Naftali Edoway (photo pribadi) |
Jayapura Voice Baptist,-- Saya membuka sebuah media online yang berita-beritanya selalu saya
santapi. Dialah Tabloidjubi.com, salah satu media online dari Tanah
Papua yang berita-beritanya tak dapat disangsikan hingga kini.
Dalam
media ini saya menemukan sebuah judul berita “Buku Ke-15 Dari Socratez
Dilarang Beredar”[1], membaca judulnya saya jadi tertawa. Tertawa bukan
karena ada kesalahan pada judul dan isi atau pada medianya tapi kepada
mereka yang melarang buku itu beredar. Lalu sejenak saya berpikir bahwa
rupanya sampai saat ini penguasa negara ini belum mau ditelanjangi
dosa-dosanya.
Mereka masih ingin berkubang dalam lumpur dosa. Mereka
masih ingin menari-nari diatas penderitaan yang mereka ciptakan bagi
orang Papua. Mereka masih ingin tertawa diatas dosa yang mereka lahirkan
karena kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang sudah dan terus
dilakukannya hampir 50 tahun terakhir.
Sejak diintegrasi paksa 1969 hingga hari ini yang namanya pembredelan
buku tentang Papua bukan hal yang baru. Hal seperti ini sudah
berlangsung lama. Misalnya saja; Buku karangan Pdt. I.S. Kijne, “Seruling Mas” di larang beredar oleh pejabat Indonesia di Papua tahun 1963; Buku, Jayapura ketika perang Pasifik, oleh A.Mampioper di di larang beredar oleh pejabat Indonesia di Papua tahun 1979; Buku Karya Pdt. Jan Mamoribo, Benteng Jembekaki, dilarang beredar dalam tahun 1979 oleh pemerintah Indonesia; Buku karya Benny Giay, Penculikan dan Pembunuhan Theys Eluay, dilarang beredar dalam tahun 2003 oleh pejabat negara Indonesia di Papua; Sendius Wonda dengan bukunya, Tenggelamnya Rumpun Melanesia, dilarang beredar oleh pemerintah Indonesia tahun 2007; Socrates Yoman dengan buah penahnya yang berjudul Pemusnahan Etnis Melanesia, dilarang beredar oleh pemerintah Indonesia dalam bulan Agustus 2008, dll[2].
Dilarang beredarnya buku diatas, termasuk bukunya Socratez S.Yoman
yang terakhir ini, menurut saya merupakan kebijakan untuk mematikan
aktualisasi diri orang Papua atau upaya mematikan sikap kritis. Mereka
ingin padamkan suara-suara demokrasi dari rakyat Papua. Mereka tak ingin
kesalahan dimasa lalu dibongkar. Karena jika demikian mereka akan
kehilangan muka dihadapan rakyatnya dan dunia internasional.
Kedua, Negara berusaha mengamankan status quonya atas tanah Papua
dengan bahasa, bahwa isi dari buku-buku itu akan meresahkan rakyat, akan
menganggu kondisi keamanan bahkan dikatakan berbau makar. Sikap negara
seperti ini menunjukkan bahwa tak ada demokrasi di Papua. Yang ada hanya
kekerasan, stigma dan teror dari waktu ke waktu untuk mengamankan
kepentingan negara di Tanah Papua. Kekerasan yang berlebihan di Papua
ini menunjukan adanya darurat kekerasan.
Ketiga, ini adalah bentuk nyata kebijakan publik negara yang menurut Wibawanto Nugroho adalah degenerative politics[3].
Degenerative politics menurut Pak Nugroho adalah pandangan-pandangan
politik dan anggapan-anggapan yang melumpuhkan kondisi masyarakat Papua.
Artinya, Jakarta berpikir bahwa kehadiran buku itu akan mengganggu
kadaulatan negara, sehingga segera diberedel/dilumpuhkan. Tak boleh ada
orang Papua yang pintar dan menulis buku yang mempermasalahkan status
quonya,dll.
Keempat, pembredelan buku ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada
penjajahan atau pun perbudakan di Tanah Papua atau dengan kata lain
Jakarta masih ingin memelihara politik penjajahan/perbudakannya di
Papua.
Jika demikian, kapan ada kebebasan sebebas-bebasnya bagi rakyat Papua
untuk menyatakan perlakukan tidakadil yang terus mereka alami? Kapan
impian “Papua Tanah Damai” itu diwujudnyatakan? Kapan slogan “Kasih dan
Damai itu Indah” yang dipajang di markas-markas militer itu terwujud?
Entalah! Tapi kekerasan masih terus terjadi. Ketidakadilan dan
diskriminasi masih terlihat di depan mata. Teror dan intimidasi terus
berjalan.
Adakah Jakarta punya niat untuk mengakhiri konflik ini dengan jalan
dialog atau perundingan? Kita tunggu sambil berjuang. Maju sambil terus
mengumandangkan suara-suara kritis dari negeri ini dengan keyakinan kita
bahwa kebenaran itu ibarat kekuatan air yang mengalir dari ketinggian
ke dataran rendah. Ia tak dapat dibendung atau dipenjarahkan. Ia akan
terus mengalir menembus sekat-sekat kebijakan negara yang ingin
menahannya
Penulis: Naftali Edoway ( Dosen STT Walter Post jayapura)