Jakarta, Suko – The
West Papua Advocacy Team (WPAT) mengatakan prihatin dengan tindakan
Pemerintah Republik Indonesia yang membatasi Pelapor Khusus Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) bidang Pemajuan dan Perlindungan Hak untuk
Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank La Rue untuk mengunjungi tahanan politik Papua dan Ambon.
The West Papua Advocacy Team berbasis di New York Amerika Serikat, PO Box 21873, Brooklyn, NY 11202-1873, wpat@igc.org,
+1- 575-648-2078. The West Papua Advocacy Team beranggotakan akademisi,
pembela hak asasi manusia dan pensiunan diplomat AS. Ed McWilliams,
mantan wakil Dutabesar Amerika untuk Indonesia memimpin WPAT.
Dalam Siaran Pers yang diterima majalahselangkah.com,
Sabtu, (12/1), WPAT mengatakan, pada bulan Mei 2012 pemerintah
Indonesia mengundang Frank La Rue untuk mengunjungi Indonesia.
Selanjutnya, La Rue membuat rencana dan mengatakan kepada Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Jenewa bahwa dia berencana untuk
mengunjungi tahanan politik di Jayapura dan Ambon.
Kunjungan ke tahanan politik di Papua dan Ambon adalah perhatian
utama La Rue . Dia juga berencana untuk mengunjungi seorang ulama Syiah
dipenjara di Sampang, Pulau Madura. Namun, Pemerintah Indonesia menilai
kunjungan Frank La Rue ke Papua dan Ambon justru akan meningkatkan
intensitas politik di wilayah itu. Pemerintah Indonesia hanya
mengizinkan Frank La Rue mengunjungi Jakarta dan Sampang.
Frank La Rue menolak untuk berkunjung ke Indonesia jika ia tidak
dapat mengunjungi tahanan politik di Papua dan Ambon. Sesuai rencana,
Frank La Rue dijadwalkan tiba di Jakarta pada 14 Januari 2013. Ia
berencana untuk tiba di Jayapura pada tanggal 18 Januari.
The West Papua Advocacy Team mendesak Pemerintah Indonesia untuk
mencabut pembatasan Pelapor Khusus PBB untuk bertemu dengan para tahanan politik Papua dan Ambon.
“Pemerintah Indonesia bertanggung jawab kepada masyarakat
internasional untuk menghormati hak-hak tahanan politik di bawah
ketentuan konvensi internasional. Kunjungan Pelapor Khusus adalah sarana
sarana penting untuk memastikan kepatuhan Indonesia dengan kewajiban
internasional,”tulis WPAT.
The West Papua Advocacy Team menulis, kelompok hak asasi manusia
memperkirakan, ada lebih dari 100 tahanan politik di Indonesia, terutama
Papua dan Maluku, termasuk 15 warga Papua dipenjarakan dengan dakwaan
makar.
Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengecam keras atas terkait pembatasan kedatangan Pelapor Khusus PBB ke Papua dan Ambon.
“KNPB kecam larangan atau upaya Pemerintah Indonesia melalui Menlu
untuk menyembunyikan persoalan pelanggaran HAM di Papua, kami desak
pelapor PBB untuk bertemu dengan Fileb Karma cs yang dipenjara.
Pertemuan dengan Menlu tanpa ke Papua hanya akan menjadi ajang dan ruang
bagi indonesia untuk “tebar posona” atau memanipulasi citranya di mata
internasional,” kata ketua KNPB, Victor Yeimo ketika dihubungi majalahselangkah.com .
“Orang Papua tulis buku dilarang, orang Papua lakukan ibadah
dilarang, orang Papua buat demo dilarang, semua dilarang oleh penguasa
Indonesia di Papua. Papua dijadikani daerah protektoral bagi kepentingan
ekonomi politik kolonialisme dan kapitalisme global,” kata Victor.
KNPB meminta Frank La Rue, UN Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression
harus datang dan lihat langsung korban-korban pelanggaran HAM yang
bertebaran di penjara-penjara Indonesia di Papua, dan kuburan-kuburan
korban rakyat yang mati dibunuh karena berdiri berjuang menyampaikan hak
mereka secara damai.
Dalam Pers Release yang dikirimkan kepada majalahselangkah.com,
KNPB meminta La Rue mengatur jadwal kunjung ke Papua tanpa intervensi
Pemerintah RI, untuk bertemu langsung dengan Fileb Karm, cs yang sedang
menjalani hukuman 15 tahun penjara atas aksi ekspresi damai yang
dilakukan di Jayapura, Papua 2004 lalu.
KNPB juga mengatakan, PBB segera menjamin hak rakyat Papua untuk
melakukan aktivitas damai dalam menuntut hak penentuan nasib sendiri.
“Kami berharap, Pelapor Khusus PBB, dalam kunjungan ini membicarakan
agar cap teroris, makar, pengacau, dan lainnya yang ditujukan negara
Indonesia kepada aktivis KNPB dan pejuang Papua lainnya dihilangkan,
karena sudah tidak relevan lagi dalam era yang terbuka, di mana stigma
tersebut sengaja dibuat untuk membungkam aksi-aksi damai yang dilakukan
oleh rakyat West Papua,” tulisnya. Laporan menarik dari WPAT bisa dibaca
di sini KLIK. (Yermias Degei/MS)