Okctovianus Mote (pacific.scoop.co.nz) |
Jayapura, 07/05 – Tim Negosiasi Jaringan Damai Papua
mengutuk penembakan yang menandai perayaan 50 tahun penyerahan Papua
kepada Indonesia oleh UNTEA.
“Setelah larangan untuk menandai peringatan oleh Kapolda Papua dan
disahkan oleh Gubernur Papua, operasi gabungan polisi dan tentara
Indonesia dikerahkan untuk mencegah orang Papua menggunakan hak
konstitusional mereka demi kebebasan berbicara dan berkumpul. Di Sorong
pada malam peringatan, operasi gabungan menembak mati dua orang Papua:
Abner Malagawak (22) dan Bapak Thomas Blesia (22). Tiga orang lainnya
luka berat dan sekarang berada dalam kondisi kritis di rumah sakit
setempat: Ibu Salomina Klaibin (31), Herman Lokmen (18), dan Bapak
Andreas Safisa (24).” tulis Oktovianus Mote, salah satu dari lima orang
tim negosiasi dialog Jakarta – Papua, via email kepada Jubi, Selasa
(07/05) malam.
Di Jayapura, lanjut Mote, sebuah operasi gabungan yang sama
dikerahkan untuk membubarkan orang-orang yang berkumpul di sekitar makam
pemimpin Papua, Theys H. Eluay. Tidak ada yang dilaporkan terluka namun
penembakan itu memicu ketakutan dan mengintensifkan kemarahan di
kalangan rakyat terhadap pemerintah Indonesia. Di Biak, polisi menangkap
dan menahan sepuluh warga sipil Papua karena mereka mengibarkan Bendera
Bintang Kejora.
“Bercermin pada insiden kekerasan tersebut, kami diingatkan insiden
serupa 50 tahun yang lalu ketika nenek moyang dan ibu kami dianiaya saat
mereka menolak keputusan penyerahan Papua dari Belanda ke UNTEA dan
akhirnya ke Indonesia di bawah Perjanjian New York tahun 1962. Selama
perumusan dan pelaksanaan dari perjanjian ini, nenek moyang dan ibu kami
tidak pernah dilibatkan.” ujar Mote.
Mote, yang pernah menjadi wartawan salah satu harian terbesar di
Indonesia ini menjelaskan jika penyerahan administrasi adalah sejarah
dan beberapa sejarawan terkenal di dunia dan ahli hukum telah
membuktikan bahwa penyerahan administrasi oleh UNTEA itu cacat.
“Oleh karena itu, kami percaya bahwa di bawah demokrasi Indonesia dan aturan hukum, Papua berhak untuk mengingat sejarah mereka sendiri sebagai bagian dari identitas mereka. Insiden terakhir, bagaimanapun, mengungkapkan kepada kita realitas yang berlawanan. Papua tetap diperlakukan sebagai penduduk, bukan sebagai warga negara.” jelas Mote.
Mote dalam hal ini menghimbau kepada Pemerintah Indonesia untuk
meminta pertanggungjawaban pelaku penembakan dan komandan yang
bertanggung jawab, termasuk Kapolda Papua, Pangdam XVII Cenderawasih dan
Gubernur Papua. Mote juga menuntut permintaan maaf secara luas dari
Kapolda Papua, Pangdam XVII Cenderawasih dan Gubernur Papua karena telah
melakukan tindakan inkonstitusional dalam menekan hak-hak sipil dan
politik rakyat Papua. Negara juga harus meberikan kompensasi dan
reparasi bagi keluarga korban karena tragedi penderitaan mereka akibat
tindakan polisi dan operasi militer;
“Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia harus melakukan investigasi dan melaporkan hasilnya kepada publik. Dan pemerintah sudah saatnya mengambil tindakan konkrit untuk memulai negosiasi perdamaian dengan rakyat Papua yang diwakili oleh Tim Negosiasi Jaringan Damai Papua.” terang Mote.
Tak lupa, Mote menyampaikan apresiasinya terhadap keprihatinan serius
dari Komisaris Tinggi HAM PBB Navi Pillay, yang secara konsisten
menarik perhatian masyarakat internasional terhadap isu Papua. (Jubi/Benny Mawel)
Sumber : tabloidjubi.com