Human Rights Watch (HRW) |
PAPUAN, Jakarta — Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono harus memerintahkan pemerintah daerah untuk tidak membongkar
rumah ibadah dan harus mencabut aturan-aturan diskriminatif mengenai
bangunan rumah ibadah.
Demikian disampaikan Human Rights Watch (HRW), dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi suarapapua.com, Jumat (29/3/2013).
Pada 21 Maret 2013, di Bekasi, di luar kota Jakarta, pemerintah
daerah memakai mesin eskavator untuk membongkar bangunan, yang masih
dibangun bata merah, milik Huria Kristen Batak Protestan(HKBP).
Pejabat Bekasi memerintahkan pembongkaran gereja itu dengan alasan
tak punya izin bangunan, serta mempertimbangkan tuntutan dari Forum Umat
Islam, sebuah organisasi Islamis militan.
“Pembongkaran gereja oleh pemerintah di Bekasi tak hanya melanggar
kebebasan beragama, tapi ia akan memperbesar api sektarianisme di
Indonesia,” ujar Brad Adams, direktur Asia Human Rights Watch.
“Presiden Yudhoyono perlu memutar keputusannya, mengganti kerugian
jemaat, dan secara publik memerintahkan semua pemerintah daerah untuk
tak membongkar rumah ibadah.”
Sebuah video pembongkaran itu merekam jemaat gereja yang meratap,
menjerit, memohon kepada pejabat Bekasi untuk batal pembongkaran gereja,
sementara ratusan polisi dan tentara menjaga area di sekitarnya.
Para militan Muslim berdiri di luar gereja sambil bersorak ketika
eskavator datang dan meneriakkan ayat-ayat al-Quran saat bangunan itu
dibongkar.
Pembongkaran gereja HKBP ini tampaknya menjadi yang pertama kali
terjadi karena protes organisasi Islamis, menurut Human Rights Watch.
Gereja-gereja Kristen di beberapa daerah mayoritas Muslim di
Indonesia menghadapi kesulitan yang terus meningkat guna mendapatkan
izin membangun gereja, menurut Human Rights Watch.
Mereka lantas membangun gereja tanpa izin lengkap. Kini cukup
banyak jemaat Kristen yang kuatir tentang kemungkinan pembongkaran
gereja mereka lebih lanjut. Di Bekasi saja, lebih dari 20 gereja HKBP
yang menjalankan gereja tanpa izin bangunan.
Pemerintah daerah Bekasi bahkan menolak mengeluarkan izin bangunan
pada HKBP Filadelfia, kendati Mahkamah Agung memutuskan semua
persyaratannya sah dan lengkap.
“Membongkar rumah ibadah milik minoritas agama karena ada tekanan
dari mayoritas menciptakan preseden berbahaya,” ujar Adams. “Pemerintah
melonggarkan kekuatannya yang mungkin sekali takkan mampu
mengendalikannya lagi.”
Peraturan tentang pendirian rumah ibadah mendiskriminasi minoritas
agama, demikian Human Rights Watch. Keputusan menteri 1969 memberi
kewenangan pemerintah daerah untuk mewajibkan “setiap rumah ibadah hanya
boleh didirikan dengan persetujuan kepala daerah,” seperti gubernur
atau bupati.
Ia juga menyebutkan “jika diperlukan, kepala daerah dapat meminta
pertimbangan dari organisasi kemasyarakatan keagamaan dan ulama” sebelum
rumah ibadah diberi izin.
Aturan semacam itu seolah-olah diterapkan untuk semua agama tapi,
dalam praktiknya, secara umum dipakai untuk mendiskriminasi minoritas
agama. Warga Nasrani, minoritas agama terbesar di Indonesia,
berulangkali menghadapi kesulitan mendapatkan izin mendirikan gereja di
beberapa daerah di Indonesia.
Terutama yang problematis di daerah-daerah berubah demografinya,
seperti naiknya penduduk Kristen di daerah yang secara tradisional
permukim Muslim, termasuk di Jawa Barat, salah satunya Bekasi. Dalam
beberapa kasus, persetujuan mendirikan gereja baru dididapatkan setelah
10 tahun dan paling lama 20 tahun.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), organisasi payung
bagi gereja Protestan, berulangkali mendesak pemerintah mencabut
keputusan 1969.
Pada Maret 2006, Menteri Agama Maftuh Basyunidan Menteri Dalam
Negeri Mohammad Ma’rufmerevisinya dengan mengeluarkan aturan baru di
mana, secara esensial, surat izin dari pemerintah daerah masih
diterapkan untuk mendirikan rumah ibadah.
Aturan itu menyebutkan pembangunan rumah ibadah harus berdasarkan
“keperluan nyata” dan “komposisi jumlah penduduk” di wilayah
bersangkutan. Persyaratannya, mendapatkan persetujuan, lengkap dengan
Kartu Tanda Penduduk, pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang,
dukungan tandatangan warga setempat paling sedikit 60 orang, dan
rekomendasi kepala kantor Kementerian Agama dan Forum Kerukunan Umat
Beragama(FKUB), lembaga konsultatif dari pemuka-pemuka agama setempat.
Human Rights Watch mencatat penutupan lebih dari 30 gereja di Jawa
dan Sumatra, serta sebuah masjid di Kupang, antara 2010 dan 2012. Kaum
militan Muslim memakai peraturan 2006 untuk membenarkan aksi-aksi
perusakan, dan kadang kala pembakaran, untuk apa yang mereka klaim
sebagai “gereja liar.”
Berbeda dengan umat Muslim, orang Nasrani praktis tak mau beribadah
di gereja yang bukan denominasi mereka. Di Indonesia, selain ada
perbedaan denominasi –Advent, Katholik, Lutheran, Presbyterian,
Pentakosta, Protestan dan sebagainya—juga ada perbedaan etnik dan
bahasa: gereja Batak, Minahasa, Sangir, Talaud, Timor Toraja dan
sebagainya.
Masing-masing orang memakai bahasa mereka dalam ibadah sehingga
orang Kristen dari suku dan bahasa berbeda, tentu saja, tak bisa
mengerti apa yang dibicarakan, dibaca dan dinyanyikan di gereja yang
mungkin satu denominasi tapi beda etnik.
Sejak Yudhoyono berkuasa pada Desember 2004, ada kenaikan dalam
serangan terhadap kaum Ahmadiyah, Kristen, Syiah, dan minoritas agama
lain. Lebih dari 430 gereja diserang, dipaksa tutup atau disegel, maupun
dibakar sejak 2004, menurut PGI. Menurut statistik Kementerian Agama
pada 2010, Indonesia memiliki lebih dari 243.000 masjid dan sekitar
59.000 gereja.
“Pemerintah perlu berkomitmen kembali untuk menegakkan kebebasan beragama bagi semua komunitas,” ujar Adams.
“Dengan menampilkan kepemimpinan yang punya prinsip, hal itu akan
menenangkan situasi. Namun jika kekuatan diberikan pada kaum ekstremis,
Indonesia hanya akan menjadi kian terpecah-belah secara sosial dan
mengusung kekerasan di masa depan.”
OKTOVIANUS POGAU
Sumber : http://suarapapua.com/2013/03/hrw-minta-presiden-hentikan-pembongkaran-gereja/
Sumber : http://suarapapua.com/2013/03/hrw-minta-presiden-hentikan-pembongkaran-gereja/