Carol/Jubi |
Jayapura, 16/3 (Jubi) — Sejumlah kasus
penembakan di Papua yang mengakibatkan berjatuhan korban, dinilai
berkepentingan dua ideologi yang berbeda, yakni ideologi mempertahankan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Papua dan
mempertahankan Papua sebaga suatu negara dari sudut sejarah.
“Papua adalah ladang konflik dua ideologi dari pihak yang
berkepentingan. Kasus penembakan yang menelan korban jiwa baik aparat
maupun sipil di Papua merupakan bagian dari perang ideologi,” kata
Nomensen Mambraku, Akademisi Universitas Cenderawasih, Sabtu (16/3) di
Jayapura.
Sejumlah kasus penembakan di Papua sejauh ini belum terungkap secara
rinci pelakunya sehingga menjadi pertanyaaan dari berbagai pihak. Sebab
itu, label penembak misterius masih berlansung hingga sekarang. “Pihak
berwenang mesti mengungkap siapa yang menembak baik aparat maupun sipil
di Papua,” tambah Nomensen.
Terkait itu, Nomensen mengatakan perlu adanya pelurusan sejarah
bangsa Papua integrasi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Sejarah bangsa Papua yang kabur justru mempunyai alat politik yang
jitu bagi Pemerintah Pusat. Sebab itu, pemerintah Pusat duduk bersama
rakyat Papua membicarakan masalah sejarah masa lalu. Sebab Papua
memiliki dasar sejarah bahwa sudah pernah mengalami sebuah Negara,”
katanya.
Menurutnya, kasus-kasus penembakan di Papua masuk dalam ranah
politik, yakni dua pihak yang berideologi berbeda. Kasus penembakan
belakangan ini yang menewaskan sejumlah TNI belum diungkap tuntas siapa
pelakunya. Tapi, tuduhan diarahkan kepada kelompok militan TPN/OPM
sebagai pelaku.
Juru Bicara TPN/OPM, Jonah Wenda mengatakan tidak benar kalau yang
melakukan sejumlah kasus penembakan adalah dari pihak TPN/OPM. “Kita
belum melakukan investigasi internal apakah anggota kami yang melakukan
penembakan. Sebab wilayah Papua ini terlalu luas. Tapi, ada yang lebih
ironis bahwa diantara anggota TPN/OPM mendapat penyusupan dari aparat
keamanan untuk penyusupan proyektil. Dan tentu ini membahayakan anggota
kami sendiri,” tutup Wenda. (Carol/Jubi)