Bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah West Papua |
PANDANGAN UMUM
Tanah Papua adalah salah satu wilayah sengketa politik yang terus bermasalah sejak tahun 1960-an sampai sekarang (2013). Sengketa politik yang terjadi disana antara Indonesia, Belanda, West Papua, dan Amerika Serikat dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Tanah Papua adalah salah satu wilayah sengketa politik yang terus bermasalah sejak tahun 1960-an sampai sekarang (2013). Sengketa politik yang terjadi disana antara Indonesia, Belanda, West Papua, dan Amerika Serikat dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Indonesia mencaplok Papua dengan latar belakang Kepentingan Ekonomi Politik, sedangkan Belanda hanya ingin mewujudkan Politik Etis atas papua sembari mengerok hasil alam disana (Minyak Bumi), sedangkan West Papua adalah mewujudkan cita-cita HAM yang menjadi Hak mereka (mendirikan negara merdeka yang telah diproklamirkan pada tanggal 1 Desember 1961), sedangkan kehadiran Amerika Serikat murni dipicu atas kepentingan Ekonomi yang diwujudnyatakan dengan eksploitasi PT. Freeport Mc Morand and Gold Copere (PT. Freeport Indonesia).
Berdasarkan latar belakang masing-masing dapat diukur siapa sebenarnya yang wajib dihargai kehendaknya, dan juga dapat disimpulkan siapa sebenarnya yang bertanding atas dasar kerakusan dan keserahkaan tanpa dasar yang jelas (Perang Atas Kerakusan). Disamping itu melaluinya juga mampu menunjuk secara jelas tindakan Kolonialisme dan Penjajahan atas Tanah Papua berdasarkan maotifasi pihak non papua diatas.
Dalam rutinitasnya Indonesia memandang semua sikap dan tindakan orang papua untuk menunjukan eksistensi Hak Asasi Manusia dengan kaca mata politik sehingga pendekatannya diwujudkan dengan pendekatan Militeristik yang sudah, sedang, dan akan terus dipraktekkan disana sejak tanggal 19 Desember 1961 (peluncuran TRIKORA).
Pemahaman itu juga diwujudkan melalui sistim pemerintahannya sehingga banyak sekali Tokoh Politik Papua Merdeka yang dihukum dengan UU Subversi (1960-1998), serta Pasal Makar pada KUHP dan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Api.
Semua tindakan Indonesia itu hanya semakin menjelaskan posisi persoalan di Papua merupakan Konflik Politik atau Sengketa Politik atau mungkin dapat disimpulkan bahwa sedang terjadi Pertarungan Politik antara Indonesia (penjajah), dan Rakyat West Papua yang berkepanjangan tanpa hentinya.
Pertarungan politik ini telah melahirkan sekian pelanggaran HAM Berat dikedua belah pihak yang berkepanjangan, dan telah meraup jumlah korban yang banyak, serta pengurasan dana negara untuk mendukung kebutuhan diatas. Dampak akan pertarungan tersebut sangat menyedikan dan terkesan tidak manusiawi, sebab telah mampu menciptakan suasana yang tidak kondusif disana sehingga kebebasan rakyat sipil papua semakin sempit, bahkan terkadang berujung pada penembakan terhadap rakyat sipil papua hanya untuk menebus dendam Militer Indonesia, melalui tindakan itu telah meninggalkan rasa duka yang mendalam dipihak keluarga yang ditinggalkan korban masing-masing pihak yang hanya membakar terus api semangat untuk saling membalas.
Pada prinsipnya dampak pertarungan politik antara Indonesia dan West Papua telah melahirkan korban dikedua belah pihak, terkait jumlah bisa sama ataupun berbeda sebab secara objektif peralatan pendukung pertarungan politik ini sangat berbeda mulai dari alat perang, dasar legal, kebebasan, dan jumlah anggota masing-masing sehingga sangat tidak tepat jika kita mengambil kesimpulan denganm berpihak pada salah satu kelompok.
Untuk melihat dan mengarisbawahi situasi krisis kemanusiaan akibat pertarungan Politik ini, sangat tepat jika kita mengacu pada latarbelakang, dan motifasi kedua kelompok diatas agar kemudian dapat menarik kesimpulan yang tepat sasaran, objektif, dan menghargaai HAM masing-masing pihak ditengah semangat kebersamaan Internasional.
Penembakan 8 orang anggota TNI dari Batalion 753 Nabire yang bertugas di Puncak Jaya, Papua pada tanggal 21 Februari 2013 kemarin merupakan serpihan pertarungan politik diatas, sikap pemerintah Indonesia melalui Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan mengelar Rapat Darurat di Istana Negara pada tanggal 22 Februari 2013 untuk menyikapi persoalan itu sanggat berlebihan, dan terkesan mengalihkan isu dari kasus korupsi yang sedang menimpa Partai Demokrat.
