lustrasi penegakan HAM |
Nabire —Dalam rangka memperingati Hari
Hak Asasi Manusia (HAM) se-Dunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember,
puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran
HAM menggelar Aksi Bisu di Nabire, Senin (10/12). Aksi ini dimulai
dengan melakukan longmarch dari Taman Makam Pahlawan atau depan Taman
Gisi menuju ke Kantor Bupati Nabire. Kemudian kembali lagi atau berakhir
di depan Taman Gisi.
Penanggungjawab Aksi Bisu, Frans Tomoki mengatakan, aksi ini
dimaksudkan untuk menuntut pemerintah Indonesia segera menyelesaikan
berbagai pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua. “Sejak Papua
dianeksasi ke dalam tangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
telah terjadi banyak pelanggaran, di antaranya, pembantaian, penculikan,
pembunuhan, penyiksaan pemerkosaan dan pemenjarahan terhadap rakyat
Papua yang tidak berdosa dilegalkan dan labelisasi separatis. Sehingga,
negara yang penuh demokrasi seperti Indonesia, segera tuntaskan dan
bertanggung jawab atas semua kasus pelanggran HAM di tanah Papua, serta
segera adili para pelakunya,” katanya.
Menurut Frans, berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM itu, dilakukan
melalui beberapa operasi, seperti Operasi Sadar (1965-23 Maret 1966),
Operasi Baratha Yudha (23 Maret 1966-1967), Operasi Wibawa (1967-1969),
Operasi Pamungkas (1969-1971), pembantaian terhadap masyarakat Dani
(1977), Operasi Koteka (1980-an), hingga berbagai operasi yang mewadahi
penembakan-penembakan misterius di seluruh tanah Papua. “Dari sekian
kasus penggaran HAM berat yang terjadi di tanah Papua, tidak ada satupun
kasus yang pernah di selesaikan Negara Indonesia. Malah, negara
melindungi para pelaku kekerasan tersebut,” kata Frans, jebolan
Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang ini, di hadapan belasan massa
aksi bisu, Senin (10/12).
Frans mengatakan, ekskalasi konflik meningkat dua tahun terakhir di
seluruh tanah Papua, mulai dari pembunuhan misterius, penembakan dan
penyiksaan di beberapa daerah, tapi pihak aparat keamanan tak
mengungkapkan motif dan pelakunya. “Kondisi ini sangat membingunkan
publik. Situasi ini sengaja diciptakan mendiskriditkan orang Papua
sebagai pelaku kekerasan, agar dapat diarahkan konflik sosial-politik
yang ada ke arah isu SARA antara warga pribumi dan non-pribumi.
Contohnya dalam bulan November 2012, telah ditemukan sembilan mayat di
Kabupaten Nabire, tapi pihak aparat belum temukan pelakunya,” katanya.
Lebih lanjut Frans memaparkan, sudah 51 tahun Papua di dalam NKRI,
tapi pemerintahan Indonesia tak mampu memberdayakan rakyat Papua, malah
rakyat Papua diberikan kebijakan yang sangat identik dengan
militeristik, sehingga rakyat masih diintimidasi hingga sekarang.
“Kekejaman kebijakan negara atas hak hidup rakyat Papua semakin sirna
ditelang sang penguasa. Seakan-akan rakyat Papua tak memiliki hak hidup,
karena telah dirampas rezim pemerintah,” katanya. (Jubi/Ones Madai)
Sumber : tabloidjubi.com