Pages

Pages

Rabu, 08 Mei 2013

INSIDEN SORONG : KAPOLDA, PANGDAM DAN GUBERNUR, BERTINDAK INKONSTITUSIONAL

Okctovianus Mote (pacific.scoop.co.nz)
Jayapura, 07/05 – Tim Negosiasi Jaringan Damai Papua mengutuk penembakan yang menandai perayaan 50 tahun penyerahan Papua kepada Indonesia oleh UNTEA.

“Setelah larangan untuk menandai peringatan oleh Kapolda Papua dan disahkan oleh Gubernur Papua, operasi gabungan polisi dan tentara Indonesia dikerahkan untuk mencegah orang Papua menggunakan hak konstitusional mereka demi kebebasan berbicara dan berkumpul. Di Sorong pada malam peringatan, operasi gabungan menembak mati dua orang Papua: Abner Malagawak (22) dan Bapak Thomas Blesia (22). Tiga orang lainnya luka berat dan sekarang berada dalam kondisi kritis di rumah sakit setempat: Ibu Salomina Klaibin (31), Herman Lokmen (18), dan Bapak Andreas Safisa (24).” tulis Oktovianus Mote, salah satu dari lima orang tim negosiasi dialog Jakarta – Papua, via email kepada Jubi, Selasa (07/05) malam.

Di Jayapura, lanjut Mote, sebuah operasi gabungan yang sama dikerahkan untuk membubarkan orang-orang yang berkumpul di sekitar makam pemimpin Papua, Theys H. Eluay. Tidak ada yang dilaporkan terluka namun penembakan itu memicu ketakutan dan mengintensifkan kemarahan di kalangan rakyat terhadap pemerintah Indonesia. Di Biak, polisi menangkap dan menahan sepuluh warga sipil Papua karena mereka mengibarkan Bendera Bintang Kejora.

“Bercermin pada insiden kekerasan tersebut, kami diingatkan insiden serupa 50 tahun yang lalu ketika nenek moyang dan ibu kami dianiaya saat mereka menolak keputusan penyerahan Papua dari Belanda ke UNTEA dan akhirnya ke Indonesia di bawah Perjanjian New York tahun 1962. Selama perumusan dan pelaksanaan dari perjanjian ini, nenek moyang dan ibu kami tidak pernah dilibatkan.” ujar Mote.

Mote, yang pernah menjadi wartawan salah satu harian terbesar di Indonesia ini menjelaskan jika penyerahan administrasi adalah sejarah dan beberapa sejarawan terkenal di dunia dan ahli hukum telah membuktikan bahwa penyerahan administrasi oleh UNTEA itu cacat.

“Oleh karena itu, kami percaya bahwa di bawah demokrasi Indonesia dan aturan hukum, Papua berhak untuk mengingat sejarah mereka sendiri sebagai bagian dari identitas mereka. Insiden terakhir, bagaimanapun, mengungkapkan kepada kita realitas yang berlawanan. Papua tetap diperlakukan sebagai penduduk, bukan sebagai warga negara.” jelas Mote.

Mote dalam hal ini menghimbau kepada Pemerintah Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban pelaku penembakan dan komandan yang bertanggung jawab, termasuk Kapolda Papua, Pangdam XVII Cenderawasih dan Gubernur Papua. Mote juga menuntut permintaan maaf secara luas dari Kapolda Papua, Pangdam XVII Cenderawasih dan Gubernur Papua karena telah melakukan tindakan inkonstitusional dalam menekan hak-hak sipil dan politik rakyat Papua. Negara juga harus meberikan kompensasi dan reparasi bagi keluarga korban karena tragedi penderitaan mereka akibat tindakan polisi dan operasi militer;

“Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia harus melakukan investigasi dan melaporkan hasilnya kepada publik. Dan pemerintah sudah saatnya mengambil tindakan konkrit untuk memulai negosiasi perdamaian dengan rakyat Papua yang diwakili oleh Tim Negosiasi Jaringan Damai Papua.” terang Mote.

Tak lupa, Mote menyampaikan apresiasinya terhadap keprihatinan serius dari Komisaris Tinggi HAM PBB Navi Pillay, yang secara konsisten menarik perhatian masyarakat internasional terhadap isu Papua. (Jubi/Benny Mawel)

Sumber :  tabloidjubi.com