SEJARAH ITU ADA, INDONESIA DAN PAPUA BARAT SAMA-SAMA DIJAJAH OLEH BELANDA DAN JEPANG (Sebuah Refleksi 1 Desember 2012)
Yakarta~(Sucenko)- Selasa 08/01/2013-{
Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus
1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan
Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara
wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam,
tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa
“…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah
bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno
mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu
dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah
dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam
proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia
Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan
Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat). Karena itu pernyataan berdirinya
Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya
dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.}
Fakta sejarah
membenarkan bahwa Bangsa Indinesia dan Papua Barat pernah sama-sama
dijajah oleh Belanda dan Jepang, hanya saja terdapat perbedaan bahwa
Indonesia dibantu oleh Jepang dalam mempersiapkan kemerdekaannya melalui
Jepang membentuk persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau ( Dokuritsu junbi
chōsa-kai ) dalam bahasa Jepang. Badan ini bertugas membentuk
persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar negara dan
digantikan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang
bertugas menyiapkan Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan dibacakannya
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh
Soekarno-Hatta.
Hal ini dapat dilakukan karena kelihaian Soekarno,
Muhammad Hatta, dan Sutan Syahrir dalam memanfaatkan situasi dan kondisi
politik saat itu, dimana Blok Barat dan Blok Timur sedang memanas, dan
kemudian atas bantuan Jepang lalu Soekarno-Hatta memanfaatkan peluang
politik itu sebagai bargaining politik untuk menekan Belanda melalui
Amerika untuk melepas Indonesia Merdeka.
Dinamika ini juga tidak
beda jauh dengan Politisi Papua Barat Merdeka yang memanfaatkan
ketegangan Belanda-Indonesia untuk mendesak Belanda membantu Papua Barat
guna mempersiapkan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat. Pemimpin Papua Barat
saat itu M. Kaisepo , Barnabas Jouwe dan kawan-kawan dengan dibantu
oleh Belanda membantu Bangsa Papua Barat, ketika Papua Barat masih
menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia
dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara
merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945
(Tumbuhnya paham “Nasionalisme Papua” di Papua Barat mempunyai sejarah
yang panjang dan pahit. Sebelum dan selama perang dunia ke II di
Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan melalui gerakan
Millinerian, Mesianic dan “Cargo-Cultis). Memasuki tahun 1960-an para
politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi
dan sebuah sekolah Pamongpraja dalam bahasa Belanda disebut
Bestuurschool (Pendiri sekolah ini, yaitu J. P. van Eechoud oleh banyak
orang Papua dijuluki sebagai “Vader der Papoea’s) di Jayapura
(Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan para
politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah
Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa
tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan
Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe
(Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B.
Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F.
Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari
keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W.
Gosewisch dari Manokwari (Yorrys Th. Raweyai, Mengapa Papua Ingin
Merdeka, Presidium Dewan Papua, Jayapura, 2002. Hal. 16). Setelah
melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang
cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite
Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea
dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya
dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil
melahirkan Manifesto Politik yang isinya: satu, menetukan nama Negara ;
Papua Barat. Dua, menentukan lagu kebangsaan ; Hai Tanahku Papua. Tiga,
menentukan bendera Negara ; Bintang Kejora. Dan empat, menentukan bahwa
bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961. Serta
lambang negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One
People One Soul”. Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1
November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan
dari Pemerintah Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite
Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di
Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera
Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu
kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan
Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan
oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi
Kemerdekaan Papua Barat secara de facto sebagai sebuah negara yang
merdeka dan berdaulat.
Persiapan dan Deklarasi Papua Barat Merdeka
pada 1 Desember 1961, yang kemudian berita ini didengar oleh Presiden
Indonesia Soekarno , kemudian tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno
mengeluarkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) di Alun-alun Utara Yogyakarta
yang isinya: pertama, gagalkan pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan
Belanda Kolonial, kedua, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah
Air Indonesia, dan ketiga, bersiaplah untuk mobilisasi umum guna
mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima
Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando
Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke
wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat
dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam
fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi
Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi
Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of
Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase
eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).
Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak
orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Atas perintah
Presiden Indonesia dengan melakukan agresi militer ke Papua Barat, maka
lahirlah kelompok perlawanan militer Papua Barat yang disebut dengan
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Selanjutnya pada
Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua
Barat di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan
orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di
mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Disinilah muncul Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) yang pertama itu adalah
penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps )
dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan
orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran
yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan
Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97;
Whitaker, 1990: 51). Sesungguhnya OPM (Organisasi Papua Merdeka ) itu
tidak ada, tetapi OPM itu muncul karena perlawanan Tentara Pembebasan
Nasional –Papua Barat terhadap Militer Indonesia, maka Indonesia memberi
Label OPM kepada Prajurit PVK yang melakukan perlawanan terhadap
Indonesia.
1 Mei yang merupakan Hari Aneksasi Bangsa Papua ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan awal pemusnahan
Etnis Melanesia di Papua Barat dan Pemerintah Belanda, Amerika serta PBB
(UNTEA) harus bertanggungjawab atas pembunuhan hak politik, martabat
dan harga diri dari Rakyat Bangsa Papua Barat sebagai suatu Bangsa.
Proses aneksasi Bangsa Papua Barat ke dalam NKRI, dan rakyat Bangsa West
Papua (Papua Barat) adalah suatu Bangsa Negroid, Rumpun Polilinesia,
Ras Melanesia, sehingga secara antropologi orang Papua Barat kulit hitam
dan rambut keriting serta wilayah teritorialnya dari Sorong sampai
dengan Merauke. Dasar hukum ini diakui oleh Ir.Soekarno dan Mohammad
Hatta, pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI dengan wilayah territorial
Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Amboina (Ambon-Maluku), jadi jelas
bukan wilayah Papua Barat. maka proses aneksasi dan integrasi wilayah
territorial rakyat Bangsa Papua Barat baik itu melalui perjanjian New
York Agreement 15 Agustus 1962, perjanjian Roma Agreement 30 September
1962, penyerahan administrasi pemerintahan West Papua dari Negara
Belanda ke UNTEA (PBB) 1 Mei 1963, penyerahan administrasi pemerintahan
West Papua dari UNTEA (PBB) kepada Pemerintah Indonesia 3 Mei 1963
maupun dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, dimana
semua itu telah melanggar prinsip-prinsip dan standar-standar hukum
Internasional maupun HAM secara universal yaitu Resolusi PBB pasal 73
bagian a dan b, serta Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514.
Dikarenakan Dewan New Guinea Raad dideklarasikan 1 Desember 1961, namun
tidak dilibatkan sebagai wakil yang punya hak sengketa dalam proses
aneksasi dan integrasi untuk menetukan status wilayah Papua Barat.
Perlawanan Bangsa Papua Barat terus berlangsung dan semakin kuat baik
dari segi Politik, maupun Gerilya melalui Tentara Pembebasan Nasional
Papua Barat (TPN-PB). Perlawanan ini berlanjut baik itu dilakukan oleh
anak-anak Papua Barat yang didik oleh Belanda sebagai Tentara maupun
Polisi, demikian juga anak-anak Papua Barat yang didik oleh Pemerintah
Indonesia sebagai Tentara maupun Polisi; Alhasil seorang Tentara Anak
Papua Barat hasil didikan Indonesia Zeth Jafet Rumkorem kembali dari
Jawa dan bergabung dengan TPN-PB dan melakukan perlawanan gerilya
bersenjata terhadap Militer maupun Polisi Indonesia.
Empat tahun
sesudah pemberontakan TPN-PB di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan
oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie
Wibowo, "proklamasi Republik Papua Barat" kedua tercetus. Peristiwa
itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris,
Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki
(Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian
Jaya, "Mavik". Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi
bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas
bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom
yang memimpin pemberontakan TPN-PB di daerah Kepala Burung.
Ironisnya, Seth Jafet Rumkorem adalah putera dari Lukas Rumkorem,
seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai
berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon
kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122).
Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem
tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan
tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di
kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti
latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian
Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan
Diponegoro.