Pertanyaan tepat untuk menyikapi sikap SBY adalah bagaimana Pelanggaran HAM terhadap 22 anggota KNPB ?, bagaimana nasib Almarhum Musa Tabuni, dan Hubertus Mabel yang ditembak oleh aparat keamanan Indonesia baru-baru ini ?, bagaimana nasib kasus Wasior Berdarah ?, bagaimana dengan nasib Kasus Biak Berdarah, Bagaimana dengan Kasus Wamena Berdarah, dan bagaimana kasus pelanggaran HAM Berat terhadap masyarakat Papua sejak diberlakukan status DOM di tanah Papua. Mengapa dalam kasus-kasus itu Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden SBY tidak mengambil sikap untuk melakukan Rapat Darurat untuk menanggulangi persoalan HAM Berat yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia (TNI dan POLRI) ?.
ANALISIS MASALAH
Pertarungan politik antara Indonesia dan West Papua sudah menjadi legenda dalam tubuh rakyat Indonesia, dan juga rakyat internasional sebab merupakan suatu konflik yang tercipta bersamaan dengan Konflik Politik antara Indonesia dan Belanda sehingga dapat disimpulkan bahwa pertarungan politik ini telah diketahui oleh PBB sejak tahun 1960-an terlihat dengan keterlibatan PBB dalam upayanya guna memberikan solusi bagi Penyelesaian Konflik Politik Antara Indonesia Dan Belanda Atas Tanah Papua yang secara otomatis terkesan membungkam Nasib Bangsa Papua.
Sikap PBB tersebut sangat jelas telah menyalahi ketentuan Internasioan tentang Deklarasi Internasional Tentang Hak Asasi Manusia yang menjadi landasan didirikannya PBB pada tahun 1948.
Pertarungan Politik antara Indonesia dan West Papua ini juga telah sukses mengatarkan negara Indonesia secara Kenegaraan telah melanggar Konstitusi Negara Indonesia (UUD 1945) sebab didalamnya pada bagian pembukaan telah jelas menyebutkan bahwa :
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa oleh,
Sebab itu maka penjajahan didunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Disamping itu secara kenegaraan Negara Indonesia juga telah menghendaki adanya perampasan terhadap hak hidup pada masing-masing pihak (TNI-POLRI atau TPN-OPM).
Selain itu Negara Indonesia juga telah melanggar UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga telah mengatur hak untuk menentukan kemerdekaan adalah hak setiap manusia yang tidak bisa ganggu gugat oleh siapapun baik negara, istitusi, person, dan lain sebagainya.
Serta melanggar Konvenan Internasional Tentang Hak EKOSOB, dan Kovenan Internasional Tentang Sipol yang telah diratifikasi kedalam UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Ekosob, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang SIPOL juga telah memberikan dasar bagi setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sebagai suatu negara yang merdeka pada pasal 1 UU masing-masing, dan juga melindungi hak hidup setiap manusia di dunia.
Semenjak Reformasi (1998) pemerintah Indonesia telah mengubah cara untuk melakukan Pelanggaran HAM Berat dengan jalan yang sistematis melalui aturan hukum yang diciptakan seperti : Penghapusan UU Subversif dan mengangkat Pasal 106 KUHP tentang makar serta Pasal 55 UU No 12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Api sebagai perwujudan UU Subversi, lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otsus yang memberika rekomendasi kepada Pemerintah Pusat untuk mengurus masalah Pertahan dan Keamanan, UU Terorisme, dan PERPRES No 2 Tahun 2013 Tentang Pengendalian Konflik Sosial untuk mengartikan konflik fertical menjadi konflik social sebagai strategi praktis pengalihan isu dilapangan
Sangat tidak etis jika nasib ke-delapan anggota TNI ini hanya ditujukan kepada Pelaku yaitu TPN-OPM, jika demikian maka bagaimana dengan nasib anggota TPN-OPM yang sudah dibunuh oleh TNI dan POLRI ?.
Demi mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab maka dihimbau kepada keluaga korban baik dipihak TNI-POLRI dan TNP-OPM untuk membentuk suatu sikap yang tegas agar Mendesak KEDUA NEGARA YANG BERTIKAI dan PERSERIKATAN BANGSA BANGSA (PBB) untuk segerah menyelesaikan Pertarungan Politik Antara Negara Indonesia dan Negara West Papua yang telah meraup korban jiwa keluarga kami bahkan tidak menutup kemungkinan akan menimpa kami. Tindakan ini sangat dibutuhkan untuk menutup kemungkinan masing-masing pihak yang berseteruh untuk terus bertarung dengan memanfaatkan rasa duka yang menimpa keluarga korban untuk menciptakan korban baru.
DUDUK PERSOALAN
Jika terdengar adanya korban anggota Militer di dalam situasi perang antara dua kelompok adalah murupakan suatu kewajajaran, tetapi sangat tidak wajar jika yang menjadi korban adalah masyarakat sipil yang tidak berpartisipasi dalam situasi perang itu.
