Saat
ini "mata" kebanyakan orang sedang terpaku pada insiden di Papua.
Mereka menyesali dan mengutuk insiden penembakan di Papua yang
menewaskan 8 orang anggota TNI dan 4 warga sipil. Saya sendiri
menyesalkan insiden berdarah ini . Karena sudah cukup banyak korban
berdarah di Papua sejak "integrasi' Papua menjadi bagian Republik ini
lewat PEPERA pada 1969.
Namun,
harap diketahui bahwa "insiden berdarah" di Papua akan terus terjadi
jika Pemerintah NKRI tidak serius melakukan "Dialog" dengan orang asli
Papua untuk menyelesaikan persoalan masa lalu dan merumuskan masa depan
Papua.
Hal
ini terus terjadi karena Pemerintah Indonesia selalu menyelesaikan
masalah Papua dari "kacamata" Pemerintah Pusat, di Jakarta. Hal ini
terbukti dengan ide Pemerintah Pusat untuk membentuk UP4B, ketimbang
melakukan "Dialog", sebagaimana diusulkan JDP. Pemerintah pusat (c.q.
Presiden) begitu yakin bahwa akar persoalan konflik di Papua hanya
masalah pembangunan yang tidak merata. Sayangnya evaluasi pelaksanaan UU
no. 21/2001 tentang OTSUS Papua pun tidak dilakukan - kesalahan fatal
Pemerintah pusat sebelum membentuk UP4B. Akibatnya berbagai insiden
berdarah masih terus terjadi di Papua, baik yang mengorbankan warga
sipil maupun aparat militer/Polri.
Persoalan
utama di Papua, sebagaimana disampaikan oleh LIPI (2011), bukan
"semata-mata" masalah Pembangunan. Akar persoalan di Papua setidaknya
ada 4. Akar persoalan yang Pertama, adalah masalah SEJARAH dan status
politik integrasi Papua ke Indonesia. Orang Papua masih merasa bahwa
proses integrasi ke dalam Indonesia itu TIDAK benar.
Kedua,
masalah PELANGGARAN HAM akibat operasi militer yang terjadi karena
konflik yang tak terselesaikan. Operasi militer yang berlangsung sejak
1965 hingga kini, membuat masyarakat Papua memiliki catatan panjang
mengenai kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia. Kekerasan
yang dilakukan Negara dan pelanggaran HAM yang tak pernah
dipertanggungjawabkan mengakibatkan luka kolektif dan dendam (memoria
passionis) yang diwariskan turun-temurun.
Ketiga,
semua hal di atas membuat masyarakat Papua mengalami stigma sebagai
orang yang termarjinalisasikan. Akibat migrasi penduduk, pembangunan
yang tidak merata, kebijakan politik, dan lain-lain yang tidak
melibatkan orang Papua, maka mereka merasa tersingkir.
Keempat,
KEGAGALAN pembangunan Papua. Ukurannya sederhana saja, yaitu
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat yang masih tertinggal.
Jadi,
masalah pembangunan adalah buntut akhir dari 3 persoalan yang
mendahuluinya, sehingga jika perhatian hanya pada proses pembangunan dan
melupakan 3 akar persoalan lainnya, maka persoalan Papua tidak akan
mendapatkan solusi dan insiden berdarah di Papua akan terus berlanjut.
Insiden
ini tidak hanya mengorbankan aparat militer/Polri, tetapi juga
masyarakat. Sebagaimana kesaksian 2 orang masyarakat papua berikut ini
yang mengalami aniaya, akibat salah tangkap karena dituduh OPM (kejadian
beberapa minggu yang lalu).
Lihat video: http://www.youtube.com/
Kekuatiran
saya adalah Operasi "strategis" yang saat ini sedang berlangsung untuk
menangkap para pelaku penembakan akan kembali memakan korban dari pihak
rakyat sipil, sehingga lingkaran kekerasan itu akan terus berlanjut.
Novel Matindas (Kepala Biro Papua PGI)
Sumber : PGI
Sumber : http://phaul-heger.blogspot.com/2013/02/papua-ternyata-masih-berdarah.html?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+blogspot%2FPHJWY+%28PHAUL+HEGER+PAGE%29&utm_content=FaceBook