West Papua Penuh Derita |
JAKARTA, TRIBUN
- Sosiolog dari Universitas Pattimura Ambon, Maluku, Prof Tony Pariella
memandang konflik Papua adalah konflik ideologis. Di dalam masyarakat
Papua pun ada perbedaan pandangan antara yang pro NKRI dan yang ingin
merdeka. Otonomi khusus dinilai tidak cukup bagi mereka, karena mereka
menyadari Papua sangat kaya sumber daya alam.
"Harus ada dialog yang kontinyu dan berulang kali, tidak otomatis jadi. Harus ada penyatuan persepsi bersama, apakah Papua di dalam NKRI atau di luar NKRI. Ini perlu pendalaman masing-masing pihak. Jakarta bisa memberi konsesi apa pada separatis itu, begitu juga sebaliknya, separatis bisa memberi konsesi apa bagi Jakarta. Dua-duanya harus melakukan kesepakatan," kata Tony yang dihubungi di Ambon, Maluku, Jumat (22/2/2013).
Langkah dialog ini tidak mudah karena memerlukan mediator yang bisa diterima oleh Jakarta dan para separatis. "Para separatis sudah terlanjur apriori dan tidak percaya pada pemerintah Indonesia. Dengan begitu siapa pun bisa ditunggangi dan letupan sudah sangat sering terjadi dan harus segera diatasi. Pilih mediator atau orang yang bisa menjembatani untuk melakukan dialog. Orang ini harus bisa diterima dan dipercayai karena ini kunci untuk membuka pintu negosiasi," kata Tony.
Menurut Tony, pendekatan kesejahteraan yang digunakan Jakarta untuk menjinakkan orang Papua tidak cukup karena mereka menyadari bahwa Papua kaya dan mereka bisa berhitung hasil sumber daya alam Papua.
"Otonomi khusus tidak cukup. Dialog yang dilakukan harus bisa meyakinkan orang Papua mengapa Papua harus berada di dalam NKRI, mengapa Papua penting bagi NKRI. Jadi harus ada pendekatan historis, geopolitics, sosiologis dan cultural. Pemerintah harus bisa memberi alasan kuat, perlu argumentasi bahwa Papua penting bagi NKRI," ucap Tony. (*)
"Harus ada dialog yang kontinyu dan berulang kali, tidak otomatis jadi. Harus ada penyatuan persepsi bersama, apakah Papua di dalam NKRI atau di luar NKRI. Ini perlu pendalaman masing-masing pihak. Jakarta bisa memberi konsesi apa pada separatis itu, begitu juga sebaliknya, separatis bisa memberi konsesi apa bagi Jakarta. Dua-duanya harus melakukan kesepakatan," kata Tony yang dihubungi di Ambon, Maluku, Jumat (22/2/2013).
Langkah dialog ini tidak mudah karena memerlukan mediator yang bisa diterima oleh Jakarta dan para separatis. "Para separatis sudah terlanjur apriori dan tidak percaya pada pemerintah Indonesia. Dengan begitu siapa pun bisa ditunggangi dan letupan sudah sangat sering terjadi dan harus segera diatasi. Pilih mediator atau orang yang bisa menjembatani untuk melakukan dialog. Orang ini harus bisa diterima dan dipercayai karena ini kunci untuk membuka pintu negosiasi," kata Tony.
Menurut Tony, pendekatan kesejahteraan yang digunakan Jakarta untuk menjinakkan orang Papua tidak cukup karena mereka menyadari bahwa Papua kaya dan mereka bisa berhitung hasil sumber daya alam Papua.
"Otonomi khusus tidak cukup. Dialog yang dilakukan harus bisa meyakinkan orang Papua mengapa Papua harus berada di dalam NKRI, mengapa Papua penting bagi NKRI. Jadi harus ada pendekatan historis, geopolitics, sosiologis dan cultural. Pemerintah harus bisa memberi alasan kuat, perlu argumentasi bahwa Papua penting bagi NKRI," ucap Tony. (*)
Editor : dar
Sumber : Kompas