang dilemparkan oleh
beberapa pengunjuk rasa, polisi melepaskan tembakan tanpa pandang bulu,
melepaskan tembakan ke udara dan ke arah kerumunan. Beberapa demonstran
melaporkan bahwa mereka dipukuli oleh polisi.
Setidaknya sebelas demonstran dilaporkan terluka, empat dari mereka
menderita luka tembak. Seorang wartawan, Oktovianus Pogau, yang sedang
meliput demonstrasi, menyatakan bahwa ia diserang oleh polisi. Salah
satu dari polisi memegang tenggorokannya sementara yang lain meninju
wajahnya saat ia mencoba untuk mengambil kartu pers untuk ditunjukan
kepada mereka. Setidaknya lima polisi juga dilaporkan menderita
luka-luka. Indonesia belum sepenuhnya memasukkan definisi penyiksaan
dalam KUHP nya, sehingga gagal memenuhi kewajibannya sebagai negara
pihak Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (UNCAT). Kurangnya
ketentuan-ketentuan hukum yang memadai mengenai
“tindakan penyiksaan” menciptakan celah yang memiliki konsekuensi yang menghancurkan. Ini tidak memberikan dasar hukum yang memadai di mana agen-agen negara dapat dibawa ke pengadilan. Lebih lanjut hukum gagal untuk memberikan efek jera untuk mencegah agen negara melakukan tindakan tersebut.”
(Jubi/Benny Mawel)
Sumber : http://papuapost.com/?p=7655