Seorang buruh memegang poster ketika berunjuk rasa. (Suko) |
Jakarta, Suko - Selasa 08/01/2013 Keputusan pemerintah daerah dan dewan
pengupahan yang menaikkan upah minimum provinsi (UMP), jauh di atas
harapan kalangan pengusaha, memasuki babak baru.
Awalnya, pengusaha yang bersikeras menolak ketetapan tersebut karena
merasa keberatan, telah mengancam bakal terjadi pemutusan hubungan kerja
(PHK) atau pemecatan secara besar-besaran karena ketidakmampuan
pengusaha memenuhi upah buruh yang disebut-sebut terlalu besar.
Di awal tahun, kabar mengejutkan datang dari pengusaha. Mereka
mengaku tengah menepati ‘janji’ yang sempat terlontar sebelumnya,
mengenai dampak buruh dari tingginya kenaikan UMP yakni PHK
besar-besaran.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan proses PHK
terhadap karyawan bukan ancaman kosong. Sejak akhir tahun lalu,
perusahaan yang tidak siap menghadapi kenaikan upah minimum regional
sedang bertahap melakukan pengurangan pekerja. Sejauh ini, jumlahnya
mencapai 500.000 orang di seluruh Indonesia.
Ketua Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik Kadin Natsyir
Mansyur menyatakan sampai saat ini dia belum menerima kabar ada
perusahaan yang batal melakukan PHK seperti dijanjikan pada akhir tahun
lalu. Pemecatan terbanyak dilakukan industri padat karya seperti garmen
dan sepatu.
“Data proses PHK yang masuk ke Kadin ada lebih dari 1.000 perusahaan
dengan 500.000 pekerja yang dikenakan PHK, itu masih proses sampai
sekarang. Pada umumnya perusahaan padat karya,” ujarnya saat dihubungi
merdeka.com, beberapa waktu lalu.
Bahkan jumlah tersebut masih bisa membengkak. Sebab proses
penangguhan yang disampaikan pengusaha di beberapa daerah belum
menunjukkan titik terang. Namun, pengusaha memastikan bahwa PHK
dilakukan dengan berbagai pertimbangan, bukan hanya sekadar emosi.
“Proses PHK kan tidak bisa semena-mena, harus dibuktikan neraca
perusahaannya, mampu tidak membayar pesangon, itu berkembang terus
jadinya,” paparnya.
Dia menjamin, selama pemerintah daerah dan pusat tidak memberi
kelonggaran bagi pengusaha untuk menangguhkan UMP, PHK menjadi
satu-satunya solusi. Natsyir juga menjamin, pengusaha tidak sekadar
mengancam, sebab laporan yang masuk ke Kadin adalah pernyataan
penjadwalan PHK per 1 Januari 2013.
“Sudah ada proses (pemecatan) sejak akhir tahun lalu, jadi ini bukan
lagi rencana (PHK), selama iklim usaha tidak kondusif ya mereka akan
melakukan PHK,” cetusnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengaku
tidak heran bila langkah ekstrem terpaksa diambil pengusaha. Alasannya,
pemerintah daerah banyak yang tutup mata dan tidak proaktif
menyelesaikan permasalahan industrial seperti sengketa perusahaan dan
serikat pekerja.
Pekerja diminta tidak terlalu berharap pada pemerintah sebagai
mediator kemelut kenaikan upah. Dia menganggap pegawai Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten atau Kota sebetulnya tidak pernah peduli dengan nasib
kaum buruh.
“Respons Disnaker seperti biasanya, mereka merasa bodoh. Malah anggap
enteng. Kan bukan mereka kena PHK, dia tidak ada tanggung jawab. Apa
yang you harapkan dari mereka. Mereka tahunya terima gaji,” kata Sofjan.
Di sisi lain, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin
Iskandar meminta gubernur untuk lebih proaktif menangani masalah
perseteruan antara pengusaha dan buruh agar tidak berbuntut panjang
seperti PHK massal.
“Saya sudah mengunjungi sejumlah perusahaan dan bertemu dengan
kalangan pekerja. Mereka memahami kondisi faktual masing-masing. Namun
pada prinsipnya saya tegaskan tidak boleh ada PHK terkait kenaikan upah
minimum,” ujar Cak Imin seperti yang dikutip dari situs Kemenakertrans,