PCC 10th General Assembly (Dok PCC) |
Jayapura, 14/03 – Konferensi Majelis Umum Gereja Pasifik
Ke-Sepuluh (PCC 10th General Assembly) yang berlangsung di Honiara,
Kepulauan Salomon, 3-10 Maret 2013 telah menyetujui adanya sebuah
program yang dilaksanakan oleh gereja-gereja Pasifik untuk membahas
pelanggaran hak asasi manusia dan kemerdekaan di Papua Barat.
Konferensi yang diikuti oleh Gereja-Gereja se Pasisik ini telah
memutuskan untuk mendokumentasikan advokasi efektif terhadap keadilan
dan penghormatan pada hak asasi manusia dalam kolaborasi dengan mitra
oikumenis, masyarakat sipil dan pemerintah.
“Ini akan menggabungkan situasi hak asasi manusia di Papua Barat
sebagai titik fokus yang kuat dari kerja program PCC terhadap penentuan
nasib sendiri bagi bangsa dan wilayah yang belum pemerintahan sendiri
serta masyarakat dan rakyat yang ingin bebas.” demikian disebutkan dalam
siaran pers PCC 10th General Assembly yang diterima tabloidjubi.com,
Kamis (14/03) malam.
Para Delegasi yang hadir, disebutkan mengakui hak asasi manusia semua
orang, khususnya hak untuk menentukan nasib sendiri dari semua
masyarakat adat yang tertindas dan terjajah di dunia sesuai dengan
Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
Melalui siaran pers ini, PCC dikemukakan telah meminta Perancis, PBB,
negara Kepulauan Pasifik dan masyarakat internasional untuk mendukung
penentuan nasib sendiri di Maohi Nui (Tahiti). Delegasi yang hadir
mengatakan dekolonisasi adalah salah satu tema lama yang diusung PCC.
Dukungan terhadap permintaan dari Etaretia Porotetani Maohi (Maohi
Gereja Protestan) telah diserukan dalam PCC 10th General Assembly untuk
kembali mencatatkan Tahiti ke daftar dekolonisasi PBB. (Jubi/Victor Mambor)