Namun kekesalannya menyaksikan berbagai
pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama Tentara
Pembebasan Papua Barat (TPN-PB) dan melakukan perlawanan bersenjata
dengan cara gerilya. Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan
kelompok TPN-PB pimpinan Herman Womsiwor, di Negeri Belanda. Atas
dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat
berikut dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan
memilih pangkat Brigadir Jenderal. { PROKLAMASI. Kepada seluruh
rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim
(Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi. Dengan
pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk
mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah
dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de
facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia
menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua
untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah
dipenuhi.}.Victoria, 1 Juli 1971.Atas nama rakyat dan pemerintah Papua
Barat, Seth Jafet Rumkorem (Brigadir –Jenderal). Dalam upacara pembacaan
proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat
(Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan,
Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara
Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan
(Panglima?) TEPENAL Republik Papua Barat.
Bahwa akhirnya kita
sebagai generasi muda yang sama-sama mempelajari latar belakang sejarah
bangsa kita masing-masing, maka dapat disimpulkan bahwa Bangsa Indonesia
dan Bangsa Papua Barat sama-sama di Jajah Oleh Belanda dan Jepang.
Kemudian Jepang Membantu Bangsa Indonesia melalui Pemimpinnya
mempersiapkan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, hal sebaliknya Belanda
Membantu Bangsa Papua melalui Pemimpinnya mempersiapkan Kemerdekaan
Bangsa Papua. Bangsa Indonesia Melalui Pemimpinnya Soekarno-Hatta
Memproklamasikan Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945,
sementara itu Bangsa Papua Barat Melalui Pemimpinnya Seth Jafet
Rumkorem,Jakob Prai,Dorinus Maury, Philemon Tablamilena Jerisitou, Jusuf
Way, dan Loui Wajoi Memproklamasikan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat
pada 1 Juli 1971. Namun dalam sejarah perjalanan Bangsa Papua Barat;
bahwa Indonesia juga adalah Bangsa Penjajah, dimana fakta sejarah bahwa
ketidak puasan Pemimpin Indonesia dalam hal ini Soekarno sebagai
Presiden RI memerintahkan AGRESI MILITER dengan mana TRIKORA (TRI
KOMANDO RAKYAT ). Secara terbuka di Alun-Alun Utara kota Yogyakarta,
tanggal 19 Desember 1961, setelah Indonesia mendengar bahwa Papua Barat
sudah dalam persiapan mengumumkan kemerdekaannya tanggal 1 Juli 1970,
Soekarno yang ekspansionis-kolonialis itu mengumumkan apa yang
disebutnya Trikora (yaitu Tiga Komando Rakyat). Tiga buah komando itu
berbunyi: (1). Bubarkan Negara Boneka Papua buatan Belanda .(2).
Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh Irian Barat, dan(3). Bersiaplah
untuk mobilisasi umum.
The New York Agreement (15 Augustus 1962)
.Setelah perdebatan yang alot antara elit politik NKRI, terutama antara
pihak nasionalis-ekspansionis pimpinan Soekarno dengan pihak
realis-humanis di bawah pimpinan Moh. Hatta, akhirnya Bung Hatta
mengundurkan diri karena politik Soekarno berbau kolonialis, tidak sama
dengan cita-cita kemerdekaan NKRI. Walaupun Moh. Hatta memimpin delegasi
Indonesia dalam perundingan awal menyangkut Papua Barat, Moh. Hatta
mengundurkan diri karena politik Sukarno tidak sehat. Setelah itu,
Soekarno melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda menyangkut
status Papua Barat karena Indonesia mengkleim bahwa Papua Barat adalah
bagian integral Indonesia. Alasan yang jelas, waktu itu Sukarno
pandai memanfaatkan konflik perang dingin melawan komunisme. Sukarno
mendrop pasukan Trikora, yaitu masyarakat sipil dan anggota tentara
Indonesia, termasuk kapal-kapal perang buatan Uni Sovyet. Seperti
Sukarno tidak enak tidur gara-gara pengakuan negara Papua Barat 1
Desember 1961 dan mengeluarkan dektrit Trikora, sekarang J. F. Keneddy
mendapat giliran mimpi buruk. Poros Jakarta - Pyong Yang – Peking –
Moskow membuat J.F. Keneddy mengambil langkah hidup-mati. Sukarno telah
melanggar prinsip politik luar negeri Indonesia, yaitu politik yang
bebas dan aktif dengan poros ini, karena ia jelas-jelas berpihak pada
Blok Timur. Tetapi hasilnya jelas, yaitu membuat Kennedy (pemimpin Blok
Barat) turun tangan. Dan ia berhasil, yaitu Elsworth Bunker diutus
secara khusus menjadi sutradara penyelesaian sengketa dan berhasil
membawa NKRI dan Belanda ke New York dan akhirnya jadilah "The New York
Agreement" tanggal 15 August 1962.
