Di awal tahun ini, 21 Februari 2013 kita dihebohkan dengan
peristiwa penembakan anggotan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan 2
warga sipil yang diduga oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM)/ Tentara
Pembebasan Nasional (TPN) di kabupaten Puncak Jaya dan Sinak Propinsi
Papua.
Peristiwa yang sempat menarik perhatian kali ini mendapat
tangapan dari berbagai pihak. Amien Rais menggungkapkan solusi Papua
adalah dengan Dialog. Sementara itu Jusuf Kalla menyatakan bahwa
kelompok bersenjata harus dilawan dengan senjata. Sedangkan dari pihak
TNI menyebut YPN/OPM adalah gerakan pengacau keamanan (PGK).
tribunnews, 21/2/2013. Dari beberapa tanggapan begitu berbeda dan tidak
sama satu dengan lain, jika begitu sebenarnya ada apa di Papua?
Peristiwa
penembakan dan kasus kekerasan di Papua buka baru kali ini. Sejak
integrasi Papua ke dalam Negara kesatuan republic Indonesia pada tahun
1963 berbagai kekerasa terus terjadi ketika Papua dijadikan sebagai
Daerah Opersi Militer ( DOM) sejak itu. Baca lebih lengkapnya di : widjojo,
muridhan s. 2005.” Separatisme-hak asasi manusia-separatisme: sklus
kekerasan di Papua, Indonesia” dalam jurnal hak asasi manusia dignitas,
vol III/ no.1 tahun 2005
Seperti yang
dikemukakan oleh komnas Papua Berdasarkan hasil rekapitulasi Komnas HAM
Papua, di tahun 2004 tercatat ada lima kasus, 2005 tiga kasus, 2006 1
kasus, 2007 1 kasus, 2008 tidak ada, 2009 terjadi 8 kasus, dan tahun
2010 11 kasus. Korban meninggal, di tahun 2004 7 orang, 2006 2 orang,
2007 1 meninggal, 2009 5 meninggal, 2010 terdapat 5 meninggal.
Dan
ditempo Interaktif, Jayapura - Komnas HAM Papua mencatat kekerasan
aparat keamanan terhadap warga sipil di Papua pada tahun ini (2010)
meningkat 70 persen dari tahun sebelumnya. “Tahun 2010 paling tinggi.
Kebanyakan pelakunya adalah aparat TNI dan Polri. Tahun ini kekersan
aparat didominasi di daerah Puncak Jaya,” jelas Wakil Ketua Komnas HAM
Papua, Matius Murib kepada wartawan, Selasa (3/12) di Jayapura.
Rentetan
kekerasan itu merusak sendi tatanan sosial dan relasi antar manusia,
kelompok, dan institusi. Kekerasan itu bukan lagi berupa insiden
sporadik yang terpisah satu sama lain, melainkan rangkaian berpola umum
(sistemik), berwujud dalam perilaku dan tindakan aktor-aktor individual,
sosial, dan politik. Itu terjadi pada level rumah tangga (domestik),
antarkelompok masyarakat berbeda klan, suku, agama, kelas ekonomi, dan
orientasi politik (sosial), serta antara masyarakat dan negara
(politik).
Situasi Papua mengarah ke darurat kekerasan. Dalam istilah Hobbes, bellum omnium contra omnes, kekerasan semua melawan semua.
Multidimensi Kekerasan
Konstruksi
segitiga kekerasan Johan Galtung membantu kita memahami multidimensi
kekerasan di Papua dan memikirkan solusinya secara baru. Galtung dalam
Theory of Violence membagi kekerasan atas tiga tingkat: kekerasan
langsung, struktural, dan kultural. Kekerasan langsung, mulai dari
kekerasan di dalam rumah tangga hingga perang atau operasi militer,
adalah wujud kasatmata dari kekerasan. Kekerasan struktural tertanam
dalam struktur-struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Kekerasan
model ini termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan,
eksploitasi, represi, dan marjinalisasi. Kekerasan kultural ada dalam
pola perilaku, kerangka berpikir, ideologi, bahasa, dan falsafah.
Kekerasan jenis ini, walau tak kasatmata, melegitimasi kekerasan
langsung dan struktural.