Telah mejadi rahasia umum bahwa TNI-POLRI Adalah Alat Keamanan Negara INDONESIA, Sedangkan TPN-OPM Adalah Alat Keamanan Negara WEST PAPUA. Strategi, taktik, dan tindakan yang dilakukan adalah oleh kedua institusi ini adalah suatu kewajiban Negara yang telah dilimpahkan pada pundak mereka sehingga mereka wajib menjalankannya. Terkait resiko yang akan dihadapi kemudian sudah menjadi tanggungjawab pribadi, dan merupakan resiko tugas. Hal ini sudah menjadi bagian dari diri setiap anggota TNI-POLRI dan TPN-OPM sebab mereka sudah tahu pasti resiko itu.
Tertembaknya 8 (delapan) anggota TNI di Pucak Jaya, Papua merupakan suatu keberlangsungan yang tidak dapat dipisahkan dari ranah Pertarungan Politik antara Indonesia dan West Papua, sehingga dalam hal memberikan pertanggunjawaban atas situasi bencana kemanusiaan di tanah papua adalah kesalahan keduan Negara baik NEGARA INDONESIA maupun NEGARA WEST PAPUA.
Semoga dalam Rapat Darurat yang dipimpin langsung oleh Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia diatas, dapat menemukan solusi yang tepat dan bermartabat untuk mengatasi pertarungan politik ditanah papua. Jika pada kesimpulannya nanti SBY mengambil tindakan untuk Menambahkan Pasukan ke tanah papua dengan tujuan untuk melakukan pemburuan pelaku penembakan maka jelas bahwa solusi yang ingin dilaksanakan adalah dengan Jalan Kekerasan sehingga marilah kita bersama-sama menyaksikan Pelanggaran HAM Berat yang akan terjadi selanjutnya di tanah papua.
PENUTUP
Sesuai dengan standar Hukum Internasional dalam upaya penyelesaian konflik politik antara dua pihak yang bertikai, dikenal 2 (dua) jalur penyelesaiaan, yaitu : 1). Jalur Kekerasan, dan 2). Jalur Damai. Berdasarkan pengalaman mengunakan dua jalur diatas memberikan referensinya masing-masing, secara umum perbedaannya yaitu; apabila jalan kekerasan yang ditempuh maka dampaknya mampu menyelesaikan persoalan tetapi selalu berdampak pada pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia karena bersampul darah dan air mata, dan apabila jalur damai yang ditempu maka akan berdampak pada penyelesaian persoalan tanpa menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Untuk mengatasi Pertarungan Politik Antara Negara Indonesia dan Negara West Papua yang sudah, sedang, akan terjadi yang telah melahirkan sekian korban baik harta benda, situasi, dan bahkan jiwa raga pada kedua belah pihak dan bahkan berdampak pada rakyat sekitar maka dibutuhkan suatu solusi yang bermartabat yang diakui secara Internasional diatas. Dengan demikian maka peneyelesaian konflik politik idealnya adalah dengan Jalan Damai agar terwujud cita-cita keberadaban manusia secara internasional, di era modern dan globalisasi sebagai wujud penghargaan terhadap PBB dan Deklarsi Internasional Tentang Hak Asasi Manusia.
Penyelesaian Konflik Politik antara Indonesia dan West Papua mengunakan Jalur Damai secara teknis sudah banyak diusulkan dan disosialisasi oleh beberapa pihak seperti JDP, LIPI, LSM, Gereja, dan lain sebagainya dalam bentuk DIALOG, namun apakah organisasi-organisasi ini menjamin tercapainnya penyelesaiann secara bermartabat ?. Sebatas usulan sangat dihargai namun yang perlu dipahami bahwa ini menyangkut Nasib Suatu Bangsa dan Nasib Hidup Manusia dikedua belah pihak yang bertikai sehingga dalam hal teknis Penyelesaian Konflik Politik Antara Negara Indonesia Dan Negara West Papua dengan Jalan Damai harus dipikirkan kembali.
Dalam semangat HAM dan DEMOKRASI secara Internasional diakui slogan Dari Rakyat, Untuk Rakyat sebagai persembahan Deklarasi Independen Day yang menempatkan posisi rakya paling tinggi diatas semua organisasi Internasional (Negara, dan Lembaga) artinya Rakyat Memegang Kekuasaan Tertinggi, dan menetapkan slogan Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan.
Dengan melihat semua penjelasan (pandangan umum, analisis masalah, duduk persoalan, dan penjelasan dibagian akhir terkait solusi kongkrit, serta mengacu pada rekomendasi Deklarasi Independen Day) diatas, maka untuk menyelesaikan Konflik Politik Antara Negara Indonesia Dan Negara West Papua sangat tepat dikembalikan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai Organiasi Internasional yang bertugas untuk Melindungi, Menghargai, dan Mengangkat Hak Asasi Manusia Setiap Bangsa Di Dunia ini, selanjutnya bertindak sebagai Mediator, dan secara Teknis Jalur Damai ini diberikan Kepada Rakyat biarlah Rakyat yang menentukan sikap terkait apa yang dikehendakinya sebab Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan, antinya solusinya adalah REFERENDUM. (pg/vot/pit)
Sumber : http://www.star-papua.com/2013/03/padangan-umum-realitas-west-papua-oleh.html