Sejumlah masyarakat Distrik Kwoor,
Kabupate Tambrauw,
Papua Barat, yang menderita gizi
buruk dan sakit penyakit
(Foto: Facebook.com)
|
Oleh : Naftali Edoway*
Beberapa waktu terakhir ini kita disuguhi berita kematian manusia di
Kabupaten Tambrauw akibat busung lapar yang menimpa wilayah tersebut.
Misteri kematian ini terungkap dalam laporan yang disampaikan oleh
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya.
Dalam laporan itu disampaikan bahwa Sejak November 2012 ada sekitar
553 warga menderita sakit gizi buruk. Dan 95 orang lainnya telah
meninggal dunia[1]. Lalu kita bertanya, dimanakah pemerintah?
Banyak pemekaran kabupaten/kota di Tanah Papua dilakukan dengan dalih
mempersingkat dan mempermudah rentang kendali pemerintahan, membuka
keterisolasian daerah dan mensejahterakan rakyat. Namun dalam realitanya
pemekaran itu justru menambah beban penderitaan rakyat dari berbagai
sisi kehidupan.
Ada banyak kasus yang terjadi di Papua, misalnya meninggalnya 173
orang lantaran Wabah Kolera di Kabupaten Dogiyai antara April hingga
Juni 2008. Kasus Kelaparan di Yahukimo yang menewaskan 90-an orang dalam
tahun 2009. Matinya 47 orang warga sipil dan ratusan orang yang
menderita luka-luka akibat konflik Pilkada di kabupaten Puncak Papua
sejak Agustus 2011 dan kasus kematian akibat busung lapar di Tambrauw
ini.
Semua kasus itu sesungguhnya mengajarkan kita bahwa pemekaran
bukanlah jaminan bagi kesejahteraan dan keberlanjutan hidup manusia
Papua di atas Tanahnya. Apalagi jika pemekaran itu dilakukan di atas
dasar ego dan kepentingan, bukan dengan suara nurani rakyat.
Dalam tahun 2005, Foker LSM Papua pun melaporkan bahwa keadaan gizi
masyarakat di Papua mengalami keterpurukan. Angka kematian ibu dan anak
di Papua sangat tinggi, bahkan diperkirakan sebanyak 578 ibu di Papua
meninggal setiap tahunnya, sementara angka kematian balita yakni 64/1000
kelahiran hidup. Rupanya Otsus bukannya menjawab masalah tapi menambah
masalah.
Anehnya, ada realita hidup seperti itu di tanah Papua, tapi
pemerintah tak punya inisiatif untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan
terjadinya kasus yang sama. Pengalaman di masa lalu tidak pernah
dijadikan guru yang baik dalam membangun rakyatnya? Atau mungkin mereka
sama sekali buta dengan peristiwa-peristiwa diatas? Atau tahu tapi
apatis?
Adalah kebiasaan pejabat NKRI, yakni menghabiskan trilyunan uang
hanya untuk belanja birokrasi, bahkan anggaran belanja publik pun selalu
tersedot kesana. Akibatnya pelayanan ke publik tidak berjalan
semestinya. Itu jugakah yang terjadi di Tambrauw sehingga masih ada saja
rakyat yang mati di atas trilyunan dana pembangunan? Entalah!
Menanggapi pemberitaan oleh berbagai media, bupati Tambrauw, Gabriel
Asem sempat mengakui bahwa memang ada kasus kurang gizi dan kematian
warga sejak 2012 berjumlah 15 orang[2].
Namun itu sudah ditangani. Sementara itu, Gubernur Papua Barat, Abraham
Octovianus Atururi pun mengakui bahwa ada 4 warga yang meninggal akibat
busung lapar itu[3].
Anehnya, pengakuan dari kedua pejabat daerah atas jumlah kematian
warga itu berbeda. Mungkin ini petunjuk bahwa koordinasi diantara mereka
tidak berjalan atau barangkali hanya untuk menutup dosa struktural yang
mereka perbuat. Hal lainnya bahwa peristiwa itu sudah terjadi sejak
tahun 2012 lalu, namun dibiarkan hingga kasusnya terbuka ke permukaan
baru diambil tindakan.
Terlepas dari itu, yang terpenting adalah ada manusia yang mati
(entah berapa pun itu) lantaran tidak adanya perhatian dari pemerintah.
Manusia yang seharus hidup justru dimatikan karena hak asasi mereka
dirampas dengan pelayanan yang tak menyentuh persoalan. Mereka bahkan
mati di bawah konstitusi negara (UUD1945) yang mengkampayekan jaminan
hidup bagi tiap warga negaranya namun diabaikan. Itu artinya bahwa
negara tidak pernah serius mengurus orang Papua.
Tidak adanya perhatian yang serius dari pemerintah terhadap rakyat
Papua yang kemudian menuai kematian dalam jumlah yang banyak ini,
menunjukan bahwa pertama, ada pembiaran yang dilakukan
negara/pemerintah. Ini terlihat dengan sikap pemerintah yang tidak
dengan cepat mengatasi masalah walaupun sudah ada indikasi awalnya.
Kedua, pembangunan di Papua bias pengusaha dan pemerintah. Akibatnya
banyak rakyat yang mati dalam lumbung Otsus, APBD, APBN, dll. Ketiga,
Otsus memang telah gagal dan terus menunju kegagalan. Keempat, UP4B yang
dipaksakan hadir di Tanah Papua pun tak menjawab masalah.
Lalu, apa yang bisa dilakukan pemerintah guna menjawab kompleksnya
permasalahan di Papua? barangkali dialog adalah salah satu solusi. Namun
kita bertanya lagi, apakah Jakarta mau dialog dengan orang Papua?
sementara Jakarta masih mencurigai ide dialog yang dikemukakan rakyat
Papua. Meskipun demikian, apa pun solusinya, permasalahan di tanah Papua
yang bagaikan benang kusut ini harus diurai sampai tuntas demi
kemanusiaan.
*Penulis pemerhati masalah sosial di tanah Papua
[1] http://suarapapua.com/2013/04/di-tambrauw-95-orang-meninggal-dunia-karena-kelaparan/
[2] http://majalahselangkah.com/content/puluhan-warga-tambrauw-meninggal-akibat-kelaparan-bupati-klarifikasi
[3] http://bintangpapua.com/index.php/lain-lain/k2-information/halaman-utama/item/3209-bram-meninggal-4-bukan-95-orang
Sumber : suarapapua.com