Maka dari sinilah kita paham
bahwa Indonesia; Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, Dasar Negara
PANCASILA dan UUD 1945, Bendera Negara Bendera Merah Putih, Lagu
Kebangsaan Lagu Indonesia Raya, Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia ,
Bangsa Indonesia, dan Lambang Negara adalah Burung Garuda dan Memiliki
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri. Sementara Papua Barat :
Negara Republik Papua Barat, Bendera Negara Bendera Bintang Kejora, Lagu
Kebangsaan “ HAI TANAHKU PAPUA”, Bangsa Papua Barat Ras Melanesia,
Bahasa Persatuan Bahasa Biak dan Dani ,serta Lambang Negara Burung
Mambruk, dan memilik Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TNP-PB)
dan Polisi Papua (Satgas Papua).
Untuk itu, bahwa Bendera Merah
Putih adalah Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan
Bendera Bintang Kejora adalah Bendera Negara Republik Papua Barat, dan
TNI adalah Tentara Nasional Indonesia, sementara TPN-PB adalah Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat, jadi setelah kita pahami bersama maka
tidak ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang ada itu Organisasi
Persiapan Pembebasan Papua (OPPB) yang terbentuk oleh Belanda pada
Kongres Papua I pada 1 Desember 1961, sementara Indonesia melalui Jepang
dengan membentuk BPUPKI- PPKI 29 April 1945. Sementara itu kita jangan
lupa bahwa melalui Presiden RI ke 4 Abdurahman Wahid bahwa beliau
mengijinkan nama Irian Jaya dikembalikan ke Papua, dan Kongres Papua II
pada 2000 dengan melahirkan Dewan Presedium Papua yang dipimpin oleh
alm. Theys Hiyo Eluay Pemimpin Karismatik Bangsa Papua yang dibunuh oleh
Kopasus pada tanggal 10 November 2001.
Namun kita kembali lagi
menapaki sejarah Agresi Militer Indonesia ke Papua Barat pada tanggal 19
Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat
(TRIKORA) di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya: pertama, gagalkan
pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial, kedua,
kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia, dan
ketiga, bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan
dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini,
maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962
yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral
Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk
merebut wilayah itu dari tangan Belanda, melalui perjanjian New York
Agreement 15 Agustus 1962, perjanjian Roma Agreement 30 September 1962,
penyerahan administrasi pemerintahan West Papua dari Negara Belanda ke
UNTEA (PBB) 1 Mei 1963, penyerahan administrasi pemerintahan West Papua
dari UNTEA (PBB) kepada Pemerintah Indonesia 3 Mei 1963 maupun dalam
pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, dimana semua itu
telah melanggar prinsip-prinsip dan standar-standar hukum Internasional
maupun HAM secara universal yaitu Resolusi PBB pasal 73 bagian a dan b,
serta Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514.
Dikarenakan Dewan New
Guinea Raad dideklarasikan 1 Desember 1961, namun tidak dilibatkan
sebagai wakil yang punya hak sengketa dalam proses aneksasi dan
integrasi untuk menentukan status wilayah Papua Barat. {Penulis
adalah Aktivis HAM Papua yang juga adalah Mantan Aktivis KontraS Papua
dan Sekarang Mengabdi Pada LSM. Komunitas Masyarakat Adat Papua Anti
Korupsi dan Kekerasan (KAMPAK Papua)}