Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang Sebuah lubang peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang Dia tidak ingat bilamana dia datang Kedua lengannya memeluk senapang Dia tidak tahu untuk siapa dia datang Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang wajah sunyi setengah tengadah Menangkap sepi padang senja Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu Dia masih sangat muda Hari itu, hujan pun mulai turun Orang-orang ingin kembali memandangnya Sambil merangkai karangan bunga Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang Sebuah peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda
demi negeri Wes Papua kau korbankan waktumu demi bangsa rela kau taruhkan nyawamu maut menghadang didepan kau bilang itu hiburan
nampak raut wajahmu tak segelintir rasa takut semangat membara dijiwamu taklukkan mereka penghalang negeri
hari-harimu diwarnai pembunuhan, pembantaian dihiasi bunga-bunga api mengalir sungai darah disekitarmu bahkan tak jarang mata air darah itu muncul dari tubuhmu namun tak dapat runtuhkan tebing semangat juangmu
yang setia menemanimu kaki telanjang tak beralas pakain dengan seribu wangi basah dibadan kering dibadan kini menghantarkan Papua Barat kedalam istana kemerdekaan .
Karya Juru bicara (Jubir) Komite Nasional Papua Barat