Masyarakat asli/adat yang
termarjinalisasi dalam proses pembangunan dan eksplorasi sumber daya
alam adalah contoh kekerasan struktural. Tengoklah kondisi hidup orang
Amungme di Mimika atau orang Waris-Senggi-Web di Keerom. Ketika
korporasi tambang, kayu, dan perkebunan mengeruk untung di tanah leluhur
mereka, mayoritas orang asli hidup dalam kemiskinan, tanpa pelayanan
pendidikan dan kesehatan yang memadai, tanpa akses pada listrik, air
bersih, dan jalan.
Pada aras horizontal, masyarakat asli
dipaksa bersaing dengan "pendatang" yang jumlahnya kini melebihi
penduduk asli. Penduduk non-Papua umumnya mendiami kota dan menguasai
sentra-sentra ekonomi. Kombinasi berbagai faktor, seperti keterampilan,
etos, modal, dan jejaring, menyebabkan pendatang lebih menikmati
kesempatan dan hasil pembangunan. Kesenjangan ekonomi asli dan
pendatang, selain persoalan politik, jadi sumber ketegangan baru di
Papua.
Dua wujud kekerasan itu dilegitimasi dan
dilanggengkan oleh kekerasan kultural. Dalam kaitan dengan konflik
politik, relasi pemerintah pusat dengan elemen masyarakat Papua masih
diwarnai ketidakpercayaan. Orang Papua yang kritis langsung
digeneralisasi sebagai separatis dan dihabisi aparat negara,
Secara
ekonomi, ideologi kapitalis-liberal membuka Papua bagi investasi
berbasis eksploitasi SDA dan membiarkan masyarakat adat yang polos
bersaing dengan pemodal dalam pertarungan yang asimetris. Secara sosial
budaya, kekerasan kultural mewujud dalam budaya patriarkat untuk
kekerasan domestik serta mentalitas sukuisme-rasisme untuk konflik
sosial. Inilah akar kultural rangkaian kekerasan di Papua.
Jadi,
kekerasan di Papua bukanlah semata-mata insiden, melainkan bercontinnu
yang bersumber pada komplikasi kekerasan langsung, struktural, dan
kultural.
Pembangunan Transformative
Tak
ada cara lain menghentikan kekerasan selain dengan menghentikan
kekerasan. Mengutip Gandhi, tidak ada jalan menuju perdamaian, damai
itulah jalannya. Konkretnya?
Pertama,
potong mata rantai kekerasan dengan stop kekerasan politik. Semakin
banyak aktivis Papua disiksa dan dibunuh, makin dalam antipati mereka
terhadap Indonesia. Semangat Papua merdeka tidak sekadar hidup di hutan
gerilya, tetapi juga dalam sanubari korban kekerasan aparat dan
kekejaman pembangunan.
Kedua, tegakkan
hukum sipil serta perbaiki kapasitas aparat untuk mengelola konflik
sosial dan mengatasi amuk massa. Di tengah komplikasi konflik vertikal
dan horizontal, pemerintahan pada semua level di Papua semestinya
dibekali kemampuan fasilitasi dan resolusi konflik.
Ketiga,
wujudkan pembangunan yang transformatif. Salah satu akar konflik Papua
adalah paradoks pembangunan. Jangan percepat atau perpanjang pembangunan
eksploitatif dan represif. Sejumlah agenda pembangunan transformatif
itu sudah sering disuarakan, di antaranya "selamatkan manusia dan alam
Papua"; penuhi hak-hak dasar, kontrol migrasi; laksanakan kebijakan
afirmatif dalam UU Otonomi Khusus; dan stop eksploitasi alam, ibu bumi
mereka.
Keempat, hentikan
diskriminasi dan memandang rendah orang asli Papua. Pengalaman pahit
orang Papua selama 50 tahun melahirkan apa yang disebut memoria
passionis, pengalaman penderitaan kolektif. Butuh pengalaman manis,
solidaritas, keadilan, dan empati untuk memulihkannya. Selain itu, akar
lain dari budaya kekerasan di Papua juga harus direfleksikan dan diubah
oleh orang Papua sendiri. Orang Papua mesti belajar hidup dalam
keberagaman dengan berbagai kelompok suku bangsa, sambil dengan penuh
percaya diri membangun masa depan mereka sendiri. Cypri Jehan Paju Dale Direktur Sunspirit for Justice and Peace
Sumber : Telius K Yikwa
Foto- Foto Kekerasan oleh Militer Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Tanah West Papua
Blogger Comment
Facebook Comment